Anselmus D Atasoge
Komunitas Oring Tou, Flores Timur, NTT
“Saya ingin menulis tentang kesalahan-kesalahan manusia yang kurang menghargai kehidupan!”
Kata-kata ini keluar dari “sang maestro pers”, almahrum Pater Alex Beding, SVD ketika pada sebuah kesempatan saya mewawancarainya beberapa tahun silam di Biara Santu Arnoldus (BSA) Postoh Larantuka.
Secara pribadi saya memegang prinsip bahwa kerja jurnalistik dan pers pada umumnya adalah pekerjaan merawat kehidupan. Kata Pater Alex, pers membuat kehidupan bercahaya dan dari titik inilah pers hadir untuk merawat kehidupan.
Tulisan berikut ini mencoba menawarkan sebuah jalan kecil bagi insan pers sebagai titian untuk semakin merawat kehidupan itu. Saya mencoba untuk ‘menaruh garam’ dalam diri para insan pers dengan satu harapan sekiranya para insan pers boleh berjiwa antropolog dalam kerja-kerjanya terutama ketika ia mengabarkan tentang fenomena agama dan keberagamaan.
Ketika seorang antropolog menjalankan penelitiannya atau ketika ‘menarik diri’ dari wilayah dan orang-orang yang ditelitinya, ia tidak melampirkan evaluasi moral terhadap apa yang ia dengar, ia lihat dan yang ia alami. Bisa saja terjadi bahwa ketika melihat dan mengalami apa yang ia teliti, secara pribadi, antropolog mungkin merasa menyetujui apa yang ia lihat dan alami itu atau sebaliknya tidak menyetujuinya atau bahkan merasa jijik pada beberapa praktik keagamaan atau kepercayaan. Tugas utama bukan bergerak dalam labirin setuju atau tidak setuju seperti itu.
Menurut Raymond Firth, tugas utamanya adalah menggambarkan apa yang dilihat dan dialaminya itu dan mengungkapkan maknanya. Dalam bahasa Raymond Firth, peneliti itu tidak hadir untuk mengelompokkan apa yang dilihat dan dialaminya dalam skala moral (benar-salah; baik-buruk) (Raymond Firth, An Anthropological Approach to the Study of Religion dalam Russell T. McCutcheon, The Insider/Outsider Problem in The Study of Religion. A Reader (The Bath Press: Great Britain, 2005, hal. 117).
Sampai pada titik ini, bisa dikatakan bahwa posisi intelektual seorang peneliti agama dengan pendekatan antropologi adalah keingintahuan dasar tentang sifat kondisi manusia, dengan semua kompleksitas kepercayaan dan tindakan individu yang dipengaruhi oleh jaringan hubungan sosial dan norma yang mengitari masyarakat budaya yang ditelitinya.
Karena itu, ada semacam tuntutan bagi seorang antropolog ketika mendekati fenomena agama dan keagamaan itu. Tuntutan itu adalah bahwa ia diharapkan lebih bijak, lebih netral, lebih bersimpati dan lebih memahami sistem keagamaan daripada yang diberikan oleh pengamat dan peneliti lainnya.
Di titik ini menjadi relevanlah metode yang dianjurkan oleh Sidjabat dalam melakukan penelitian di bidang agama dan keagamaan yang disebutnya dengan nama metode simpatetik ilmiah (Sidjabat, “Penelitian Agama: Pendekatan dari Ilmu Agama” dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama.
Masalah dan Pemikiran (Sinar Harapan: Jakarta, 1982, hal. 92). Metode ini dianjurkan sebagai jalan untuk menepis adanya penelitian-penelitian agama dan keagamaan yang berusaha untuk mencari tahu kelemahan-kelemahan ajaran dan praktek-praktek agama lain. Menurut Sidjabat, metode simpatetik ilmiah mengandaikan sekaligus mengungkapkan adanya kematangan iman dari pihak peneliti. Metode simpatetik ilmiah juga menunjukkan adanya sikap keterbukaan dan simpatik terhadap agama lain yang diteliti. Metode simpatetik ilmiah ini juga sekaligus menepis metode polemis apologetis yang cenderung memperbesar kekurangan agama lain dan menutup-nutupi kelemahan agama sendiri.
Dari lukisan sederhana ini, kita dapat menarik beberapa titik simpul untuk insan pers. Pertama, nian adalah mengasah sikap keingin-tahuan yang mendalam. Dengan berpedoman pada prinsip 5 W 1 H, insan pers perlu mengasah sisi kuriositas yakni rasa ingin tahu yang mendasar dan mendalam terhadap objek (fakta-peristwa) yang hendak digalinya. Meskipun tidak semua hasil galian tersebut dipaparkan kepada publik, namun sekurang-kurangnya ia memiliki basis epistemologi yang sangat memadai terhadap apa yang ditulisnya.
Dengan itu, ia mengantongi perbendaharaan informasi tentang apa yang ia tulis. Ia tidak sekedar hanya tahu sedikit dari seluruh peristiswa yang membingkai apa yang ditulisnya. Paling kurang, ia tahu baik tentang status quesionis dari fakta atau peristiwa tersebut dengan perspektif keilmuan tertentu yang berkaitan dengan fakta atau peristiwa yang digalinya. Dengannya, ia tidak sekedar mengabarkan sesuatu kepada publik namun membekali dirinya dengan sudut pandang tertentu dan serentak pula menghadirkan perspektif tersebut ke hadapan publik. Ia tidak sekedar menghaburkan peristiwa namun menghadirkan makna tertentu dari setiap narasi yang dikisahkannya.
Kedua, menghindari kecenderungan polemis apologetis yakni membesar-besarkan apa yang semestinya (fakta objektif) dan menutupi apa yang tidak semestinya diketahui. Untuk maksud ini, insan pers perlu menarik garis batas secara tegas antara kepentingan dan interese pribadiah dengan peristiwa-fakta yang hendak digalinya. Meskipun ia harus memilih dan memilah apa yang menjadi fokus pemberitaannya, namun ia tidak menambahkan atau melebih-lebihkan peristiwa-fakta yang hendak ditulisnya hanya untuk kebutuhan dan kepentingan pribadinya. Atau, menutupi apa yang semestinya patut dikabarkan.
Saya teringat kembali akan kata-kata Pater Alex. “Melalui pers, saya menyampaikan ide tentang kebenaran. Ketika memberitakan tentang sebuah kasus pembunuhan, hal yang mau disampaikan adalah bahwa pembunuhan itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, melalui pemberitaan itu saya mau ajarkan kepada banyak orang untuk hidup secara baik dan benar!”
Semirip dengan antropolog, insan pers adalah pribadi-pribadi yang dengan kedalaman ilmu jurnalistik dan pelbagai perspektif yang memperkaya basis epistemenya bergerak untuk menggambarkan apa yang dilihat dan dialaminya dan mengungkapkan maknanya demi membangun sebuah kehidupan yang bermartabat. Sebab, pers itu empunya tujuan “untuk memperbaiki etika hidup manusia,” tegas Pater Alex.
Selamat Hari Pers Nasional. Jayalah selalu insan pers!***