Ile Ape, sebuah Kecamatan di Kabupaten Lembata, Propinsi Nusa Tenggara Timur, merupakan wilayah yang dikenal memiliki iklim cukup ekstrim. Curah hujan per tahunnya tak sampai tiga bulan. Krisis air bersih merupakan problem klasik yang senantiasa diteriakan warga setempat, terutama lima desa di kawasan Tanjung Tuak (Tuak Wutun) –desa Palilolon, Beutaran, Tagawiti, Dulitukan, dan Kolipadan. Tapi, siapa yang menyangka kalau Desa Tagawiti dengan dukungan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), kini malah menggali Pendapatan Asli Desa (PADes) dari pengelolaan air bersih. Mau tahu ceritanya?
Bertahun-tahun warga lima desa di Tuak Wutun mengkonsumsi air payau dari Wai Au, sebuah sumur tua di kawasan pesisir pantai. Ada yang terpaksa membeli air bersih dari Kota Lewoleba atau menyeberang dengan sampan untuk mendapatkan air bersih di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Ruas jalan yang buruk menuju Lewoleba dan kendaraan umum yang terbatas membuat warga cukup kesulitan mengangkut air bersih dari kota Lewoleba. Begitu pula dengan penyeberangan ke Waiwuring, Pulau Adonara, acapkali terkendala oleh kondisi perairan selat dengan arus yang deras dan gelombang yang bisa mengancam keselamatan pelayaran sampan. Sehingga Wai Au tetap menjadi tumpuan utama warga setempat. Terus?
Sabar dulu. Wai Au tak cuma penuhi kebutuhan mandi dan cuci bagi warga setempat. Ternak piaraan warga yang dibiarkan berkeliaran tanpa dikandangkan atau diikat juga menggantungkan diri pada sumur di Wai Au. Sehingga warga yang punya ternak cukup datang menanti ternak miliknya di Wai Au untuk memberinya minum pada siang atau petang. Jarak sumur dari kawasan pemukiman yang cukup jauh bikin warga harus meluangkan waktu untuk mengambil air kesana. Akivitas produktif seperti menenun atau titi jagung harus dihentikan agar bisa mengambil air untuk kebutuhan masak, minum ataupun mencuci dan mandi.
Sejumlah warga yang cukup mampu, menyiapkan bak Penampung Air Hujan (PAH) guna memenuhi kebutuhan air bersih, terutama air minum pada musim kemarau. Namun curah hujan yang rendah, terkadang air yang tersedia tidak cukup dipakai selama musim kemarau.
Tak habis disitu, pernah pula dilakukan penggalian sumur atas biaya pemerintah daerah Lembata. Sayang, air sumur pun terasa payau. Bahkan, untuk mencuci pakaian pun sepertinya tak layak lantaran sabun pun tak berbusa. Boleh jadi ini akibat intrusi air laut yang dahsyat.
Dari sanalah muncul gagasan menanam air. Sehingga sejak 2016, Plan Indonesia meluncurkan program TAMPAN (Tanam dan Panen Air). Program ini dijalankan hingga tahun 2018. Warga diarahkan untuk membuat jebakan atau resapan air di pekarangan rumah dan lahan agar air hujan tidak mengalir ke laut. Hasilnya?
“Hasilnya cukup baik. Warga Tagawiti sekarang sudah bisa panen dan jual mangga,” ungkap Kornelis K.D. Making, Kepala Desa Tagawiti, saat ditemui di kediamannya, Minggu (16/6/2023).
Kevin, begitu sang kades akrab disapa, mengisahkan, mahasiswa asal Tagawiti yang sedang kuliah di Kupang, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur, kaget saat menerima oleh-oleh Mangga dari orang tua mereka di Tagawiti. “Anakan mangga itu dibagikan secara gratis dari pemerintah desa untuk ditanam di pekarangan rumah. Dan, sekarang sudah memberikan hasil,” ujarnya, bangga.
Memang, Tagawiti beberapa tahun silam sungguh berbeda. Jangankan hijauan, rerumputanpun sudah mengering di awal bulan Mei, selepas musim hujan. Tanaman selain dimakan ternak yang berkeliaran, juga dedaunannya mengering dibakar sinar mentari yang menyengat. Sumber air yang jauh dari pemukiman membuat warga enggan menyiram tanaman di pekarangan rumah.
Namun dengan program TAMPAN dari Plan Indonesia serta dukungan pemerintah desa menerbitkan peraturan desa yang melarang warga membiarkan ternak berkeliaran memiliki dampak yang cukup signifikan. Dedaudan hijau, baik untuk kebutuhan sayur mayur maupun pakan ternak terlihat masih hijau di pekarangan rumah maupun ladang warga di musim kemarau. “Kami bisa kasih makan kambing dan domba di musim kemarau, tidak seperti dulu lagi,” ungkap seorang ibu paruh baya yang tengah memberi makan kambing dan domba piaraannya yang terikat dekat rumahnya.
Pemerintah desa sebelum kepemimpinan Kevin Making juga memperoleh dukungan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) terkait penyediaan air bersih ini. Dibangun sebuah bak reservoar di atas sebuah bukit kecil di balakang perkampungan. Juga dibangun bak distribusi di dalam kawasan pemukiman. Airnya diangkut dengan mobil tanki dan diisi ke reservoar, lalu didistribusikan ke bak distribusi. Namun hal ini menimbulkan biaya yang tidak sedikit, karena selain memberi air dari PDAM, juga harus tersedia BBM untuk mobil tanki.
Kevin girang minta ampun saat awal kepemimpinannya langsung mendapat suport dari Plan Indonesia pada tahun 2023 melalui program Dukungan Penyediaan Air Bersih melalui Pembangunan Sumur Bor. “Kami melakukan kolaborasi anggaran. Pemerintah Desa dan Plan sama-sama menyiapkan anggaran. Anggaran dari Pemerintah Desa dihibahkan ke BUMDES Tagawiti. Sedangkan, Plan Indonesia langsung mereka kelola di lapangan,” jelas Kevin Making.
Dan, Plan Indonesia tak hanya melakukan pengeboran sumur. Tapi, juga mendukung upaya Peningkatan Kapasitas Teknik Unit Layanan Air BUMDES Tagawiti, dan penggalian lubang resapan air di sekitar sumur bor. Tampak tersedia sebuah bangunan kecil yang melindungi sumur bor lengkap dengan mesin sedot air dan meteran listrik untuk kebutuhan mesin penyedot air sumur serta jaringan ke reservoar. Selanjutnya, air dari reservoar dialirkan dengan pipa ke kawasan pemukiman warga. Dimana, beberapa rumah berdekatan disiapkan satu kran. Dan, dialirkan ke rumah-rumah warga dengan selang.
“Pengelolaan air ini sepenuhnya dilakukan oleh BUMDES Tagawiti,” ujar Kevin, diamini Ketua BUMDES Tagawiti, Fransiskus Saferius Deram (34).
Fransiskus Saferius Deram menuturkan bahwa pihaknya menugaskan seorang staf teknis yang khusus menangani air bersih. Mulanya, jelas dia, air dialirkan dari reservoar ke bak distribusi di kompleks pemukiman warga. “Tapi, kami melihat penerimaan dari air bersih ini tidak sesuai dengan harapan. Kami sulit mengontrol pemakaiannya. Sehingga orang teknis mengusulkan untuk disiapkan kran dan akan dialirkan air jika ada permintaan yang masuk,” paparnya.
Dijelaskan, harga air dari sumur bor sebesar Rp 5.000 (lima ribu rupiah) per drum seukuran 200 liter. “Sedangkan air dari mobil tanki air seharga Rp 15.000 per drum untuk warga di Tagawiti, dan Rp 20 ribu untuk warga di luar desa Tagawiti,” jelas Fransiskus Saferius Deram.
Arnoldus Kia, staf teknis BUMDES Tagawiti yang mengurus air dari sumur bor menjelaskan bahwa dirinya menghidupkan mesin penyedot air setiap hari selama lima jam. “Tapi, lima jam itu air tidak sampai penuh di bak reservoar,” ujarnya.
Kendati begitu, dia tetap bisa melayani seluruh permintaan warga selama ini. “Saya tidak pernah menolak perminataan warga untuk kasih jalan air,” tandasnya, bangga.
Menurut dia, air di sumur bor tidak pernah kering walau di musim kemarau. “Mungkin karena ada jebakan air di sekeliling sumur bor ini, sehingga air tanah dalam sumur bor tetap banyak. Dulu pernah macet, kami kira air berkurang. Setelah dipriksa, ternyata ada pipa penyedot yang bocor, sehingga air tidak naik. Sekarang di umah-rumah juga ada resapan, sehingga cukup membantu menjaga air dalam tanah,” ujar Arnoldus Kia, bangga.
Dia mengaku tidak hanya melayani kebutuhan air bagi warga Tagawiti. “Kami sediakan juga tiga titik kran untuk melayani permintaan warga desa Beutaran, desa tetangga Tagawiti,” ujarnya.
Arnoldus Kia mengaku masih bekerja seorang diri dalam melayani permintaan air bersih dari sumur bor. “Saya masih bisa urus sendiri. Tapi coba kalau rumah-rumah punya profil tank, mungkin permintaan untuk dilayani tidak cepat-cepat seperti sekarang. Karena saat ini, paling-paling satu rumah punya tiga drum. Sehingga dua tiga hari sudah minta air lagi,” ujarnya.
Bagaimana kontribusi Bumdes Tagawiti kepada desa? Ketua Bumdes Tagawiti, Fransiskus Saferius Deram dengan bangga menuturkan bahwa lembaga yang dipimpinnya sudah memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Desa (PADes). “Tahun 2023, Bumdes Tagawiti setor ke PADes Rp 7 juta dari keuntungan kelola air bersih ini,” jelas dia.
Bumdes juga memberi gaji kepada staf teknis setiap bulan. Juga, menyisihkan biaya perawatan dan membayar pulsa meteran listrik untuk mesin penyedot air.
Ditanya soal kemungkinan menggunakan meteran air di setiap sambungan rumah, Fransiskus dan Arnoldus menuturkan, pihaknya berharap suatu waktu nanti bisa diwujudkan demikian. “Dengan keterbatasan anggaran kami jalankan yang begini dulu. Semoga suatu saat nanti bisa pake meteran air di kran rumah,” ujar Fransiskus.
Arnoldus menambahkan bahwa dirinya berharap mesin penyedot air di sumur lebih besar lagi. “Sehingga kalau buka lima jam, bak airnya bisa terisi penuh,” kata dia.
Kevin, Fransiskus dan Arnoldus sama-sama mengucapkan terima kasih kepada Plan Indonesia yang sudah membantu Desa Tagawiti keluar dari kemelut air bersih. “Dengan adanya air, kegiatan produktif masyarakat juga berjalan baik tanpa harus berpikir soal air lagi. Ini dampak yang paling nyata di Tagawiti,” ungkap Kevin Making, penuh syukur. (*)
Ditulis oleh Freddy Wahon
Reviewed by Alfred Ike Wurin
Foto: Plan Indonesia/Alfred Ike Wurin