Selama dua hari, Kamis sampai Jumad, 19 – 20 September 2024 lalu, warga kampung Lambolan Desa Lelenbala (Bolan Lelenbala, Hala Lolon Burak) di Adonara Timur,Flores Timur, NTT menggelar ritual adat Tobeng (Bekang) Lewo.
Ritual adat Tobeng (bekang) lewo ini melibatkan kampung kampung di wilayah adat Hinga Nara One yang terdiri dari kampung Lambolan Lelen Bala, Kampung Lamuring, Lewotukan, Lewohama dan Lebala di Desa Ipi Ebang (Murin Suku Lema , Ipi Lota Pito) serta komunitas masyarakat adat Mukin Lewo Pat, Doro Tana Rua yaitu kampung Lamakukung (Kukung Lama Mayan, Tobi Lama Ehan) dan Kampung Bloto Waimatan.
Dua komunitas masyarakat adat dengan 7 kampung ini bertetanggaan dan dari sejarah kampung, bertali temali, terkoneksi secara adat dan kebudayaaan.
Selama dua hari, ratusan warga dari 7 kampung ini mengikuti prosesi, upacara Tobeng (bekang) Lewo di Namang (Lapangan tengah kampung) Lambolan Lelenbala.
Upacara adat Tobeng (bekang) Lewo ini diyakini sebagai ritual yang bertujuan memohon perlindungan Sang Pencipta (Rera Wulan Tana Ekan) dari ancaman wabah penyakit seperti pandemi (Nu’u Mayan), “menjauhkan”wabah penyakit yang pernah melanda warga kampung ini dan memagari kampung ini dari ancaman penyakit serupa atau lainnya yang bakal mengancam nyawa warga.
Kabelen Lewo Bolan Lelenbala ,Lodovikus Kopong menjelaskan penyakit yang menerpa warga di sini dalam waktu tertentu semisal pandemi covid 19 yang baru lewat, diyakini sebagai ancaman serius akan nyawa warga karena itu ritus tobeng (bekang) Lewo dianggap sebagai salah satu jalan melindungi diri dari ancaman penyakit itu.
Begitupun,meski warga di kampung ini memercayai mati hidup manusia di tangan Sang Pencipta , mereka juga meyakini perihal kematian, baik yang wajar misalnya karena umur menua, atau kematian “tak wajar “misalnya karena kecelakaan kerja ,meninggal di usia muda ,terkena penyakit tiba tiba lalu meninggal , memiliki sisi lain riwayat kehidupan dan memiliki jalan panjang dan berliku kembali ke Sang Pencipta.
“Kematian dengan cara tak wajar (bolak tuberen) diyakini karena semacam ada salah dan dosa (nalang milang) dari seseorang dan perlu ada ritual untuk memulihkan untuk membuka jalan lapang dia ke Surga maupun membebaskan dari anggota keluarga yang ditinggalkan dari salah dan dosa yang mesti ditanggung.”
Selain doa melalui tradisi agama untuk melapangkan jalan seseorang yang telah meninggal lebih cepat sampai ke Surga, ritus adat Tobeng (bekang )lewo ini pun diyakini sebagai upacara melapangkan jalan seseorang yang telah meninggal ke Surga dan tetap terhubung dengan keluarga yang ditinggalkan .Surga dalam pandangan lokal disebut lewo muren atau kampung abadi, kampung yang sesungguhnya,yang setiap orang tiba waktunya akan ke sana.
Ritual Tobeng (bekang) lewo ini pun bermaksud melindungi ,menjauhkan warga dari cara cara kematian tak wajar, dan mendoakan warga cukup umur panjang dan punya kekuatan untuk melawan ancaman nyawa karena penyakit.
Baik warga (ata ribu, ribu ratu) maupun kebeleng lewo, tuan tana (Kepala kampung kepala adat) meyakini akibat penyakit dan kematian yang menerpa warga, ada semacam efek “keterkejutan” kampung yang dipersepsikan memiliki jiwa (tubere, mangere) sebagaimana manusia.
Lodovikus Kopong melukiskan, efek kejut karena terpaan penyakit dan kematian dipandang menjauhkan atau menggeser jiwa kampung dari dan sebagai pusat kekuatan di simbol simbol adat seperti rumah adat, nuba nara (mezbah), namang dan nobo serta lainnya. Perlu ada seremonial katakanlah untuk “memanggil pulang” Jiwa kampung akibat efek kejut ke dalam pusat -pusat kekuatan jiwa kampung melalui ritus tobeng lewo ini, sebagaimana dalam ungkapan-ungkapan lokal ini :
Tobeng (bekang) lewo tubere, mangere
Pukeng Lewo kedoko kebetak
Beto tobo pi lewo tukan haka pae.
Pukeng tobi tobang bao bake
Pukeng niha tobang karang bake
Tobeng gerek lewo tuberen, mangeren
Pukeng ata noo brara brihang
Pukeng ata noo mata gwete
Pukeng ata tani mahing hutang leta
Ti lewo kedoko kebetak
Prosesi acara Ritus Tobeng Lewo dilalui beberapa tahap sebagai berikut :
Pupu Aning Ata Kebelen noo Ata kayak kelekat kwayan
Khabar tentang ritual Tobeng Lewo ini mula-mula diketahui warga kampung ini melalui ketua suku. Sedangkan informasi untuk warga kampung tetangga didapat ketika Kebeleng Lewo Bolan Lelen Bala melalui lei raran, nuda knahing (penghubung) menyampaikan undangan (maring ata) ke kebeleng lewo yang terkait dengan ritus ini. Warga di kampung tetangga akan mendapat pemberitahuan undangan melalui ketua ketua suku di kampung itu (ata hupeng tite) lalu merencanakan untuk ikut ambil bagian dalam ritus ini.
Tahapan permulaan ini dikenal dalam ungkapan lokal sebagai pupu aning ata kebeleng noo ata kayak kelekat kewayan.
Tulun Tali, Pohe Polek
Kampung-kampung yang ikut ritual adat ini setelah mendapat pemberitahuan dari Kabelen Lewo dan Mehene Suku (Ketua Suku), berbiasa datang membantu dan menambah “tuan rumah” memperlancar acara ini dengan membawa hantaran berupa bahan bahan natura untuk kebutuhan konsumsi selama acara berlangsung. Aksi ini disebut raang tenali atau tulun tali pohe polek.Tulun tali pohe polek biasanya dibuat satu hari sebelum hari H atau beberapa jam sebelum pembukaan acara dimulai. Petang sehari sebelum hari H, warga dari kampung tetangga mulai berdatangan.
Buka Namang, Napa Ohang
Satu hari sebelum hari H yakni pada sore harinya, dilakukan ritual buka namang, napa ohang oleh para pengampu ritual . Ritual ini dapat dilukiskan sebagai tanda dimulainya rangkaian acara seremonial dan persiapan area warga berkumpul. Namang adalah lapangan umum di tengah kampung tempat berbagai acara dilakukan, tempat orang berkumpul dan berinteraksi, dan dilakukan ritus tertentu. Keesokan harinya, ritus Tobeng lewo dibuat di namang di mana terletak pula nobo. Sedangkan ohang ( tikar) dipakai untuk tempat duduk bersila selama acara berlangsung termasuk untuk ritus makan bersama (bua lamak).
Pembukaan namang ditandai dengan bunyi-bunyian gong dan gendang dan sole oha (tarian rentang tangan) sebagai pula ajakan untuk warga berkumpul dan bersukaria mengikuti acara ritual panjang ini.
Jaga Kipek Kuluk, Lelu Lolong
Salah satu bahan yang dipakai untuk ritus pemulihan di tobeng lewo yakni kapas yang melambangkan kesucian, kemurnian, putih. Dalam ungkapan lokal disebutlah kipek kuluk, lelu lolong.
Satu Malam sebelum hari H keesokan paginya, disebut dengan ritual jaga kipek kuluk, lelu lolong.
Ada dua rangkaian acara Jaga Kipek Lelu Lolong yakni makan bersama (bua lamak) dan sole oha.
Di acara makan bersama, laki laki yang ikut makan bersama duduk di tikar (tobo lagang) sedangkan bagian makannya akan dibawa saudarai perempuan, atau istri atau keluarganya yang perempuan . Mereka yang membawa dan menghidangkan makan untuk laki laki di ritus bua lamak di sebut keleka soga lamak.
Acara bua lamak diisi dengan sambutan -sambutan berisi petuah-petuah maupun sambutan penghormatan dan harapan (koda pulo kirin lema, koda kiring amet prat) dari ruan rumah maupun sesepuh dari kampung tetangga.
Usai bua lamak, dilanjutkan dengan tarian sole oha. Sole oha biasanya hingga menjemput fajar hingga acara ceremonial tobeng Lewo dimulai.
Syair-syair yang dibawakan selama sole oha mengambarkan acara tobeng lewo, begitu pun syair kehidupan mengenai saling kunjung dan membantu antar kampung (herun rega, gute gelekat) antar kampung .
Berbiasa sole oha ini diminta komunitas sanggar sole oha yang kerap ikut dalam acara acara meramaikan kampung.
Untuk acara tobeng lewo tahun ini, terlibat pula sanggar sole oha, liang namang dari Lewobunga, riang bunga, ruang rindu, gelong tapo bali, lewo pao lamahelan, karing lamalouk, lambunga.
Hari H, Tobeng Lewo
Ritus Tobeng Lewo dimulai pagi Hari sebelum fajar menyingsing. Mula mula dilakukan ritus di rumah adat (lango belen) dipimpin Kebelen Lewo diikuti para pemangku adat yang terkait langsung dengan ritus ini.
Saat dilakukan ritus dalam rumah adat, di namang, bergemuruh hentakan kaki dari para penari tarian perang dan penyambutan, tari Hedung diiringi gong dan gendang.
Usai ritua dibuat di rumah adat, rombongan pengampu ritus dipimpin Kabelen Lewo menuju ke Namang, selanjutnya dilakukan acara ritus Tobeng Lewo.
Ritus tolak Bala, pemulihan,Dan lapang jalan di tobeng lewo ini dipimpin oleh pengampu yang sudah ditunjuk atau memiliki kuasa, dan berperan untuk itu.
Ritus ini ditandai dengan ucapan ucapan syair kepada sang pencipta diikuti gerakan menyentuh tanah dan nobo lalu membuang ke angkasa seperangkat barang sesajian dibungkus kapas sebagai tanda meminta kepada sangat pencipta menjauhkan kampung ini dari mara bahaya, juga memulihkan salah dan dosa.
Usai ritus di namang, rombongan pengampu ritus berarak mengelilingi kampung , melalui batas batas rumah paling pinggir kampung, pintu (jalan) masuk dan keluar kampung dan tempat tempat publik lainnya, melakukan ritus “membentengi” Diri dari ancaman penyakit , membuka jalan lapang bagi para arwah sekaligus ” memanggil pulang” Jiwa kampung dari efek kejut. Sekali mengelilingi kampung , rombongan pengampu ritus kembali ke namang di mana sudah menunggui seluruh warga , kemudian dilakukan ritus lanjutan dapatlah disebut sebagai membawa masuk ke pusat kampung , jiwa kampung yang pernah menjauh, bergeser karena efek kejut dan membuang salah dan dosa serta penyakit.
Saat rombongan usai keliling kampung masuk ke area namang, mereka dijemput dengan tarian hedung diiringi gong dan gendang.
Prosesi mengitari kampung oleh pengampu ritus ini dilakukan sebanyak 4 kali sebagai tanda kampung ini dilingkupi 4 penjuru mata angin : utara, selatan,timur,barat.
Upacara ritus tobeng Lewo diakhiri usai ritus ke empat di namang. Rombongan pengampu ritus kemudian berarak kembali menuju rumah adat tempat awal mula prosesi adat ini berlangsung.
Setelah dinyatakan selesai, acara dilanjutkan dengan minum tuak bersama (behing muang papang muang) dan acara ramah tamah diiringi sole oha, hedung dan lain-lain.
Ritual Tobeng Lewo ini dibuat terakhir kurang lebih 7 tahun lalu. Adapun ritual ini tidak setiap tahun dibuat tetapi tergantung pertimbangan pemangku adat. (Kornel AT)