Oleh: Fr. Hiero Lado, CSsR
Mahasiswa Fakultas Teologi Wedbhakti, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Kasus pembunuhan dengan kopi sianida yang terjadi pada 2016 lalu, kini diangkat menjadi film dokumenter oleh Netflix yang diproduseri oleh Rob Sixsmith. Tidak lama setelah perilisannya, film dokumenter berjudul “Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso” garapan Netflix dan Beach House Pictures ini lantas memicu skeptisisme publik akan bagaimana kasus kasus pembunuhan dengan kopi sianida yang terjadi pada 6 Januari 2016 itu.
Setelah melalui persis 32 kali persidangan termasuk Banding, Peninjauan Kembali, dan Kasasi, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mencapai finalnya tercantum dalam perkara nomor registrasi 69 PK/OD/2018 diputuskan pada 3 Desember 2018. Berdasarkan putusan peradilan, kasus ini telah inkrah. Namun demikian, film dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso ini seakan mengungkap informasi-informasi baru di balik kasus besar yang telah lampau.
Publik menjadi empati dengan Jessica Wongso yang telah dihukum. Perdebatan sengit muncul di mana-mana, setidaknya di sosial media. Memori publik soal kontroversi kasus pembunuhan ini bangkit kembali. Tidak butuh seminggu setelah perilisannya, media sosial X (Twitter) trending dengan opini publik mengenai Ice Cold, terlebih menyangsikan bagaimana kasus es kopi vietnam ini diselesaikan.
Di era digital ini, media memang memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi. Terkhususnya menyoroti format dokumenter dalam kasus kopi sianida ini. Format ini memungkinkan penonton untuk menyelam lebih dalam ke aspek-aspek tertentu dari sebuah cerita. Reaksi cepat dan emosional dari publik pasca-penayangannya menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media terhadap persepsi kita tentang realitas. Namun, tidak bijaksana jika melihat fenomena kemarahan dan skeptisisme publik ini adalah murni soal persepsi belaka.
Ketika berbicara tentang hukum dan peradilan, ada satu hal yang sering diabaikan, tetapi sangat penting: kepercayaan publik. Ada alasan yang lebih fundamental dan mengakar sehingga Netflix sanggup mengguncang landasan kepercayaan publik terhadap keputusan hukum di Indonesia hanya melalui rilisan satu judul film dokumenter berdurasi 1 jam 26 menit.
Demi memahami dengan lebih imparsial tentang bagaimana posisi hukum di Indonesia, wawancara bersama advokat Agustinus Mugiyono, S.H. dilakukan. Beliau berpendapat bahwa di negara-negara berkembang, memang sulit menegakkan hukum yang benar-benar andal. Dalam arti, bisa dipertanggungjawabkan keadilannya. “Hukum semestinya menjadi tolok ukur aturan yang menjadi kesepakatan negara. Dengan demikian, setiap warga negara, sama kedudukannya di dalam hukum. Di mata advokat, tidak ada orang yang bersalah tetapi ditunjukkan kebenarannya melalui bukti yang membentuk yang bisa dipertanggungjawabkan,” terang Agustinus Mugiyono, S.H mengenai posisi hukum yang semestinya.
Agustinus Mugiyono menyebut istilah common law, “ini berarti negara hadir untuk melindungi rakyatnya. Telah disediakan perangkat-perangkat hukum (oleh negara) untuk membuat keadilan penuh bagi warga negaranya.” Kontras dengan posisi semestinya, beliau berpendapat bahwa ada cacat struktural di hukum Indonesia. “Hukum di Indonesia sudah baik, secara aturan,” kemudian menambahkan, “tetapi hukum tidak menjadi panglima. Pelaku di dalamnya tidak sepenuhnya menjamin itu.” Hukum tidak bisa menjadi panglima yang adil selagi pelaku di dalamnya tidak adil, itulah celah hukum dipermainkan. Beliau menyebut secara konkret bahwa di Indonesia masih berseliweran istilah jual beli kasus.
Agustinus juga menyinggung perihal tersangka yang bukan merupakan pelaku utama sengaja dibayar untuk menanggung hukuman, sedangkan aktornya lepas bebas. Kecacatan struktural yang menahun ini yang mencederai bagaimana masyarakat memandang hukum dan keputusan pengadilan di Indonesia. Padahal, kepercayaan publik pada sistem hukum maupun penegaknya sangat vital bagi kelangsungan sistem hukum itu sendiri. Apabila masyarakat kehilangan kepercayaan, sulit bagi hukum untuk diterapkan dengan efektif. Apalagi dalam konteks masyarakat yang demokratis, ekosistem bebas berpendapat mampu mempolarisasi skeptisisme lebih ekstrim lagi.
Kasus Jessica dan Mirna adalah salah satu dari banyak kasus lainnya yang menunjukkan bahwa kita, sebagai bangsa, perlu merefleksikan bagaimana sistem hukum bekerja dan terlebih bagaimana publik memandangnya. Salah satu solusi yang dapat mengobati penyakit menahun ini adalah transparansi. Masyarakat harus dapat mengakses dan memahami alasan di balik tiap keputusan pengadilan. Sehingga pemahaman serta pengawalan kasus-kasus tidak hanya bersifat permukaan. Obat lain yang lebih manjur tertentu mereformasi bagaimana penegak-penegak hukum memperlakukan hukum. Lebih jauh, Agus menekankan, “hukum tidak seharusnya dipakai untuk membenarkan kepentingannya. Itu namanya debat kusir. Orang yang paham hukum pun mempermainkan hukum. Orang itu menggunakan hukum hanya untuk memenangkan kepentingannya sendiri, sehingga akhirnya mengelabui masyarakat.” Ia mengakui ada falsafah yang lebih tinggi. “Hukum adalah sinkronnya hati dan pikiran. Harus sinkron, mencari kebenaran,” pungkasnya. ***