Larantuka – Ini benar-benar buka-bukaan. Setelah Direktur Utama Bank BPR Bina Usaha Dana, Monika V.I Fernandes, S.Sos mengungkap “ulah” debitur Richardus Ricky Leo, kini giliran kuasa hukumnya, Yosep Pelipi Daton, SH. Dia mengaku pernah “dirayu” dengan duit Rp. 25 juta. “Saya tanya uang Rp 25 juta untuk apa?” sergah Daton, ketika itu.
Rupanya, debitur Bank BPR Bina Usaha Dana Larantuka, Richardus Ricky Leo pernah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap kreditur Bank BPR Bina Usaha Dana Larantuka melalui Pengadilan Negeri Larantuka, tahun 2019 silam. Ketika itu, sang debitur menggunakan jasa pengacara lain, bukan yang sedang mengajukan gugatan sekarang.
Ya, “Tahun 2019, Richardus Ricky Leo menggunakan pengacara yang lain, bukan yang sekarang, pernah mengajukan gugatan ke pengadilan, menggugat BPR dengan materi gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam proses persidangan Perbuatan Melawan Hukum, ada mediasi yang dibangun karena di dalam aturan hukum biasanya sebelum melayangkan gugatan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) menghendaki kedua belah pihak menyelesaikan persoalan secara damai dan rukun via mediasi di pengadilan,” ungkap kuasa hukum Bank BPR Bina Usaha Dana, Yosep Pelipi Daton, SH dalam jumpa pers di kantor BPR Bina Usaha Dana, Larantuka.
Pihak Bank BPR Bina Usaha Dana sepakat untuk berdamai, jika debitur atau penggugat menyelesaikan tunggakan sebesar Rp.100 juta. “Dalam perjalanan dari pihak Ibu Lilis bersama suaminya dengan kuasa hukumnya menyampaikan bahwa kita dalam satu dua minggu kedepan ini perkara ini akan kita cabut dan kita selesaikan secara damai”, ungkap Daton.
Ternyata, sambung dia, “Pada saat waktu yang diberikan oleh hakim untuk mediasi, tunggu punya tunggu akhirnya uang Rp 100 juta yang dijanjikan tidak pernah ada”.
Karena itu, siding dilanjutkan dengan pembacaan materi gugatan sampai keputusan. “Nah, di akhir keputusan gugatan Perbuatan Melawan Hukum ini, gugatan Lilis Keraf dan Ricky Leo ini ditolak seluruhnya oleh majelis hakim,” ungkap Daton.
Dia menjelaskan bahwa pokok persoalan sekarang ini adalah menyangkut masalah wanprestasi. “Kalau kita bicara masalah wanprestasi maka ada tiga hal disana yakni, tidak melakukan apa yang disanggupi tapi tidak dilakukan, melaksanakan apa yang dijanjikan tapi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dan melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat”, papar Daton.
Melihat kategori wanprestasi dalam perjanjian antara debitur dan kreditur, menurut dia, ada suatu item yang tidak dipenuhi oleh debitur Richardus Ricky Leo. Yakni, dalam pasal 8 ayat 1 surat perjanjian kedua belah pihak. “Ketika debitur tidak melaksanakan kredit atau cicilan dua bulan berturut-turut maka yang bersangkutan dikatakan wanprestasi”, ungkap Daton seraya mengingatkan bahwa keterlambatan mencicil bukan cuma dua bulan saja tapi sudah di atas lima bulan.
“Ketika kami digugat di Pengadilan Negeri Larantuka pada tanggal 20 Januari 2020, kami mengajukan permohonan eksekusi yang kedua. Dua kali kami mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Larantuka, kami minta agar segera menindaklanjuti permohonan eksekusi kami yang pertama,” ucap dia.
“Karena syarat hukumnya, ketika kami sudah mengajukan permohonan eksekusi, dalam kaitan dengan barang agunan, maka Pengadilan Negeri Larantuka punya kewajiban untuk menindaklanjuti. Karena disana ada akta hak tanggungan. Ingat bahwa akta hak tanggungan punya kekuatan eksekutorial sama dengan keputusan pengadilan tanpa diajukan proses persidangan, pengadilan punya kewenangan untuk melakukan eksekusi”, tandas Daton.
“Kami dipanggil oleh pak ketua pengadilan untuk melakukan proses permohonan sita jaminan. Pada saat proses sita jaminan, kami juga diminta untuk mendatangkan tim untuk hitung nilai agunan. Tim ini bertujuan untuk menghitung berapa nilai agunan itu. Sehingga jangan sampai ada dusta di antara kita, BPR maunya seperti ini, sementara di pihak debitur maunya seperti ini”, tutur Daton lagi.
“Nah, pada akhirnya ditemukan dengan nilai Rp 700 juta lebih. Setelah kami datangkan tim untuk menghitung, tim ini turun melakukan penelitian, bahkan Rickardus Ricky Leo, Lilis Keraf dan pengacaranya (pengacara yang lama) juga ada. Dalam perjalanan saya melanjutkan permohonan sita eksekusi datanglah ke rumah saya pengacaranya (pengacara yang lama) menghantar uang Rp 25 juta. Saya tanya uang Rp 25 juta untuk apa? Saya punya harga diri, saya punya profesi tidak bisa dinilai dari uang Rp 25 juta. Silakan bawa uang Rp 25 juta itu kembalikan kepada yang bersangkutan”, ungkap Ipi Daton seraya mengingatkan bahwa yang mereschedul itu bukan pihak debitur tetapi ada tim khusus melakukan penelitian berkaitan dengan kemampuan debitur.
Data yang dihimpun wartawan menyebutkan, tahun 2018 kredit macet di bank BPR sekitar 2,43 persen, sementara 2019 naik menjadi 3,06 persen. Berarti dua debitur yang yang bermasalah juga berada pada data ini. Iren membenarkan hal tersebut ketika ditanya wartawan. (Yurgo Purab)