Oleh: Gregorius Yoseph Laba
Aktivis Anak dan Kaum Muda / Youth and Child Activist
Baru-baru ini jagad maya Lembata ramai memperbincangkan sejumlah foto yang menampakkan rambut seorang siswa dibotaki oleh Gurunya. Sebagian besar warganet mendukung upaya ini sebagai bentuk “pendisiplinan” dan penegakan aturan sekolah. Namun, tidak sedikit juga yang mengutuk tindakan ini sebagai sebuah kekeliruan.
Di Lembata, bahkan Indonesia, sudah jadi rahasia umum jika penampilan rambut siswa (khususnya pria) adalah aspek krusial yang sangat perlu diatur oleh sekolah. Sekolah biasanya menetapkan aturan maksimal panjang rambut 2-3 centimeter. Bahkan sebagian besar penilaian kelayakan rambut ditentukan oleh estetika subjektif guru. Itulah sebabnya tak jarang jika model rambut yang mengikuti tren tak luput dari razia sekalipun panjangnya tak lebih dari 3 centimeter.
Rambut yang pendek dianggap mencerminkan kerapian dan keindahan. Padahal sebetulnya referensi setiap orang tentang kerapian dan keindahan bisa berbeda. Yang rapi dan indah menurut guru belum tentu estetik menurut siswa. Yang rapi dan ideal menurut kebanyakan masyarakat belum tentu membuat siswa percaya diri. Pada intinya, selagi potongan rambut itu membuat siswa nyaman dengan dirinya dan tidak merugikan orang lain maka tidak pantas untuk ditindak.
Penilaian subjektif Guru akan kerapian dan keindahan rambut tak jarang membuat Guru gegabah mengangkat gunting – sekalipun dalam beberapa kasus didahului dengan teguran. Namun tak sedikit juga Guru yang dengan tega membotaki kepala siswanya secara tidak layak (gunting selak) dan menyuruh mereka kembali merapikannya sendiri. Tak peduli akan tekanan psikologis siswa, tak peduli akan tingkat kepercayaan diri siswa yang menurun, tak peduli akan perundungan (bullying) yang diterima dari teman-temannya.
Bagaimanapun juga, keberadaan sebuah aturan (hukum) dan sanksi yang mengikutinya harus menempetkan penghargaan terhadap martabat manusia (dignity) sebagai aspek yang utama. Jika kita melihat dari sejarahnya, fenomena razia rambut siswa di sekolah adalah warisan tradisi pemerintahan militer-otoriter Orde Baru yang memerangi masyarakat berambut gondrong pada era 1960-an. Rezim pemerintahan Soeharto ketika itu mengasumsikan bahwa orang-orang yang berambut gondrong adalah pelaku kriminal yang harus dibasmi. Sementara mereka yang botak atau setidaknya tidak berambut panjang adalah orang-orang taat aturan. Inilah yang kita kenal sebagai steriotipe – penilaian yang keliru (cacat logika) terhadap seseorang berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Steriotipe tersebut terus direproduksi oleh masyarakat dan dianggap sebagai kebenaran mutlak, bahkan diadopsi sebagai aturan dengan dalih “pendisiplinan” oleh institusi pendidikan hingga hari ini.
Sebetulnya, jika kita berpikir rasional, karakter seseorang tak dinilai dari penampilan fisiknya. Seorang botak bisa lebih berbahaya dan tidak taat aturan dibanding seorang gondrong yang rambutnya acak-acakan. Asumsi “yang botak taat aturan” ini sering dipraktikan oleh sistem militer kita. Dalam perekrutan anggota militer, peserta biasanya dibotaki rambutnya agar tunduk terhadap otoritas, taat pada atasan, dan mengikuti komando. Sementara itu, institusi pendidikan formal kita bukanlah institusi militer melainkan institusi akademik yang demokratis. Paradigma aturan hukum yang demokratis tentu berbeda dengan sistem militer-otoriter. Jika otoritarianisme menggunakan hukum untuk menaklukan subjeknya, membangun loyalitas pada komando, dan membuat seseorang tunduk, demokrasi mengedepankan hak asasi manusia dan pembatasan kekuasaan.
Pemahaman akan sistem pendidikan yang demokratis menghantar kita pada pola didik yang manusiawi dan bebas kekerasan. Banyak netizen yang mendukung razia rambut di sekolah cenderung berangkat dari asumsi “di ujung rotan ada emas”. Mereka bernostalgia – memaklumi dan membenarkan perilaku kekerasan yang diterima dari guru-gurunya semasa mengenyam pendidikan. Mereka lupa bahwa sebetulnya ada jalan lain untuk membangun kedisiplinan siswa tanpa menggunakan kekerasan. Mereka lupa bahwa menggunting rambut siswa secara sewenang-wenang tanpa kehendaknya adalah kekerasan psikis yang mengancam tumbuh kembang siswa. Mereka lupa bahwa mendidik dengan kekerasan adalah pola asuh yang salah, ketinggalan zaman (outdated), dan tidak beradab.
Kekuasaan Guru dan Batasan Undang-Undang
Penafsiran aturan (hukum) yang demokratis dan memanusiakan perlu menjadi rujukan dalam mendidik siswa. Hal ini berangkat dari pemahaman relasi antara Guru dan siswa itu sendiri. Jika kita mengkaji dari aspek relasi kuasa, posisi Guru cenderung lebih dominan terhadap siswa. Kondisinya adalah, Guru memiliki otoritas sedangkan siswa tunduk pada otoritas. Itulah sebabnya aturan (hukum) harus hadir untuk membatasi kekuasan pemegang otoritas sehingga tidak menyimpang atau disalahgunakan. Dengan kata lain, aturan (hukum) yang demokratis tidak hanya melindungi siswa tapi juga melindungi Guru dari potensi kekerasan atau perbuatan melawan hukum lain yang dapat ia lakukan. Kita tentu tidak menginginkan ada Guru yang harus dipenjara hanya karena menggunting rambut siswa seperti yang terjadi di Adonara beberapa waktu lalu. Kita juga tentu tidak ingin ada siswa yang meninggal dunia saat menjalani hukum fisik karena terlambat ke sekolah seperti pada kasus FL (14 tahun), siswa salah satu SMP di Manado.
Secara legalitas, pemahaman akan pembatasan kekuasaan Guru telah diwujudnyatakan oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 23 tahun 2002 (UUPA) beserta perubahan dan aturan turunannya. Pasal 54 (UUPA) secara tegas menyatakan bahwa, “Anak wajib mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh pendidik dan tenaga pendidikan”. Namun bukan berarti undang-undang hanya melindungi anak.
Guru juga berhak mendapat perlindungan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 39 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas”. Perlindungan yang dimaksudkan mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Dalam hal pemberian sanksi, aturan hukum positif Indonesia sebetulnya masih memberikan kebebasan kepada guru. Hal ini tertuang dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun 2008 tentang Guru yang menyatakan bahwa “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya”.
Akan tetapi, kebebasan memberikan sanksi tidak harus dimaknai secara gamblang. Kebebasan tersebut harus diartikan sebagai cara-cara persuasif dan kreatif dalam membimbing siswa. Sanksi yang diberikan Guru harusberorientasi pada siswa sebagai subjek dan rekan diskusi. Guru memfasilitasi siswa untuk berkembang, bukan menghambatnya dengan kekerasan.
Adanya kekuasaan dan otoritas yang dimiliki kerap kali membuat Guru menganggap pendisiplinan harus dilakuakan secara top-down (dari atas ke bawah). Salah satu contohnya kita temukan dalam kasus razia rambut.
Sejatinya, jika guru menempatkan siswa sebagai subjek pendisiplinan maka tindakan represif yang melanggar otonomi tubuh seperti itu dapat dihindari. Lagi pula pendisiplinan cendrung dimaknai konotasinya dengan hukuman, padahal paradigmanya adalah pengembangan perilaku. Membentuk perilaku tidak dilakukan secara instan dengan memberikan hukuman yang keras.
Sekeras-kerasnya hukuman hanya efektif dalam jangka waktu yang singkat dan tidak menjamin seseorang mengikuti sebuah aturan atau norma. Perilaku adalah proses yang membutuhkan partisipasi bermakna. Pembentukan aturan (hukum) dan penerapan sanksi juga perlu melibatkan partisipasi subjeknya. Bagaimana mungkin seorang siswa taat pada aturan (hukum) sementara dia sendiri tidak terlibat dalam proses pembuatannya? Pacta Sunt Servanda (sebuah undang-undang / aturan mengikat bagi mereka yang membuatnya).
Pada akhirnya, membiarkan tradisi razia rambut dan berbagai kekerasan lain di sekolah terjadi adalah bentuk pengabaian terhadap tumbuh kembang anak. Pemakluman fenomena ini justru akan menambah deretan panjang kasus kekerasan anak di Lembata – sebuah ironi di tengah status Kabupaten Layak Anak – namun dengan tingkat kekerasan anak yang sangat tinggi.
Demikian pula, mengkritik dan membatasi kekuasaan guru bukan berarti kita tidak menghargai jasa dan perjuangan guru-guru kita. Kita justru memberi rambu-rambu agar tidak tercipta konflik antara guru, siswa, dan orang tua. Agar generasi baru bangsa ini dididik tanpa kekerasan.
Kita telah memasuki masa di mana siswa dapat disiplin dan sadar akan tanggung jawab belajar bukan karena takut dengan rotan atau kayu. Kita sudah ada di masa depan – di mana kepala dan rambut siswa tidak berkorelasi dengan ketidaktaatan atau intelektualitas. ***