Oleh: I Made Arthana
Kepala Seksi MSKI KPPN Kupang
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara/daerah, pengelolaan keuangan negara/daerah perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Peran belanja pemerintah pusat dan daerah dirasakan semakin penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. APBN dan APBD menjadi instrumen paling penting dalam dua tahun terakhir di saat seluruh komponen pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi.
Pandemi Covid-19 telah mengganggu alur perdagangan dunia karena konsumsi masyarakat dan investasi tercatat tidak bergerak akibat upaya pemerintah untuk melakukan pembatasan mobilitas guna mencegah terjadinya penyebaran pandemi Covid-19. Seiring dengan peran penting tersebut dan perkembangan zaman, tuntutan atas pengelolaan keuangan negara/daerah tidak dapat hanya bergantung pada penerapan yang saat ini exist.
Untuk menunjang hal tersebut, digitalisasi sangat penting diterapkan dan diharapkan untuk terus didorong dalam transaksi keuangan pemerintah. Pemerintah pusat/daerah dituntut untuk lebih progresif terkait penerapan digitalisasi khususnya dalam hal pengadaan barang dan jasa, proses transaksi dengan kemudahan pembayaran melalui e-payment serta peningkatan pelayanan publik (e-services).
Sebagai upaya menuju ke arah itu, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 178 Tahun 2018 pemerintah mengumumkan dimulainya penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP). Penggunaan KKP bertujuan untuk meminimalisasi penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara (cashless), mengurangi dana menganggur (cost of fund/idle cash) dari penggunaan UP, sebagai alternatif pembayaran pada satuan kerja (tidak menambah utang negara), meningkatkan keamaan dalam bertransaksi serta mengurangi potensi fraud dari transaksi secara non tunai.
Dalam pelaksanaannya, KKP dibagi menjadi dua sesuai peruntukannya yaitu pertama untuk belanja perjalanan dinas seperti tiket, penginapan dan sewa kendaraan. Kemudian kedua untuk belanja operasional baik belanja barang atau belanja modal seperti pembelian ATK, konsumsi rapat dan lain-lain.
Berbeda dengan kartu kredit untuk pribadi atau bisnis, KKP memiliki beberapa keistimewaan yaitu, pertama limit belanja, penentuan limit belanja KKP ditetapkan sebesar 40 persen pagu uang persediaan setiap satuan kerja pemerintah. Kedua, pembebasan berbagai macam biaya penggunaan kartu kredit.
Digitalisasi kemudian berlanjut pada rekening untuk menampung dana APBN. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara memiliki ribuan rekening untuk menampung dana APBN. Jumlah rekening pemerintah terbesar adalah dalam bentuk rekening Bendahara Pengeluaran dimana terdapat sekitar 24 ribu rekening Bendahara Pengeluaran. Hal ini memberikan kesulitan untuk mengelola dan memantau rekening-rekening tersebut. Oleh karena itu, restrukturisasi rekening pemerintah khususnya rekening Bendahara Pengeluaran mutlak diperlukan. Peraturan Menteri Keuangan nomor 183/PMK.05/2019 tentang Pengelolaan Rekening Pengeluaran Milik Kementerian Negara/Lembaga menjadi dasar rektrukturisasi rekening Bendahara Pengeluaran.
Retrukturisasi rekening pengeluaran dilakukan dengan mengubah rekening Bendahara Pengeluaran menjadi Rekening Induk di unit Eselon I Kementerian /Lembaga (rekening giro) dan Virtual Account (VA) di satker. VA nantinya menggantikan rekening giro dan berperan sebagai mekanisme pengelolaan, pencatatan, dan pelaporan dimana.seluruh saldo VA akan terkonsolidasi pada rekening induk. Secara fungsi, VA sama dengan rekening giro yaitu menampung Uang Persediaan/Tambahan Uang Persediaan (UP/TUP), LS Bendahara, dan transfer antar rekening. Implementasi rektrukturisasi rekening pengeluaran ini mulai dilaksanakan Tahun 2020.
Pemanfaatan VA di satker dapat mengurangi jumlah rekening pengeluaran dari sekitar 24 ribu rekening menjadi kurang dari 2 ribu rekening. Pengelolaan dan pemantauan rekening akan menjadi jauh lebih mudah dengan jumlah rekening yang sedikit. Eselon I Kementerian Negara/Lembaga juga dapat memantau seluruh saldo dan transaksi satker secara realtime online karena adanya penggunaan digital banking berupa kartu debit, CMS dan dashboard.
Tujuan lain yang ingin dicapai dengan rektrurisasi rekening pengeluaran melalui VA adalah untuk mengoptimalisasikan remunerasi atas pengeloalaan UP/TUP yang ada di satker. Melalui VA, saldo UP/TUP akan terkonsolidasi di rekening induk yang berada di unit Eselon I Kementerian Negara/Lembaga. Dana ini dapat dimanfaatkan oleh Kementerian Keuangan untuk ditempatkan baik itu di Bank Indonesia maupun di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sehingga menghasilkan remunerasi yang lebih tinggi. Dengan jumlah rekening pengeluaran satker yang sedikit maka pengelolaan rekening pemerintah menjadi lebih efektif dan efisien serta memberikan nilai tambah berupa renumerasi atas pengelolaan UP/TUP.
Perluasan serta kemudahan sistem pembayaran digital dan akselerasi layanan perbankan digital membawa dampak meningkatnya akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja online. Selain itu, kondisi pandemi COVID-19 pun menjadi faktor yang turut mengakselerasi implementasi digital di masyarakat. Keberadaan marketplace telah mengubah pola belanja masyarakat. Apabila sebelumnya transaksi jual beli dilakukan secara tatap muka, sekarang telah beralih menjadi transaksi secara virtual tanpa sekat-sekat ruang dan waktu. Keberadaan marketplace menjadi lebih digemari dengan adanya fasilitas pembayaran yang semakin beragam.
Hal ini juga sudah mulai dikenalkan dan digiatkan penerapannya oleh pemerintah. Anggapan bahwa pemerintah selalu ketinggalan zaman nampaknya ditepis dengan penggunaan sarana berbasis teknologi informasi dalam pengelolaan belanja pemerintah atau yang selama ini dikenal dengan pengadaan barang dan jasa (PBJ). Berbicara mengenai pengadaan barang dan jasa bagi keperluan pemerintah, maka kita akan dihadapkan dengan prosedur yang rumit dan panjang serta adanya pertanggungjawaban yang mungkin cukup merepotkan. Dibutuhkan berbagai kelengkapan berkas sebagai bukti bahwa belanja yang dilakukan telah sesuai ketentuan.
Menjawab permasalahan yang ada, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pun mengeluarkan kebijakan secara khusus mengenai Pengadaan Barang dan Jasa melalui sarana elektronik untuk menyederhanakan proses yang harus dilalui, termasuk dengan menggunakan teknologi untuk pemrosesan seluruh berkas-berkas yang diperlukan. Selaras dengan langkah yang dilakukan oleh LKPP, Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan pun melakukan langkah serupa. Dengan menggandeng Bank BRI, Bank Mandiri dan Bank BNI, terobosan berupa sistem marketplace dan digipay pun diperkenalkan ke publik.
Peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan untuk mendorong digitalisasi transaksi keuangan dalam rangka Gerakan Nasional Non Tunai dan menaikkelaskan UMKM yaitu dengan membangun sebuah platform marketplace yang dikenal dengan Digipay. Digipay terdiri atas sistem Markeplace dan Sistem Digital Payment yang terintegrasi dalam satu platform. Sistem marketplace memfasilitasi transaksi pemesanaan dan penyediaan barang/jasa antara instansi pemerintah dengan penyedia barang/jasa. Sistem digital payment akan memfasilitasi proses pembayaran atas transaksi yang dilakukan di dalam sistem marketplace tersebut. Mekanisme pembayaran pada marketplace dengan mekanisme overbooking / pemindahbukuan dari rekening pengeluaran secara elektronik dengan kartu Debit / Cash Management System (CMS) atau pendebetan kartu Kartu Kredit Pemerintah (KKP) ke rekening penyedia barang/jasa.
Pada platform Digipay ini, proses bisnis yang ada didalamnya telah dilakukan penyesuaian sehingga tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di sektor publik dan mengikat bagi instansi-instansi pemerintah. Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah menerbitkan petunjuk pelaksanaan melalui Peraturan Dirjen Perbendaharaan nomor PER-20/PB/2019 tentang Penggunaan Uang Persediaan melalui Sistem Marketplace dan Digital Payment pada Satuan Kerja.
Pemerintah menaruh harapan atas perkembangan marketplace sebagai tempat pemenuhan kebutuhan barang/jasa bagi pemerintah. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi alasan utama, diantaranya:
- Keamanan dan kepraktisan. Penggunaan uang tunai dalam transaksi pembayaran menimbulkan berbagai risiko khususnya berkaitan dengan keamanan. Terdapat risiko timbulnya kriminalitas/kehilangan uang apabila bertransaksi tunai dalam jumlah besar.
- Mekanisme pertanggungjawaban belanja yang dilakukan. Penggunaan marketplace akan menyederhanakan kegiatan PBJ mulai dari pemilihan penyedia hingga penyusunan pertanggungjawaban belanja. Proses manual akan tergantikan dengan sistem dan akan berdampak pada laju penyerapan anggaran unit masing-masing. Proses serta alur administratif akan menjadi lebih singkat karena sebagian kegiatan telah dibantu melalui aplikasi yang digunakan.
- Akuntabilias PBJ. Penggunaan marketplace akan meminimalisasi fraud atau kecurangan yang mungkin terjadi. Termasuk juga kemungkinan adanya transaksi fiktif PBJ. Sistem dalam marketplace akan memudahkan untuk audit tracking, sehingga apabila ada kejanggalan akan mudah untuk dilakukan evaluasi. Dalam hal terjadi tindak pidana, keberadaan data pada system marketplace dapat dijadikan alat bukti dalam proses persidangan.
- Manajemen pengelolaan kas oleh pemerintah. Marketplace membuka peluang pembayaran dengan penggunaan KKP. Semakin banyaknya instansi pemerintah aktif menggunakan KKP berdampak pada menurunnya cost of fund yang harus ditanggung oleh pemerintah. Perencanaan kebutuhan kas untuk membiayai belanja menjadi lebih akurat sehingga mengurangi penarikan utang yang tidak perlu.
- Potensi pendapatan yang diperoleh oleh pemerintah. Penyedia barang/jasa pada marketplace memiliki kewajiban yang harus dipenuhi untuk memulai berjualan. Kewajiban perpajakan merupakan salah satu kewajiban bagi para penyedia barang/jasa. Dengan penggunaan teknologi informasi dalam pengelolaan marketplace, semua catatan aktivitas dari masing-masing penyedia barang/jasa akan mudah terpantau. Penyedia yang memiliki banyak transaksi barang/jasa dapat dipastikan memiliki kewajiban perpajakan yang lebih dibandingkan penyedia yang memiliki transaksi lebih sedikit. Marketplace akan mempersempit gerak dari penyedia barang/jasa yang akan melakukan penghindaran pajak. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Dari beberapa hal yang melandasi tergambarkan bahwa penerapan digitalisasi dalam pengelolaan/transaksi keuangan pemerintah menjadi langkah mengurangi penggunaan uang tunai (cashless) dalam melakukan transaksi belanja dan cost of fund yang harus ditanggung pemerintah.***