Oleh: Yurgo Purab
Suka Sastra, Ngopi, Film Horor dan Pelihara Anjing
Jhon Dami Mukese, lahir tanggal 24 Maret 1950 di Menggol, Benteng Jawa, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dithabiskan menjadi Imam Katolik dalam Tarekat Sabda Allah (SVD) pada tanggal 19 Juli 1981. Buku-Buku yang dipublikasikan: Puisi-Puisi Jelata (Kumpulan Puisi-1991), Doa-Doa Rumah Kita (1996), Sejenak di Beranda: Bercanda dengan perumpamaan (Kumpulan Perumpamaan 1 dan 2-200), Kupanggil Namamu Madonna (Kumpulan Puisi Doa Maria-2005), Menjadi Manusia Kaya Makna (Kumpulan Esai-2006), Homiletik, Seni Berkhotbah Efektif (2010), Komunitas Basis Gerejawi (2014).
Pemaknaan sebuah puisi tidak terlepas dari penafsiran. Dan penafsiran itu selalu bertolak dari konteks ruang (lokus) dan waktu (tempos). Oleh karena itu teks sastra selalu mendapat pengaruh dari teks-teks lain.”Teks sastra selalu dilahirkan dalam keadaan tidak vakum. Pengarang senantiasa dipengaruhi oleh hal-hal yang disebut konteks sastra. Sastra tidak mengenal sterilisasi ide. Setiap pengarang selalu diboncengi oleh konteks lain yang mengintarinya” (Dr. Suwardi Endraswara, M. Hum, 2013:34).
Demikian pula dengan puisi “Jubin itu Penuh Debu”, karya P. John Dami Mukese. Hemat saya, puisi ini dilahirkan dalam keadaan tidak vakum. Pengarang mendapat pengaruh lingkungan yang mengintarinya. Dan konteks (lingkungan) itu adalah hal-hal yang bersifat sensible (yang tampak ). Yang sensible itu adalah hal-hal yang dapat diindrai. Itulah yang saya ketemukan dalam puisi “Jubin itu Penuh Debu”, karya sastrawan NTT lapis pertama dalam periodisasi pelacakan sastra dan sastrawan NTT ini (Bdk. Yohanes Sehandi,2012: 17).
Hemat saya, “Puisi Jubin itu Penuh Debu”, bukan hanya sekedar puisi tetapi lebih jauh dipandang sebagai doa. Dikatakan sebagai doa, karena di dalamnya terkandung pergumulan hidup seorang manusia menuju Tuhan. Oleh karena itu, dapat kita ketemukan bahwa penyair dalam pengembaraannya sebagai Imam, telah mensublimasikan apa yang tampak menjadi transformasi religius, yakni perjumpaan dengan Tuhan sendiri. Karena itu, puisi “Jubin itu Penuh Debu” adalah sebuah kesunyian batin dalam tapa hidup imamat melalui kata-kata. Dan kata-kata itu terejawantahkan melalui sebuah narasi mengenai kesederhanaan Allah.
Allah yang tampak sederhana itu adalah Allah yang rela menjadi hamba, turun ke dunia mengambil rupa sebagai manusia dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus. Ia adalah Tuhan yang miskin, dihina karena lahir di kandang domba, namun atas dasar itu, martabat manusia kembali dipulihkan.
Hemat saya, Pater John Dami Mukese, telah memanfaatkan pengindraan yang tajam dan peka menangkap setiap bunyi serta membahasakannya melalui kata-kata yang apik dan terpilin. Oleh karena itu, penulis mencoba mencari makna yang terkandung dalam puisi “Jubin itu Penuh Debu”, Karya P. John Dami Mukese, SVD.
Dalam puisinya Ia menulis;
Tuhanku,
begitu sederhananya Engkau
Tergeletak di bawah kasutku
penuh debu dan diinjak-injak
Ah, debu, penoda!
Bukankah aku ini debu?
Tuhan,
bila aku kembali kelak
biarkan aku tergeletak
pada jubin pelataran-Mu
Akulah debu pada kasut-Mu
Pada baris pertama, ungkapan “Tuhanku”, merupakan sebuah seruan akan keberadaan Tuhan. Keberadaan Tuhan ditempelkan dengan kata ganti orang pertama “-ku” merupakan sebuah ungkapan kedekatan bahwa “Tuhanku”, adalah Tuhan yang dekat, Tuhan yang berada disamping aku, bersama aku dan menjadi milik aku sepenuhnya. Walaupun dalam kehadiran-Nya, Tuhan bukan milik segelitir orang tetapi semua orang yang berlindung dan percaya kepada-Nya. Maka dalam bahasa kitab suci kita ketemukan teks yang mengatakan: Ia ada di dalam Aku, dan Aku di dalam Dia. Ungkapan ini hemat saya, adalah sebuah perasaan memiliki bahwa Tuhan itu ada dan selalu menyertai aku dalam setiap tapak ziarah hidupku.
Pada baris kedua, Tampak jelas terungkap akan kesederhanaan Tuhan. Bahwa Tuhan yang kusembah itu, Tuhan yang sederhana. Hal ini dapat dilihat dari syair “begitu sederhananya Engkau”. Term “Begitu” dipandang sebagai sebuah pelampauan, ungkapan kepenuhan, pengaminan bahwa ada kesederhanaan yang dalam. Tak sebatas pada hal-hal biasa. Maka Tuhan yang sederhana di sini dalam artian kesederhanaan yang melampaui segala kesederhanaan yang lain.
Term “Kasut” merupakan simbol kotor, tempat paling bawah dan sulit diperhatikan. Karena Tuhan begitu sederhana sehingga Ia “Tergeletak di bawah kasutku”. Tergeletak di sini menunjukan keberadaan tanpa berbuat apa-apa. Di bawah kasut itu berarti simbol kehinaan. Ia berpaut dengan debu dan kotoran. P. John sengaja menggambarkan Tuhan sebagai Allah yang miskin, Allah yang hina tetapi sangat mengasihi orang yang lemah, miskin, berdosa dan tertindas. Oleh karena itu Ia menerbitkan matahari bagi orang benar dan yang jahat. Kasih-Nya tanpa pandang bulu.
Pada baris keempat, P. John melukiskan Tuhan yang berada di bawah kasutku dan diinjak-injak. Sebuah kepolosan batin, pengakuan akan keterlibatan tokoh aku dalam bentuk dosa. Bahwa aku telah menginjak Tuhan dengan dosa-dosaku. Debu yang adalah lambang kerapuhan manusiawi telah dilekatkan pada Tuhan. Maka kita dapat memahami bahwa duri-duri dosa kita telah melahirkan penghinaan yang keji terhadap Tuhan.
Maka, aku (mungkin juga kita) telah menyalibkan Tuhan dengan dosa-dosa kita. Dalam baris kelima dan keenam tertulis; Ah, debu, penoda! /Bukankah aku ini debu?. Sebuah ungkapan kesadaran dari tokoh aku atas keberadaanku yang bermula dari segumpal tanah. Tanah tentunya berdebu dan debu terkadang dihempas angin ke sana kemari tanpa arah yang jelas. Karena itu, ungkapan ” …aku ini debu” setidaknya menyadarkan aku atas kerapuhanku.
Dalam dan melalui kerapuhan itu, saya harus bersandar pada Tuhan yang adalah tujuan dan pelabuhan hidupku.
Pada baris ketujuh dan kedelapan tersirat akan realitas sekembalinya aku dari kedosaan yang telah kuperbuat. Hal ini tampak dalam syair-syair berikut; “Tuhan/ bila aku kembali kelak”. Sebuah analogi akan kembalinya diri yang sesungguhnya. Dalam kitab suci kita bandingkan dengan perumpamaan mengenai anak yang hilang. Suatu pengampunan dan belas kasih Allah yang tanpa batas.
Pada baris kesembilan dan kesepuluh masih terdapat satu rangkaian yang sejajar. Bahwa setelah sekembalinya tokoh aku dari dosa-dosaku, tampak sebuah kerinduan untuk berada (terletak) ”pada jubin pelataran-Mu”. Hal ini mau menampakan realitas batin seseorang untuk berada dalam altar Tuhan. Sebuah pengakuan bahwa Tuhan di atas segalanya dan aku hanya sebutir debu. Hingga pada satu titik, aku menyadari diriku sebagai debu pada kasut Tuhan. Hal ini tampak pada baris kesebelas “Akulah debu pada kasut-Mu”.
Untuk menggali makna karya sastra kita tidak selalu berkaca pada teori strukturalisme dalam kritik sastra. Tetapi lebih dari itu, kita berangkat dari keterpilahan kata-kata yang dibangun penyair dalam batang tubuh puisi yang dibangunnya. Hemat saya, puisi ini sebentuk doa yang lahir dari kedalaman hati yang bening. Oleh karena itu, membaca karya sastra terlebih puisi karya P. John Dami Mukese, SVD sepertinya kita masuk dalam kidung pujian yang gegap gempita.***