Aksinews.id/Adonara – Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanijan Kerja (PPPK) serta Kepala Desa dipandang memunyai kapasitas melaksanakan tugas tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Mereka, sosok yang diyakini punya pengaruh di tengah masyarakat.
Tidak heran, tiap kali momentum sirkulasi kekuasaan melalui pemilihan umum nasional atau pemilihan kepala daerah , ASN dan Kepala Desa menjadi sosok yang ramai dipercakapkan mewarnai kontestasi peserta pemilu dan pilkada. ASN dan kepala desa di pusaran Pilkada dianggap gerbong untuk kemenangan kontestasi karena pengaruh mereka dinilai punya efek domino. Mereka kemudian ditarik-tarik masuk ke dalam pusaran pilkada apalagi mengenai sirkulasi kepemimpinan daerah dianggap bersinggungan langsung dengan kepentingan ASN dan Kades di satu pihak dan pasangan calon di pihak lain. Jadilah ASN dan Kades ditarik ke dalam arus kontestasi, suka tidak suka.
Padahal, ASN dan Kepala Desa karena status pekerjaan dan jabatannya, di sejumlah Undang-Undang, mereka dilarang terlibat dalam politik praktis, mendukung atau memihak kekuatan politik tertentu dalam kontestasi elektoral.
Berturut-turut ,Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,Bupati dan Walikota, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode etik PNS, PP Nomor 94 tahun 2021 tentang Displin PNS, dengan tegas mengatur perihal larangan ASN mapun Kepala Desa terjun di politik praktis karena dinilai akan lahir conflict of interest. Karena itu, mereka wajib netral demi menjaga integritas dan profesionalisme mereka.
Namun, “ASN (Aparatur Sipil Negara) dan Kepala Desa ini rawan ditarik-tarik masuk ke dalam kepentingan politik tiap kali sirkulasi pemimpin daerah,” kata Ernesta Katana, Ketua Bawaslu Kabupaten Flores Timur di forum sosialiasi netralitas ASN dan kepala Desa dalam Pilkada, Sabtu, 7 September 2024 di Gedung Serba Guna Desa Tapobali, kecamatan Adonara Timur.
Di depan peserta sosialisasi yang dihadiri unsur ASN, Camat, Kepala Desa, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan (Panwascam), Pengawas Kelurahan/Desa (PKD), tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh pemuda di wilayah Kecamatan Adonara Timur, Kecamatan Wotan Ulumado dan Kecamatan Klubagolit itu, eks Ketua KPU Flores Timur periode 2014-2019 itu menyorong keprihatinannya akan masih saja ada potensi pelanggaran mengenai wilayah yang seharusnya tak dimasuki ASN dan Kepala Desa di perhelatan pesta demokrasi. Dalam catatan Bawaslu Flores Timur, hingga Pemilu Nasional tahun 2024 April silam, ada ASN dan Kepala Desa ditindaki karena masuk ke area yang seharusnya dilarang.
“Tiap kali Pemilu atau Pilkada, ada saja ASN atau Kepala Desa tersangkut kasus tidak netral, memihak, mendukung calon tertentu. Ada yang diproses, disanksi berupa pemecatan atau juga dipidana kurungan. Di Pemilu 2024 masih ada begitu,” papar Ernesta.
Tindakan Bawaslu Kabupaten Flores Timur atas kasus ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilu itu, menurut Kepala Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM (BKPSDM) Daerah Kabupaten Flores Timur Rufus Koda Teluma, S.Sos, sesungguhnya linear dengan kode etik, disiplin ASN sebagaimana regulasi tentang ASN.
Menurut Rufus Koda Teluma yang tampil membawakan materi Netralitas ASN dalam Menjaga Pilkada Damai Tahun 2024 di forum sosialiasi itu, Aparatur Sipil Negara (ASN) bahkan sebelum diangkat menjadi calon ASN terlebih dahulu membubuh tanda tangan di atas materai menyatakan tidak terlibat dalam urusan politik , tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik. Semua ASN mengetahui asas netralitas dalam tugas tugas pemeritahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai penyelenggara Pemerintahan, ASN tidak bisa berpihak pada siapa pun dalam kontestasi pilkada.
Tetapi “belakangan ini banyak teman teman kita ASN sudah tahu tapi berusaha untuk tidak tahu, hal hal yang dilarang, diatur tentang Netralitas ASN. Dia tidak mau lindungi diri. Jadinya dia ditindak,” katanya.
Dia menganalogikan kasus yang dialami ASN berujung ditindak karena tidak netralnya itu dengan ungkapan mulut tidak jaga badan, badan tidak jaga badan. “Dan itu akan binasa,” tandasnya.
Padahal Undang-Undang ASN dan regulasi turunannya, menurutnya, sangat keras mengatur sanksi atas ketidaknetralan ASN dalam urusan politik. Sanksi tidak netralnya ASN terdiri dari dua kategori yaitu sanksi berat dan sedang.
“Kalau ASN terbukti menjadi anggota atau pengurus partai politik, maka dia diberhentikan tidak dengan hormat. Tapi itu belum ada dan saya harap tidak boleh ada,” paparnya.
Sementara sanksi sedang jika terbukti terlibat dalam urusan politik adalah penurunan jabatan. “Kalau sudah turun jabatan, naiknya repot sekali,” katanya mengingatkan.
Karena itu, dia berharap, ASN wajib melindungi diri dari godaan-godaan terlibat atau melibatkan diri dalam urusan politik di Pilkada. Dia sendiri mengaku heran ASN yang sudah sangat padat bekerja masih saja mau terlibat dalam urusan politik.
Untuk mencegah, meminimalisir dampak tidak netralnya ASN dalam Pilkada, pihaknya terus mengingatkan ASN . Terbaru, pihaknya telah mengirmkan sirat edaran kepada para Camat dan pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD ) perihal Netralitas ASN untuk disosialisakikan di lingkup kerja ASN. “Surat Edaran itu sifanya instruksi, perintah untuk disosialisasikan dan dipedomani,” ungkapnya.
Dia mengingatkan jikalau ASN hendak terlibat dalam urusan politik, sebaiknya mengajukan pengunduran diri dari ASN.
Di bagian lain, Rufus Koda Teluma juga mengingatkan kepada ASN yang saat ini menjabat sebagai Penjabat Kepala Desa untuk tetap menjaga netralitas.
“Dalam diri penjabat kepala desa, ada dua status jabatan, sebagai kepala desa juga sebagai ASN. Tentu aturan larangan tentang netralitas jauh lebih banyak. Tidak ada kompromi. Jalan terbaik, ya netral saja. Mohon hati hati,” harapnya.
Senada dengan Ernesta dan Rufus Koda Teluma, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Flores Timur, Paulus Petala Kaha, M.Si melukiskan Kepala Desa sebagai tokoh di desa yang kerap kali diincar politisi di momentum kontestasi pemilihan umum maupun pilkada dan kadang kala kepala desa terjerembab ke dalam urusan politik praktis yang seharusnya dilarang.
“Partai politik melihat kepala desa adalah tokoh yang memiliki basis massa yang cukup baik.Jadi yang mereka incar itu, kalau tidak kepala desa ya perangkat desa, atau BPD. Mendekaati kades seperti meminang gadis cantik. Apalagi ada Kades yang rada-rada gatal tangan mau urus politik,” katanya.
Dia menyangkan masih terjadinya kasus tidak netralnya Kepala Desa dalam Pemilu sebagaimana dipaparkan Bawaslu Flores Timur.
Padahal, mengutip Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, seharusnya Kepala Desa tahu bahwa wilayah politik praktis bukan wilayah yang lapang dimasuki Kepala Desa .
Lebih jauh , Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menurutya, tidak hanya Kepala Desa yang dilarang terlibat politik praktis. Tetapi kepala Desa, Sekretaris Desa, Pelaksana Tekhnis dan Unsur Kewilayahan sebagai unsur aparatur pemerintah desa dilarang terlibat politik praktis dalam bentuk menjadi anggota atau pengurus partai politik, menjadi tim sukses pasangan calon tertentu, ikut serta atau terlibat dalam kampanye partai politik atau pasangan calon serta membuat kebijakan dan juga memanfaatkan kewenangan dan fasilitas jabatan untuk menguntungkan pihak atau pasangan calon tertentu.
Dalam materinya berjudul Netralitas Aparatur Pemerintah Desa dalam Pilkada, Mantan Camat Adonara Tengah ini memaparkan selain melanggar peraturan perundang-undangan, keterlibatan aparatur pemerintah desa dalam urusan politik pilkada dapat mengganggu roda perlayanan public pemerintahan, melahirkan konflik kepentingan dan menimbulkan ketiidakadilan dalam pelayanan karena adanya keberpihakan.
“Anggaran APBN yang dikelola desa, ditransfer langsung ke rekening kas desa sangat besar. Di antara angka 700 juta sampai 1 milyar. Fokus saja urusan anggaran desa untuk kepentingan pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan pemerintahan, jangan urus masalah politik. Kalau sudah urus masalah politik, ujungnya lain,” katanya berharap.
Dia pun berharap perangkat desa jangan memberi kesan keberpihakan melalui datang ikut kampanye, menggunakan atribut calon .
“Kalau mau ikut visi misi calon bisa lewat media massa, atau alat peraga kampanye. Tidak harus datang ke lokasi kampanye,” dia mengingatkan.
Menurutnya, aparatur pemerintah desa yang melanggar dan terbukti tidak netral dapat dikenai sanksi oleh Bupati .
“Bawaslu akan memberikan rekomendasi ke Bupati jika terbukti ada pelanggaran oleh apatur pemerintah desa. Dan Bupati punya wewenang memberi sanksi,” lanjutnya.
Sanksi bagi yang melanggar, lanjutnya, bisa berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara hingga pemberhentian permanen. Karena itu. dia mengajak aparatur pemerintah desa bersikap netral dalam pilkada. Yakni bebas dari kerpentingan, bebas dari pengaruh, bersikap adil , objektif dan tidak tidak memihak. (Kornel AT)