Catatan Akhmad Bumi, SH
Advokat, Tinggal di Kupang
Dalam sejarah bangsa Indonesia, advokat telah melewati jalan panjang dalam dinamika pembangunan hukum nasional sejak tahun 1920an. Advokat memiliki peran strategis dalam pembangunan bangsa dan negara di bidang hukum.
Sesama penegak hukum -Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat- memiliki tanggung jawab yang sama atas keadaan hukum di Indonesia.
Jika keadaan hukum Indonesia dikatakan buruk, tapi penegak hukum -Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat-merasa sukses maka akan sulit meyakinkan publik bahwa para penegak hukum -Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat- telah menjalankan tugas dan tanggung jawab hukum dengan sebaik-baiknya atau kontra produktif.
Di satu sisi dikatakan penegak hukum -Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat- itu sukses dan sangat berperan, misalnya Jaksa selaku penegak hukum sukses menangkap dan menahan penegak hukum lain, yakni advokat (baca: advokat Ali Antonius).
Jaksa menahan advokat Ali Antonius di saat sedang menjalankan kuasa yang sah dari klien berdasar Pasal 16 UU Advokat.
Pàsal 16 tersebut telah ditegaskan dan diperluas lagi melalui Putusan MK Nomor: 26/PUU-XI/2013. Putusan MK memperluas bukan saja didalam Pengadilan tapi diluar Pengadilan sepanjang advokat tersebut sedang dalam membela klien dengan syarat memiliki itikad baik.
Itikad baik merujuk pada penjelasan Pasal 16 UU Advokat yakni sedang menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Pengertian itikad baik mensyaratkan dalam membela kepentingan klien berdasar kuasa yang sah menurut undang-undang. Berbeda hal jika advokat tersebut tidak sedang menjalankan kuasa yang sah. Jika sedang menjalankan kuasa yang sah dengan itikad baik, maka berlaku Pasal 16 UU Advokat.
Tapi pada sisi lain kenyataan hukum Indonesia juga buruk, misalnya Kejati NTT tidak sanggup atau sengaja tidak menangkap dan menahan Abslom Sine selaku Direktur Pemasaran Kredit Bank NTT dan Benny R. Pellu selaku Kepala Devisi Pemasaran Kredit Bank NTT sesuai pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Kupang dalam putusannya, atas perbuatan mereka telah merugikan keuangan Negara ratusan milyar rupiah. Hal seperti ini yang membuat wajah hukum Indonesia semakin suram. Atau, masih banyak contoh yang lain.
Olehnya mental para penegak hukum tidak sedang dalam suatu kebencian, dendam, permusuhan atau persekongkokolan dalam mengungkap atau sedang menangani sebuah kasus demi keadilan dan kepastian hukum.
Dinamika Advokat
Sebelum lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2003 terdapat beberapa nomenklatur Advokat, misalnya Pokrol Bambu, Pengacara Praktek, Advokat, Konsultan Hukum/legal consultant, Penasehat Hukum dan Kuasa Hukum.
Istilah Pokrol Bambu merupakan sebutan profesi hukum zaman Belanda. Pokrol Bambu adalah julukan bagi siapa saja yang mampu, berani dan telah atau tengah menjalani memberikan jasa bantuan hukum termasuk untuk bersidang di Pengadilan sekalipun bukan sarjana hukum (tidak resmi) atau Pokrol bambu adalah seorang yang memberi nasehat hukum tetapi belum memperoleh kwalifikasi atau pendidikan hukum.
Dahulu pokrol bambu menjadi aktor penting dalam pelayanan hukum, karena masyarakat umum merasa berjarak dengan Advokat yang berizin/resmi.
Kemudian istilah Pokrol diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pokrol, yaitu Pasal 1, “yang dimaksud pokrol dalam peraturan ini adalah mereka yang memberi bantuan hukum sebagai mata pencaharian tanpa pengangkatan oleh Menteri Kehakiman, dan yang memenuhi syarat-syarat termaksud dalam Pasal 3.
Pasal 3, berbunyi: “untuk melaksanakan pekerjaan pokrol harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Warga Negara Indonesia, Lulus ujian yang diadakan oleh Kepala Pengadilan Negeri tentang hukum acara perdata, hukum acara pidana, pokok-pokok hukum perdata dan hukum pidana, sudah mencapai umur 21 tahun dan belum mencapai umur 60 tahun, bukan pegawai negari atau yang disamakan dengan pegawai negeri”.
Setelah era Pokrol Bambu, muncul istilah Penasehat Hukum. Sesuai maksud dari istilah Penasehat Hukum dalam Pasal 36 UU Nomor 14 tahun 1970, dan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman tanggal 6 Juli 1987 Nomor KMA/005/SKB/VII/1987 dan Nomor M.03-PR.08.05 tahun 1987 ini atas dasar ukuran pejabat mana yang dasarnya telah mengeluarkan ijin untuk berpraktek hukum membedakan mereka yang sehari-hari berprofesi sebagai Penasehat Hukum hanya dalam dua golongan, yakni Advokat yang telah diangkat oleh Menteri Kehakiman dan atas dasar itu memperoleh ijin melakukan kegiatan berpraktek hukum dimanapun di seluruh wilayah Indonesia dan Pengacara Praktek yang diberi ijin oleh Ketua Pengadilan Tinggi untuk berpraktek hukum di dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Baik Advokat maupun Pengacara Praktek masing-masing memiliki tempat kedudukan yang sudah ditentukan dalam surat keputusan pengangkatannya atau surat “ijin praktek” yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi setempat. Semenjak mereka mengucapkan sumpah profesinya di muka Ketua Pengadilan Tinggi setempat, nama mereka terdaftar baik di Kepaniteraan Pengadilan Tinggi maupun pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana tempat kedudukannya (domisili hukum) ditentukan.
Hanya penasehat hukum yang namanya terdaftar pada suatu Pengadilan Tinggi/Negeri sajalah yang dapat dibenarkan beracara di muka Pengadilan sesuai dengan maksud surat keputusan pengangkatannya atau “surat izin praktek” yang dipegangnya.
Ada juga istilah Konsultan Hukum/legal consultant adalah Advokat/pengacara yang memberikan jasa konsultasi hukum kepada kliennya dan tidak identik dengan litigator (di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) melainkan memberikan jasa penanganan seputar aspek-aspek legal umumnya dalam dunia korporasi/perusahaan.
Kuasa Hukum, adalah Advokat/pengacara yang menjalankan kuasa dari kliennya dan identik dengan litigator. Setelah lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, semua profesi yang berkaitan dengan pemberian jasa bantuan hukum tersebut disebut Advokat (Pasal 1 angka 1).
Sejak profesi ini dikenal sejak tahun 1920-an, ia sudah dijuluki sebagai “officium nobile” artinya profesi yang mulia dan terhormat. Ia disebut profesi mulia karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat, serta berkewajiban untuk turut menegakkan hak-hak asasi manusia yang fundamental.
Olehnya, pada saat ia melayani masyarakat berdasar kuasa yang sah berdasar UU, di saat itu ia menjadi bagian dari pelaksana fungsi penegakkan hukum. Sehingga Advokat disatu sisi menjalankan tanggungjawab profesi, disisi lain ia turut bertanggungjawab atas penegakkan hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukum. Olehnya pada diri advokat selalu menjunjung tinggi asas fair, impersonal, impartial, objective yang selalu dikedepankan.
Arti Advokat
Dalam praktek hukum di Indonesia, istilah-istilah (nomenklatur) di atas mempunyai perbedaan pengertian yang cukup bermakna, walaupun dalam bahasa Inggris semua istilah secara umum disebut sebagai lawyer atau ahli hukum.
Perbedaan pengertian di sini adalah antara peran yang diberikan oleh lawyer yang memakai istilah Advokat, pengacara dan penasehat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut trial lawyer atau secara spesifik di Amerika dikenal dengan istilah attorney at law serta di Inggris dikenal istilah barrister, dan peran yang diberikan oleh lawyer yang menggunakan istilah konsultan hukum yang di Amerika dikenal dengan istilah counselor at law atau di Inggris dikenal dengan istilah solicitor.
Kata Advokat itu sendiri berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris Advocate, berarti to speak in favor of or defend by argument, to support, indicate or recommend publicly.
Menurut UU No. 18 Tahun 2003 Pasal 1 angka 1 menerangkan bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasar undang-undang.
Secara terminologi, terdapat beberapa pengertian Advokat yang dapat didefinisikan oleh para ahli hukum, organisasi, peraturan dan perundang-undangan yang pernah ada sejak masa kolonial hingga sekarang.
Ada yang mengartikan bahwa Advokat adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan.
Ada juga diartikan Advokat sebagai seorang penasehat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
Berdasarkan beragam pengertian tersebut, dirumuskan Advokat adalah profesi yang memberikan jasa hukum kepada masyarakat atau kliennya, baik secara litigasi maupun non litigasi dengan mendapatkan atau tidak mendapatkan honorarium/fee berdasar Undang-undang.
Organisasi Advokat
Perkembangan Organisasi Advokat di Indonesia dirunut sebagai berikut:
Pada Masa Pasca Kemerdekaan; Balie van Advocaten, yang anggota umumnya berkebangsaan Eropa. Persatuan Pengacara Indonesia (Perpi, 1927) beranggotakan para pokrol bambu.
Pada Masa Orde Lama; Tahun 1959-1960, “Balie” Jawa Tengah, Balai Advokat Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya. Pada tanggal 14 Maret 1963, Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dalam Seminar Hukum Nasional merupakan embrio Peradin.
Kepengurusan PAI dijabat oleh tim ad-hoc yang bertugas untuk: 1) Menyelenggarakan kongres nasional Advokat Indonesia. 2) Mempersiapkan nama organisasi, anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan kode etik. 3) Merencanakan program kerja dan pengurusan definitif. Pada tanggal 30 Agustus 1964, dibentuk Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) dalam Kongres I Musyawarah Advokat di Hotel Dana Solo. Pada tanggal 3 Mei 1966, PERADIN ditunjuk sebagai pembela tokoh-tokoh pelaku Gerakan 30 September (G 30 S PKI) dan sekaligus sebagai satu-satunya wadah organisasi para Advokat di Indonesia.
Pada Masa Orde Baru; Pada Kongres 1977, PERADIN mengadopsi beberapa Resolusi, yakni: a) Korps Advokat sebagai salah satu elemen penegak hukum turut bertanggung jawab bersama dengan ahli hukum di bidang lainnya dan dengan masyarakat secara umum bagi pembangunan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945. b) Indonesia sebagai negara hukum harus bertanggung jawab untuk menjamin dan menghormati hak fundamental warga negara, baik dalam aspek politik, maupun sosialnya, sehingga dapat tercipta masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila bagi seluruh masyarakat Indonesia; c) PERADIN harus meningkatkan perannya selaku organisasi perjuangan sebagai komitmen esensialnya untuk mencapai kebenaran, keadilan dan supremasi hukum.
Beberapa anggota PERADIN yang tidak setuju dengan Resolusi PERADIN mendirikan Himpunan Penasehat Hukum Indonesia (HPHI).
Dukungan pemerintah secara diam-diam dicabut kembali ditandai dengan berdirinya antara lain Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum (LPPH-1979), Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum (PUSBADHI), Fosko Advokat (Forum Studi dan Komunikasi Advokat) dan Bina Bantuan Hukum (BBH).
Pada tahun 1980-an pemerintah mulai melaksanakan strategi peleburan PERADIN dan Organisasi Advokat lainnya dalam IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia) sebagai wadah tunggal. Pada 10 November 1985 disepakati berdirinya IKADIN.
Pada tahun 1987, Pemerintah memberikan ijin pendirian Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) sebagai wadah bagi pengacara praktek. Didirikan sebagai akibat dikotomi “Advokat” dan “pengacara praktek”.
Timbul juga organisasi Advokat yang berdasarkan pada praktek kekhususan, seperti Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI-1988) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM-4 April 1989).
Tanggal 27 Juli 1990 sekitar dua ratusan anggota Ikadin dari kubu Gani Djemat-Yan Apul, yang pada waktu itu mengikuti Musyawarah Nasional Ikadin di Hotel Horison Ancol menyatakan keluar dari Ikadin dan berikrar mendirikan organisasi Advokat yang bernama Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Masa Rekonsolidasi dan Reformasi; Pada tahun 1995, Pemerintah memfasilitasi dua seminar di Jakarta untuk IKADIN, AAI, dan IPHI. Hasilnya adalah Kode Etik Bersama dan pembentukan Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI). Belakangan, IKADIN menarik diri dan memberlakukan kembali Kode Etik IKADIN untuk para anggotanya.
Diawali dengan tiga kali pertemuan di bulan Januari 2002, pada 11 Februari 2002 dideklarasikan berdirinya Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang beranggotakan IKADIN, AAI, IPHI, AKHI, HKPM, Serikat Pengacara Indonesia (SPI) dan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).
Kegiatan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) adalah: a) Panitia bersama dengan Mahkamah Agung menyelenggarakan Ujian Pengacara Praktek tanggal 17 April 2002; b) Membuat Kode Etik Advokat Indonesia pada 23 Mei 2002; c) Mendesak diundangkannya Rancangan Undang-Undang tentang Advokat.
Tanggal 18 Pebruari 2003 kelompok sarjana syariah mendirikan Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI).
Setelah Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat diundangkan 5 April 2003 dibentuk KKAI versi kedua pada tanggal 16 Juni 2003 yang bertujuan sebagai pelaksanaan Pasal 32 ayat 3 dan memiliki kegiatan melaksanakan verifikasi atas Advokat sebagai pelaksanaan Pasal 32 ayat 1 dan membentuk Organisasi Advokat (Pasal 32 ayat 4).
Pada tanggal 21 Desember 2004, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dibentuk sebagai pelaksanaan Undang-undang Advokat. Pada bulan Mei 2007 pada Musyawarah Nasional Ikadin IV yang berlangsung di Balikpapan, Kalimantan Timur, berujung pada terbentuknya dua versi kepengurusan, yaitu versi Otto Hasibuan dan versi Teguh Samudera.
Pada tanggal 30 Mei 2008 di Balai Sudirman, Jakarta, 4 (empat) Organisasi Advokat terdiri dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) versi Teguh Samudera, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) mendeklarasikan Pendirian Kongres Advokat Indonesia (KAI) sebagai wujud protes dari pecahnya dua kepengurusan pada Munas Ikadin IV di Balikpapan.
Kemudian sekitar tahun 2008, PERADIN bangkit kembali yang pada tahun 1985 sudah dilebur ke IKADIN, dan sudah terpecah menjadi dua versi Ropaun Rambe dan versi Frans Hendra Winarta. Sampai saat ini sedikitnya terdapat 3 (tiga) organisasi Advokat yakni Peradi, KAI, dan Peradin. Bahkan dalam perkembangan terakhir lebih dari itu. Pasca lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2003, menurut Pasal 2, 3 dan 4 UU tersebut prosedur dan mekanisme cara pengangkatan Advokat melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) versi PERADI dan Diklat Khusus Profesi Advokat (DKPA) versi KAI; 2. Mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) versi PERADI dan Ujian Calon Advokat (UCA) versi KAI; 3. Mengikuti magang di kantor Advokat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara terus-menerus di kantor Advokat; 4. Pengangkatan dan Sumpah Advokat. (*)