Adrian Naur
Pegawai di SMAS Frater Don Bosco Lewoleba
Membaca tulisan Defri yang berjudul “Naur, Sofis, dan Cara Membaca Komodifikasi dan Jalan Terjal Esttika,” bikin menggelitik saja. Penulis sedikit paham kerangka berpikir Defri. Ia coba menyusun ide-idenya dan kemudian dikonfrontasikan dengan ilmu-ilmu filsafat. Maklum, sebagai yang sementara belajar ilmu filsafat, Defri berusaha memposisikan diri sebagai sosok yang berpengetahuan, sangat objektif, dan kritis terhadap segala sesuatu.
Terhadap pementasan teater dan pergelaran karya yang dipentaskan SMAS Frater Don Bosco Lewoleba (Smater) pun tidak luput dicecari dengan ide-ide berbasis filosofis. Salahkah demikian? Tidak. Semua orang bisa berfilsafat. Menuangkan ide dalam pikiran, tulisan, dan sanggup mempertangungjawabkannya adalah cara berfilsafat.
Namun, sekali lagi, tulisan Defri yang terlampau filosofis itu seperti kehilangan arah dan terlalu mengawang-awang. Hendak mengkritik subtansi pementasan dan pergelaran karya, dengan bahasa-bahasa dan kutipan filosofis, Defri termakan “jebakannya” sendiri.
Kesan pertama yang muncul, kerangka filosofis Defri bias ke argumentasinya sendiri. Kesan kedua, kutipan-kutipan filosofis Defri terkesan tidak kuat dan mendasar. Defri terjebak dengan sesat berpikirnya sendiri karena gagal menarik benang merah atas keseluruhan acara. Ia seperti katak dalam tempurung. Hanya melihat sebagian dari keseluruhan acara. Itu juga akumulasi dari tamu yang diundang, datang, mengamati sebentar, lalu pulang.
Dengan kata lain, Defri sedang berfilsafat di ruang hampa. Dia terjebak pada ruang kosong dan kerangkeng tanpa basis argumentasi yang kuat. Mencoba mengajak pembaca budiman memahami substansi persoalan, justru ia terjerumus dengan cacat pikirnya sendiri. Ia mengkritik konteks, tanpa melihat keseluruhan teks. Itu ibaratnya, menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
Karena itu, kita perlu luruskan cacat berpikir Defri. Pertama, Smater tidak pernah buat sesuatu karena terdesak. Apa yang sudah dipentaskan pada akhir pekan lalu sudah termuat dalam program kerja jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Kalimat kontradiksi yang diutarakan Defri, “Kesadaran tentang pentingnya implementasi ilmu mendesak panitia mongkonsepkan sebuah bentuk kegiatan yang menggabungkan unsur seni, kewirausahaan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan tuntutan P-5”.
Kedua, Smater tidak pernah menjual karcis untuk meraup keuntungan dan sekolah tidak menyelenggarakan kegiatan untuk dipuji karena semuanya sudah terjabar jelas dalam program sekolah. Ruang-ruang pementasan justru dijadikan ajang untuk pengembanganbakat dan minat dalam domain pementasan dan pergelaran. Kalimat sesat Defri, “Seni yang semula menuntut kepekaan berpindah fungsi sebagai aktivitas yang menuntut pemaknaan. Seni terakumulasi oleh kepentingan sekolompok orang yang meraup pujian dan keuntungan ekonomis-sosial”.
Ketiga, tidak bisa mengukur ruang kreativitas para pelajar di Smater hanya dari pementasan teater. Smater juga bukan sekolah yang spesifikasi membentuk para pelajar menjadi para pelakon pementasan dan menuntut para pelajar harus menguasai seluk beluk teater. Smater coba membuka wadah untuk para pelajar mengekspersikan diri, salah satunya lewat teater dan pergelaran karya. Kalimat Defri ini menjelaskan sesat berikutnya, “Mereka tidak lagi menciptakan suatu dengan kebebasan imajinasi, tetapi tunduk pada pakem yang ditentukan oleh orang lain. Model pementasan, misalnya, harus mengikuti mandat kordinator tanpa ada suatu proses belajar bersama…”.
Keempat, Defri berusaha merecoki pemikirannya agar panitia penyelenggara berbesar hati menerima kesalahan. Itu artinya, sudah terkonsepkan dalam kepalanya semua hal yang dilakukan oleh Smater adalah salah. Ia tidak melihat sisi positif dari pergelaran dan pementasan. Hal itu, memang sudah terbaca dari niat awalnya tadi, datang, pulang, tulis, tanpa menyadari undangan yang diberikan oleh panitia ditulis Kepada yang Terhormat….
Kelima, unsur subyektivitas sangat menonjol dari keseluruhan tulisan dan pembahasan Defri. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa dia tidak hanya sesat berpikir. Lebih dalam dari itu, esensi kebenaran yang ingin diperjuangkannya tidak berdasar. Ia mengutip dua filsuf besar, misalnya, Adorno dan Socrates, seolah ingin membuktikan argumentasinya sejajar dengan konteks dan substansi kritik kedua filsuf besar tersebut. Padahal, isi kritiknya kosong. Tanpa arah. Tanpa mengerti substansi.
Sebagai contoh, ia berusaha meyakinkan pembaca agar mengerti secara mendalam mengenai seni. Ia memaksa para pembaca memahami seni yang diejakan panjang lebar itu. Namun, dia lupa bahwa seni menjadi relatif pemaknaannya setelah dipertontonkan di muka umum. Artinya, tidak ada rumusan baku mengenai seni itu sendiri. Defri juga kurang menyadari kalau ketrampilan bukan hanya tentang teater semata. Ketrampilan itu in se seni. Ketrampilan yang dipentaskan adalah seni. Dia tidak melihat bahwa stan foto, stan kewirausahaan, stan kantin, stan kearifan lokal adalah bagian integral dari ketrampailan dan kesenian. Ia justru menyalahkan berdirinya stan-stan tersebut.
Kalimat sesat yang dimaksud, “Mereka mereduksi seni sebagai ‘barang dagangan’ yang entah ‘suka tak suka’, ‘bagus tak bagus’, ‘benar tak benar’, harus disaksikan oleh penonton”.
Sampai di sini kita memahami bahwa Defri sendirilah yang mereduksi makna kesenian. Ia hanya melihat satu aspek soal kesenian. Ia mengabaikan aspek ketrampilan. Orang suka atau tidak suka, benar atau salah, panitia tidak pernah memaksa penonton untuk bertindak demikian.
Begitulah kalau menonton dengan perasaan emosional, tentu segala sesuatu tersampaikan secara subyektif. Defri gagal memahami maksud dan tujuan pementasan dan pergelaran karya malam itu.
Dia berusaha mengkritik pementasan teater, tanpa melihat karya-karya lain yang sebenarnya punya korelasi dengan keseluruhan konsep acara malam itu. Tema “Bara Suara dan Kreasi Siswa” sudah merangkum keseluruhan maksud dan tujuan acara dan tidak bisa dilepaspisahkan. Toh, pementasan dan pergelaran malam itu tidak ada atas nama komunitas tertentu.
Konsep pementasan teater dan pergelaran karya yang dipentaskan juga tidak menyalahi atau keluar dari esensi pementasan dan pergelaran itu sendiri. Para pelajar tidak dipaksa apalagi direcoki dengan beban atas apa yang telah dibuat. Mereka justru dilatih untuk bertanggung jawab atas segala yang sudah dimulai. Mereka diajarkan untuk menghasilkan dan memamerkan hasil karyanya sendiri. Begitu pula dengan pementasan teater, yang secara konsep dan tujuan tidak menyerupai pembawaan komunitas-komunitas teater pada umumnya
Kalau yang dimaksud pementasan teater mesti yang terkonsepkan sebagaimana ulasan Defri, maka sekali lagi, ia sedang berfilsafat di ruang hampa. Hendak mengkritik konteks, tanpa memahami teks keseluruhan, itu namanya sesat. Mengapa? Karena pementasan kelas XII semata bertujuan untuk memenuhi ujian akhir, pun dengan pergelaran karya dan kewirausahaan. Hal itu, bahkan, sudah dijelaskan dalam undangan resmi dan kembali disampaikan oleh Master Of Ceremony pada acara pembukaan dan penutup.
Karena itu, secara konsep dan pelaksanaan acara malam itu boleh dikatakan sebagai event, bukan pementasan teater in se.
Penggabungan antara panen projek P-5, pelaksanaan ujian akhir kelas XII, dan gelar karya SBK dan kewirawusahaan, tujuannya sebagai penilaian akhir atas pelaksanaan program profil pelajar Pancasila. Tidak salah pula jika pementasan dan pergelaran karya yang bertemakan “Bara Suara dan Kreasi Siswa” mengandung unsur komersial, hiburan, edukasi, dan promotif. Smater juga tidak mengambil keuntungan dari event tersebut.
Sebagai pemilik event, Smater berhak menentukan sikapnya, acara, dan seluruh kegiatan. Perencanaan dan pelaksanaan seluruh kegiatan sudah sejak awal dikonsepkan secara matang.
Event malam itu juga dilihat sebagai ajang unjuk kemampuan siswa dalam hal kesenian dan pementasan. Sebagai penonton seharusnya Defri tidak dibuat bosan dan terhibur, sebab banyak pilihan yang bisa dinikmati. Sayangnya, ia hanya datang dan berdiri di muka pintu, lantas pulang tanpa meninggalkan jejak. Beberapa guru sudah mempersilakannya duduk dengan sopan lagi, tetapi ditolaknya. Begitukah sikap seorang seniman?
Kalau mau jujur, tidak hanya seni pementasan teater yang mau ditonjolkan, tetapi juga seni suara, seni rupa, seni penciptaan, dan seni tarik suara. Smater mengkombinasikan seluruh unsur kesenian dan ketrampulan dalam sebuah event yang dinamakan “Bara Suara dan Kreasi Siswa”.
Defri terfagmentasi pada satu pergelaran dan berusaha meyakinkan pembaca bahwa penilaiannya itu benar. Ia lupa kalau pergelaran dan pementasan malam itu adalah upaya Smater mendorong sekolah-sekolah di Lembata agar bisa membuat event yang sama. Lebih kreatif dan lebih inovatif. Kalau Defri sedang berfilsafat, kita mesti paham: “Ia sedang bersilsafat seperti cara para Sofis. Lebih ironi dari seorang Sofis”.***
Menurut saya,tidak perlu melakukan balasan-balasan yg hnya utk di baca oleh para pembaca dan membuat para siswa naik pitam kepada si pengkritik.
Tidak ada salahnya kalau kita(Smater)mengundang dia(si pengkritik) ke sekolah kita dan bertemu langsung empat mata,membuat satu podcast sederhana atau forum berdebat terkait pementasan dan pergelaran karya yg telah di lakukan sebelumnya.Nah dengan demikian,kita bisa saling mengenal dengan baik,menyampaikan argumen kita,dan juga kita bisa mengambil kesimpulan sehingga akhirnya kita semua bisa menerima kelebihan dan kekurangan dari hasil pementasan dan pergelaran karya yg sudah terjadi sebelumnya.
Sekedar masukan dari saya🙏
Keren usul ini.