Oleh Herman Huller
Diskresi
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Keputusan atau tindakan pejabat berupa diskresi ini tidak serta merta bisa dilaksanakan, karena pelaksanaan diskresi harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang 30 Tahun 2014, yaitu melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Pasal 22 tersebut di atas mencerminkan pentingnya penggunaan diskresi, karena pada pelaksanaannya tidak semua peraturan dapat menjangkau secara komprehensif tugas, wewenang dan tanggungjawab pejabat khususnya teknis pelaksanaan sehingga perlu adanya tindakan subyektif pejabat dalam kelancaran pelaksanaan tugasnya.
Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 23 alasan kenapa diskresi diberikan, meliputi karena ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan, peraturan perundang-undangan tidak mengatur, peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas, dan adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Parameter penggunaan diskresi ini lebih konkrit bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pertama menyangkut pilihan yang diberikan undang-undang, dalam hal ini seorang pejabat dihadapi dengan dua pilihan tindakan, dari dua alternatif tersebut pejabat diberikan keleluasan untuk memilih salah satu sehingga pilihan itulah yang disebut dengan diskresi.
Kedua, peraturan tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dalam arti bahwa sebuah aturan terkait teknis pelaksanaan tugasnya belum ada, belum lengkap atau multitafsir sehingga seorang pejabat harus mengeluarkan diskresi agar tidak terjadi stagnasi dalam pelaksanaan tugas.
Sedangkan ketiga, adanya stagnasi pemerintahan, hal ini dapat diartikan sebagai keadaan darurat, mendesak, dan/atau bencana. Dalam hal terjadi keadaan urgensi maka secara hukum pejabat diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan atau tindakan dengan tujuan untuk merespon keadaan tersebut demi kepentingan umum. Hal ini banyak dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan, bahkan seorang presiden dapat mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang sebagai respon menghadapi keadaan urgensi.
KEWENANGAN PLT KEPALA DAERAH
Terkait tugas dan kewenangan PLT Kepala Daerah, merujuk pada ketentuan UU No. 32 tahun 2004 Jo. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Jo. UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, Pasal 67 ayat (7) menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Kepala Daerah oleh Wakil Kepala Daerah yang sebagai Plt Kepala Daerah yang sedang berhalangan menjalankan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 65 ayat (4) sampai dengan ayat (6) UU Pemda akan diatur melalui peraturan pemerintah. Akan tetapi sampai dengan saat ini belum ada peraturan pemerintah yang secara khusus mengatur tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan yang dapat dijalankan Plt Kepala Daerah sebagai turunan dari ketentuan pasal tersebut yang menyebabkan ketentuan mengenai kewenangan tentang Plt Kepala Daerah dapat merujuk kepada beberapa bentuk peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Plt Kepala Daerah hanya sebatas menjalankan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pejabat defenitif sebelumnya yaitu Kepala Daerah yang sedang berhalangan menjalankan tugas. Kewenangan yang dapat dijalankan oleh Plt Kepala Daerah hanya bersifat administratif seperti menandatangani dokumen yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh Kepala Daerah dan/atau tugas administratif lainnya serta melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh pejabat defenitif yaitu Kepala Daerah yang sedang berhalangan menjalankan tugas.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (7) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjelaskan bahwa kewenangan yang bersumber dari mandat tidak dapat mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang mempunyai dampak terhadap perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.197 Keputusan dan/atau tindakan yang bersifat “strategis” adalah Keputusan dan/atau tindakan yang memiliki dampak besar terhadap perubahan rencana strategis atau rencana kerja pemerintahan. Yang dimaksud dengan perubahan status hukum organisasi adalah menetapkan perubahan struktur organisasi, perubahan status hukum kepegawaian yaitu melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai, dan perubahan alokasi anggaran adalah melakukan perubahan anggaran yang sudah ditetapkan alokasinya.
Melengkapi dan menegaskan ketentuan mengenai batas dan kewenangan pejabat Plt yang dimuat dalam ketentuan UU Adinistrasi Pemerintahan, Badan Kepegawaian Negara melalui SK BKN 26/2016 menjelaskan bahwa pejabat pemerintahan yaitu Plh dan Plt yang memperoleh kewenangan melalui mandat untuk mengisi kekosongan jabatan pejabat defenitif yang sedang berhalangan menjalankan tugas tidak berwenang untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.199 Kemudian dalam ketentuan SK BKN 26/2016 poin 3 (tiga) huruf e memuat kewenangan yang dapat dilaksanakan meliputi:
1) Menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian strategis kerja;
2) Menetapkan kenaikan gaji berkala;
3) Menetapkan cuti selain Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN);
4) Menetapkan surat penugasan pegawai
5) Menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar isntansi, dan;
6) Memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi/administrasi, dan izin tidak masuk kerja.
Kewenangan Plt Kepala Daerah memang dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis karena pejabat pelaksana tugas hanya sebagai pelanjut jalannya roda Pemerintahan Daerah. Jika selama itu diperlukan suatu kebijakan yang bersifat strategis yang harus diambil oleh Plt Kepala Daerah, maka Pasal 132 A ayat (1) PP 49/2008 Tentang Perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, bisa dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan yang bersifat stategis. Ketentuan dalam pasal ini menjelaskan bahwa penjabat atau Plt Kepala Daerah yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan Kepala Daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan kembali menjadi calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, serta Kepala Daerah yang diangkat dari Wakil Wepala Daerah yang menggantikan kepala daerah dilarang:
a. Melakukan mutasi pegawai;
b. Membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
c. Membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan
d. Membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Akan tetapi, menurut ayat (2) ketentuan pasal ini disebutkan bahwa 4 (empat) larangan tersebut dapat dikecualikan setelah memperoleh persetujuan atau izin tertulis dari Mendagri201
Namun, Pasal 132 A ayat (1) PP 49/2008 masih belum membahas mengenai kewenang Plt Kepala Daerah. Sehingga melalui Pasal 9 Permendagri 1/2018 perubahan atas Permendagri 76/2016, ada satu pasal yang mengatur tugas dan kewenangan penjabat sementara atau Plt Kepala Daerah antar lain:
a. Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
c. Memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan Gubernur, wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati, Walikota dan wakil wali kota defenitif serta menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil;
d. Melakukan pembahasan rancangan peraturan daerah dan dapat menandatangani peraturan daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri;
e. Melakukan pengisian kekosongan pejabat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.
Beberapa kewenangan Kepala Daerah seperti membahas dan menandatangani rancangan peraturan daerah, serta melakukan pengisian kekosongan pejabat tidak serta merta dapat dilakukan oleh seorang Plt Kepala Daerah kecuali setelah mendapat persetujuan dari Mendagri. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang di berikan, Plt Kepala Daerah bertanggung jawab dan berkewajiban untuk menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada Mendagri. Selain itu Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian diatur dalam Surat Edaran BKN Nomor 2/SE/VII/2019 Tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian.
Semoga bermanfaat. (*)
Penulis: Alumnus FH Undana Kupang, dan PMKRI Cabang Kupang, bekerja di PN Lembata.