Oleh: Robert Bala
Pemerhati Media, Kolumnis Harian Kompas, tinggal di Jakarta
Penulis Buku Menarik Fasilitator Menarik, Efektif, dan Aktual
Akhir-akhir ini di Lembata beredar informasi tentang jurnalisme ‘plat merah’. Disebutkan bahwa anggaran per bulan diperkirakan Rp 15 juta untuk membayar media yang ada. Yang jadi pertanyaan, apakah hal itu salah?
Menjawab pertanyaan ini sebenarnya tidak mudah. Kalau sudah diawali dengan klaim ‘penjilat’, maka logikanya tanggapan akan negatif. Setiap aksi ‘jilat-mejilat’ tentu tidak bisa dibenarkan. Lebih lagi kalau orang mengorbankan idealisme jurnalistik demi mendapatkan uang.
Tetapi sebagai orang yang cerdas, seharusnya pernyataan di atas ‘dikelola’ dengan lebih cerdas. Artinya, muara setiap tulisan bisa dipantau. Dengan demikian bukan soal ‘dibayar’ atau ‘tidak’, karena memang media perlu hidup. Media juga bertugas menyosialisasikan program pemerintah hal mana tentu saja dibutuhkan oleh pemerintah.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana media ‘memainkan’ perannya dalam pemberitaan? Apa yang dihasilkan dari sebuah pemberitaan? Apakah ia bersifat seimbang atau lebih bersfat menyanjung dan menyembah dan jarang memberikan kritik konstruktif?
Analisis Kualitatif
Terkait informasi jurnalisme ‘plat merah’, maka verifikasi kepada para media tentu bukan sekadar ‘pernah terima uang atau tidak’. Kalau pertanyaan seperti itu, maka terlalu rendah. Malah orang yang berkoar-koar, dalam arti tertentu ketiak ia ‘bekerja’ dengan orang atau menjadi tenaga atau sekretaris pada seorang politisi ia juga bersifat ‘seimbang?’ Masalahnya ia ‘dibiayai. Apakah disebut sebagai jurnalis independen?
Tentu tidak. Menerima orang bagi ‘si wartawan’ itu tidak salah. Ia mencari makan dengan bekerja pada seseorang yang merupakan pegawai pemerintah atau anggota legislatif. Ia berhak mendapatkan dana dan ia pun siap bekerja demi orang yang ia layani. Dalam pelayanan itu ia tentu akhirnya mengontrol berita yang bisa merugikan ‘patronnya’. Itu logika sederhana dan tidak usaha dibesar-besarkan.
Jadi dalam menilai sebuah media bukan pada kenyataan ia pernah terima dana atau tidak dari ‘patronnya’ tetapi apa yang dihasilkan setelah mendapatkan suntikan dana itu. Pada aspek ini, maka bila mau realistis, media yang diisukan terlibat bisa dianalisis dari segi model pemberitaannya. Apakah ia cukup seimbang dalam pemberitaan atau berita seadanya? Apakah ia menjaga kaidah jurnalistik?
Dalam pertanyaan ini maka akan terklasifikasi. Media online atau cetak yang sama-sama dibayar tetapi bisa menghadirkan dua kualitas berbeda. Ada yang sungguh menjaga kaidah jurnalistik. Ia memberitakan yang dilakukan pemerintah (karena pemerintah butuh dukungan berupa sosialisasi kegiatan), tetapi pada saat bersamaan ia menjaga kualitas pemberitaannya.
Tetapi pada saat bersamaan harus diakui, ada media yang ‘murahan’. Hal itu sangat nyata dengan menjamurnya media online bak kacang goreng. Mereka sebentarnya tidak punya perangkat dan daya dukung berupa jurnalis handal. Mereka hanya ‘comot berita sana-sini’. Kalau dikirim press release, maka mereka akan ‘muat lurus-lurus’. Kadang mereka kutip dari media online tanpa minta permisi.
Media seperti ini memang hidup dari ‘menjilat’ sebagai satu-satunya sumber hidup. Untuk hal lain (apalagi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar) tidak mereka perhatikan. Karena itu, bila hal ini ingin ditelusuri, maka yang perlu diperhatikan dan dievaluasi adalah kualitas berita dan bukan sekadar pada konteks pernah terima dana atau tidak. Karenanya bila jurnalisme penjilat ingin diklarifikasi maka sekali lagi bukan soal apakah ia pernah terima uang atau tidak tetapi apa yang ia hasilkan setelah terima uang.
Pertanggungjawaban Publik
Agar ke depannya tidak ada salah tafsir dan terjadi hal yang sama, maka beberapa hal bisa dilakukan sebagai antisipasi.
Pertama, pemerintah perlu menyeleksi media cetak / online baik dari segi kualitas pemberitaan maupun kaidah bahasa Indonesia hingga independensinya dalam pemberitaan. Pemerintah sebagia ‘pemberi kerja’ mestinya tahu bahwa sebuah media yang independen akan mudah menjadi penyalur berita karena ia memiliki ‘track and record’ yang bisa dievaluasi dari jumlah pembaca. Mereka bisa sanggup memberikan pikiran positif. Dalam arti ini, kalau media tersebut hanya ‘jago menjilat’, maka sebaiknya ia tidak perlu disertakan dalam kerjasama karena meski ia selalu memuji pemerintah tetapi ia juga tidak akan dibaca. Karena itu untuk apa kerjasama dengan media ‘serendah’ itu.
Kedua, perlu adanya pertanggungjawaban publik. Setiap individu yang memiliki usaha pribadi tetapi bekerjasama dengan lembaga publik (dalam hal ini pemerintah), perlu diinformasikan kepada masyarakat. Hal itu penting agar masyarakat dapat mengontrolnya dengan lebih baik. Masyarakat mengetahui bahwa apa yang mereka terima adalah ‘uang rakyat’ bukan ‘uang pemerintah’. Karena itu mereka harus melaksanakan fungsi jurnalistiknya dengan baik.
Hal seperti ini berlaku untuk umum dan bukan hal baru. Dalam penerimaan aneka bantuan sudah menjadi lumrah orang menulis dalam bentuk Papan Nama bahwa mereka menerima dana. Atau setiap media yang menerima dana harus menuliskan di portalnya bahwa mereka menerima dana. Hal ini akan menguntungkan media karena ia akan memiliki pemirsa / pembaca yang mengontrol kualitasnya dan akan dinilai juga oleh pembaca.
Ketiga, bagi jurnalis ‘abal-abalan’ yang sekadar punya ‘media online’ tetapi tidak memerhatikan kualitas pemberitaan serta membiarkan diri ‘dimainkan oleh uang’, maka ia tahu bahwa masa hidupnya akan pendek. Ia seakan bekerja sia-sia karena setelah melayani penguasa, ia akan ditinggalkan. Ia akahirnya kerja sia-sia karena meski mendapatkan dana dari pemerintah tetapi sebenarnya ia kemudian mengisinya pada lubang kekosongan diri.
Benar kata Walter Isaac: I think when money starts to corrupt journalism, it undermines the journalism, and it undermines the credibility of the product, and you end up not succeeding (Saya pikir ketika uang mulai merusak jurnalisme, itu merongrong jurnalisme, dan itu merusak kredibilitas produk, dan Anda akhirnya tidak berhasil).
Walter mengingatkan bahwa yang akan diuji dari sebuah media (dan jurnalisme) adalah keberhasilan akhir berupa rasa puas karena telah melakukan sesuatu untuk menyadarkan dan memberdayakan orang lain. Itulah kepuasan tertinggi karena ia bekerja tidak di ‘dunia nyata’. Ia bekerja lewat suara, ekspresi, tulisan yang daya pengaruhnya perlahan tapi pasti. Di sana bila dilaksanakan dengan baik maka akan menghasilkan kepuasan yang luar biasa.
Tetapi pada sisi lain harus kita akui bahwa setiap pekerja harus mendapatkan upah. Setiap berita yang disiakan perlu mendapatkan dukungan. Karenanya tidak salah media menerima ‘hibah’ dari pemerintah. Yang pelru dijaga bahwa pemberitaan harus seimbang, berkualitas, karena yang dipertaruhkan adalah masyarakat. Hal itu mengingatkan agar media dan pemilik serta medianya memiliki idealisme yang selalu terukur. (*)