Aksinews.id/Larantuka – Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) menggelar ‘Bincang-bincang Peladang Beradaptasi dengan Perubahan Iklim’ sekaligus Launcing buku ‘Ura Timur’ di Gedung Multieven Hall Keuskupan Larantuka. Sarotari, Larantuka, Flores Timur, Rabu(14/6/2023).
Ini merupakan bagian dari selebrasi penutupan program Indonesia Climate and Disaster Resilient Communities (ICDRC) kerjasama dengan Oxfam Indonesia. Fokus program ini adalah memperkuat ketangguhan masyarakat rentan menghadapi bencana dan perubahan iklim.
Sejak tahun 2018, YPPS didukung Oxfam Indonesia melaksanakan Program Komunitas Tangguh terhadap Iklim dan Bencana di Indonesia atau ICDRC yang diimplementasikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Dari tema besar tersebut, YPPS memfokuskan perhatian pada ‘Sekolah Adaptif Kekeringan’ yang dilaksanakan di 8 (delapan) desa sasaran, 5 (lima) desa di kabupaten Flores Timur dan 3 (tiga) desa di kabupaten Lembata.
Dalam laporannya, ketua panitia, Magdalena Rianghepat, menjelaskan bahwa selama periode program, YPPS melakukan penguatan kapasitas masyarakat agar tangguh menghadapi ancaman bencana dan perubahan iklim. Melalui siklus “Belajar-Aksi-Refleksi”, para pendamping lapangan YPPS memfasilitasi kajian-kajian partisipatif, pencatatan dan pendokumentasian pengetahuan dan memfasilitasi inisiatif masyarakat melakukan uji coba adaptasi dan mitigasi bencana dan perubahan iklim yang terhubung dengan mata penghidupan sebagai peladang.
Dalam sambutan mewakili Penjabat Bupati Flores Timur, Plt. Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Andreas Kewa Ama, S.H menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada YPPS yang telah bersama pemerintah membangun Flores Timur hingga Lembata melalui kerja-kerja kolaboratif. Pemerintah berharap YPPS dan semua yang terlibat serta bersama pemerintah dapat memperluas kerja-kerja pendampingan lewat program-program yang diintervensi di desa-desa.
Diakui bahwa walau belum memperlihatkan perubahan yang berdampak luas, namun melalui ‘Sekolah Adaptif Kekeringan’ pengembangan pengetahuan dan praktek adaptasi dan mitigasi bencana dan perubahan iklim yang dilakukan masyarakat tetaplah dicatat dan dipublikasikan sebagai upaya-upaya komunitas rentan dalam menginisiasi model adaptasi dan mitigasi mata penghidupan menghadapi bencana dan perubahan iklim serta knowledge management berbasis komunitas.
Di akhir masa program ini, YPPS memandang perlu mendokumentasikan seluruh proses dan hasil kerjanya melalui publikasi dan promosi hasil sejumlah inisiatif kecil yang belum tuntas untuk mendapatkan tanggapan dan juga replikasi kreatif dari berbagai pihak, di antaranya Pemerintah Daerah, kalangan LSM dan CSOs lainnya.
Selebrasi mengakhiri program ini dikemas dalam bentuk publikasi dan promosi inisiatif dan pengetahuan masyarakat rentan, peserta ‘sekolah adaptasi’ melalui pameran, pemutaran video-video, testimoni, dialog dan peluncuran buku ‘Ura Timu’ – Etnografi Iklim Mikro Flores.
Menurut Bernard Tukan, salah seorang pembedah buku ini memandang karya ini sebagai sebuah narasi inspirasi. Sebagai narasi karya ini menggambarkan sebuah peristwa dengan rangkaian sebab-akibat. Ada rangkaian tindakan dengan para pelakunya. Mengapa petani melakukan adaptasi dan sebagainya. Karya ini mengandung pula sebuah ratapan dari kampung yakni ratapan tentang mulai hilangnya budaya gemohing seperti yang dikeluhkan para peladang dalam cerita mereka. Ini tanda bhwa iklim berubah, perilaku pun berubah. Perubahan ini yang dirasakan ini mesti ditindaklanjut. Mesti ada transformasi menju inovasi. “Buku ini sudah membantu kita untuk memahami dengan sungguh-sungguh masa lampau, masa kini dan masa depan,” tegas Bernard.
Pembedah lainnya, Silvester Petara Hurint, seniman dan budayawan asal Flores Timur, memandang karya ini menarik karena merekam konteks geografi spesifik (tempatan) dengan kondisi alam, tradisi dan pola berladang beserta pengetahuan lokal terkait dengan musim dan tantangan perubahan iklim. Baginya, kehadiran buku ini menjadi inspirasi bagi studi atau penggalian yang lebih jauh tentang segala kekayaan dalam tradisi berladang. “Dan idealnya bisa jadi referensi dalam pendidikan dan pembangunan kedaulatan pangan kita,” harap Silvester.
Menurut Direktur YPPS, Melky Koli Baran, kegiatan ini merupakan langkah dan titik awal untuk memulai hal yang baru dalam kaitannya dengan adaptasi perubahan iklim. Model baru yang akan didorong ke depan adalah energi terbarukan. Ke depannya permintaan kebutuhan energi akan terus meningkat sehingga dibutuhkan perubahan untuk mengarah menuju energi yang lebih hijau dan ramah lingkungan.
Baginya, buku Ura Timu sebenarnya berisikan pengetahuan masyarakat tentang proses berladang beserta iklim yang berubah yang mempengaruhi pekerjaan mereka sebagai peladang. “Buku Ura Timu adalah salah satu persembahan kepada publik sebagai pengetahuan untuk bisa dibagikan dan direplikasi untuk kerja-kerja peladangan. “Tugas kita ke depan adalah menata kembali bumi dengan pekerjaan-pekerjaan kita dengan cara-cara yang lebih selaras alam,” tegas Melky. (Anselmus D.W. Atasoge/AN-01)