Anselmus D. Atasoge
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Rabu, 26 Oktober 2022, dari pukul 19.00-21.00 WIB, saya mengikuti sebuah Webinar Internasional seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya dengan tema “The Youth Pledge and Cross Cultural Religious Literacy: Uniting Differences, Weaving Humanity/Sumpah Pemuda dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya: Merekat Perbedaan, Menjalin Kemanusiaan. Webinar ini diselenggarakan oleh Masjid Istiqlal dan Institut Leimena serta didukung oleh Templeton Religion Trust sebagai bagian dari upaya memaknai Hari Sumpah Pemuda, yang kali ini genap 94 tahun.
Dalam konteks itu, Webinar internasional ini memfokuskan perhatian pada peran kaum muda dalam memperkuat kohesi sosial terutama di antara orang-orang yang berbeda agama atau kepercayaan dalam masyarakat yang beragam agama yang semakin terpecah dan terpolarisasi.
Dalam webinar ini, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A (Imam Besar, Masjid Istiqlal), sebagai pembicara kunci memaparkan pentingnya nilai-nilai dan semangat Sumpah Pemuda untuk terus dipelihara di tengah menguatnya polarisasi berbasis suku, ras, dan agama baik di Indonesia maupun global. Gracia Paramitha, Ph.D (G20 Analyst dan Co-founder Indonesian Youth Diplomacy/IYD) merefleksikan nilai-nilai Sumpah Pemuda dalam konteks Indonesia masa kini dan global. Dr. Faried F. Saenong, M.A (Kabid Pendidikan dan Pelatihan, Masjid Istiqlal Jakarta) memaparkan peran penting pemuda dalam memperkuat kohesi sosial terutama dalam konteks Indonesia masa kini.
Faisal Ilyas (Finalis Y20 Awards 2022 dari Pakistan) dan BRAj. Gayatri Kusumawardhani (Finalis Y20 Awards 2022 dari Indonesia) menceritakan tentang proyek-proyek membangun kemanusiaan yang beradab yang dilakukan mereka di Pakistan dan Indonesia. Zeenat Rahman (Executive Director, Institute of Politics, University of Chicago), menyampaikan perspektifnya tentang bagaimana kaum muda dapat memainkan peran unik dalam membangun rasa saling menghormati dan kolaborasi antara orang-orang yang berbeda agama atau kepercayaan, alih-alih terlibat dalam dunia yang semakin terpolarisasi.
Bagi saya, webinar ini menjadi sebuah momen untuk menggali dan menghidupkan kembali spirit ikrar Sumpah Pemuda, latar belakangnya dan seluruh perjuangan untuk melahirkan ikrar itu. Yang lebih substantif adalah gugus-gagas yang tercetuskan dan disharingkan di dalamnya yakni demi dunia dan Indonesia yang tidak memandang perbedaan sebagai masalah melainkan sebagai sebuah peluang untuk membangun masa depan dunia dan Indonesia yang harmonis.
Dalam lintasan sejarah Indonesia, Sumpah Pemuda menjadi satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Di tengah kondisi bangsa Indonesia yang masih dijajah dan terpecah belah oleh perbedaan suku, ras, agama dan bahasa, para pemuda di tahun 1928 telah bersumpah untuk bertumpah darah yang satu – tanah air Indonesia; berbangsa yang satu – bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan – bahasa Indonesia.
Panitia penyelenggara mencatat bahwa semangat dan nilai-nilai dari Sumpah Pemuda ini telah membawa bangsa Indonesia untuk sampai kepada pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia tercapai berkat kompetensi para pendiri bangsa dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan untuk dapat bekerjasama mencapai tujuan bersama tanpa harus mengorbankan iman kepercayaannya masing-masing atau berusaha mendominasi yang lain. Namun, seiring berjalannya waktu, kompetensi mendasar bagi kerjasama yang damai dalam masyarakat plural ini nampaknya ikut tergerus oleh berbagai faktor.
Pew Research, sebuah pusat penelitian di Washington, D.C yang memusatkan perhatian pada informasi tentang tren isu sosial, opini publik, dan demografi di Amerika Serikat dan dunia, melaporkan bahwa populasi dunia saat ini menjadi lebih religius. Namun, di sisi lain ditemukan juga bahwa agama seringkali menjadi isu yang memecah belah, bahkan di negara maju, ada persepsi yang tinggi tentang konflik antar kelompok di mana agama adalah salah satu dari tiga yang paling sering dianggap sebagai sumber konflik.
Sejatinya, agama-agama menjadi sumber kedamaian dan mengemban peran kohesif sebab ia mengajarkan kebaikan dan menolak keburukan. Jika demikian, maka agama-agama menjadi pencipta kohesi sosial di kalangan masyarakat yang berbeda-beda latarnya. Inilah intisari dari kehadiran agama-agama di tengah keberagaman.
Intisari dan peran agama-agama setali tiga uang dengan ikrar Sumpah Pemuda 1928. Kisah Kongres Pemuda I (Jakarta, 30 April-2 Mei 1926) dan Kongres Pemuda II (26-28 Oktober 1928) mencerminkan semangat dan nilai multikultur yang integratif telah dihidupi oleh pemuda-pemudi Indonesia sejak bangsa ini mulai menunjukkan identitas kewarga-indonesiaannya. Sederetan pemuda-pemudi zaman itu yang bisa disebutkan sebagai pelopor hadirnya ‘soempah pemoeda’ di antaranya Soegondo Djojopoespito (PPPI), R.M. Djoko Marsaid (Jong Java), Mohammad Yamin (Jong Sumateranen Bond), Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond), Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia), Senduk (Jong Celebes), Johanes Leimena (Jong Ambon), Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi).
Para peserta Kongres Pemuda II berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.
Gugus-gagas dari keempat tokoh yakni Sugondo Djojopuspito, Moehammad Yamin, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro dalam kongres, corak wajah peserta serta pilihan tempat sesi-sesi kongres amat gamblang membahasakan idealisme tentang Indonesia yang multikultur dan yang kohesif.
Kohesi sosial menjadi salah satu bangunan integrasi sosial yang dimungkinkan oleh keberadaan sistem pengetahuan dan sistem nilai serta tatanan moral yang sama yang mengikat orang-orang secara bersama-sama ke dalam satu komunitas. Menurut Jane Jensen (Mapping Social Cohesion: The State of Canadian Research, Canadian Policy Research Networks Inc.: Ottawa, 1998), istilah kohesi sosial digunakan untuk menggambarkan proses pelibatan komitmen dan keinginan dan kemampuan untuk hidup bersama dalam keharmonisan. Di sisi lain, menurut Judith Maxwell seperti yang dikutip Andy Green, dkk Education, Equality and Social Cohesion A Comparative Analysis, Palgrave Macmillan: New York, 2006), kohesi sosial melibatkan pembangunan berbagi nilai dan komunitas. Pelibatan ini umumnya memungkinkan orang untuk memiliki rasa bahwa mereka terlibat dalam usaha bersama, menghadapi tantangan bersama, dan bahwa mereka adalah anggota dari komunitas yang sama.
Sekiranya, peringatan hari Sumpah Pemuda di tahun 2022 ini boleh menjadi momen yang menggairahkan kembali semangat kohesif di kalangan masyarakat Indonesia yang berbeda latar belakang agama dan budayanya. Di tengah-tengahnya, terbersit pula harapan agar Ikrar Kaum Muda Indonesia 94 tahun yang lalu boleh diungkapkan dalam rumusan kontekstual sebagai berikut:
Pertama: Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa seribu wajah, tanah Indonesia yang multikultur.
Kedua: Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bernegara yang integral, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga: Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia yang mengumpulkan semua kami sebagai satu keluarga yang harmonis dengan segala perbedaan kami.
‘Ikrar baru’ ini boleh menjadi identitas penanda ke-Indonesia-an zaman sekarang. Ia boleh menjadi spirit dalam membangun dan mewujudkan Indonesia yang satu dan sama dengan pelbagai corak yang berbeda. Mengamini dan mewujudkannya merupakan ikhtiar hati dan budi yang amat berharga demi keberlangsungan masa depan Indonesia yang kohesif. ***