Oleh: Wiwin Siti Aminah Rohmawati dan Anselmus D. Atasoge
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Kata “Buddha” berasal dari bahasa Sanskerta “Budh” yang berarti ‘untuk mengetahui’, adalah gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya secara penuh. Sementara itu, sebutan “Buddha” ditujukan kepada mereka yang sadar atau yang mencapai pencerahan sejati. Tapi penggunaan Buddha secara umum merujuk pada Siddharta Gautama, guru agama dan pendiri Agama Buddha. Bersama dengan Hindu, agama Budha dikenal sebagai “agama timur” yang umurnya sudah sangat tua dan pernah menjadi agama besar di berbagai belahan bumi dan telah meninggalkan kekayaan warisan budaya.
Ajaran Buddha lahir di India dari pencerahan Siddharta Gautama/Buddha Gotama (623-548 SM) sekitar abad ke 6 SM. Kemudian menyebar ke wilayah Asia yang meliputi Burma, Thailand, Sri Lanka, Kamboja, Indonesia, Vietnam, Laos, Nepal, Bhutan, China, Jepang dan Korea. Selain itu Buddha juga menyebar ke wilayah Eropa dan Amerika. Agama Buddha mulai menjadi perhatian para sarjana dari Eropa, pada paruh kedua abad ke 19 di mana banyak kajian akademik yang dilakukan. Salah satunya dengan menerjemahkan teks-teks ajaran Buddha dari bahasa Pali dan Sanksekerta ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Belanda.
Di Indonesia, Buddha, yang hidup berdampingan dengan Hindu mempunyai sejarah yang sangat panjang yakni dari zaman Dinasti Sriwijaya (abad ke 7-13 M), Dinasti Medang atau Syailendra/Mataram Kuno (abd 8-9 M) dan Dinasti Majapahit (abad 13-15 M). Islam yang datang pada abad ke 15, telah menyebabkan kerajaan-kerajaan tersebut runtuh. Salah satu akibatnya adalah penganut Buddha semakin lama semakin berkurang, bahkan dua abad kemudian, yakni abad ke 17, Buddha seolah-seolah menghilang dari muka bumi nusantara.
Namun, tidak berarti penganut dan ajaran Buddha lenyap sama sekali. Sebagian orang, dari sisa-sisa dinasti Majapahit, yang tidak mau mengubah keyakinannya terpaksa menyingkir ke daerah pedalaman dan membentuk komunitas sendiri dimana mereka tetap memegang teguh ajaran Buddha yang diwariskan secara sederhana kepada keturunananya. Misalnya ajaran tentang Lima Moral (Pancasila) tetap menjadi acuan masyarakat Jawa dan mengalami modivikasi menjadi Mo Limo (pantang lima hal) yaitu ora keno (tidak melakukan mateni (membunuh), maling (mencuri), madon (bermain perempuan), madat (mabuk) dan main (berjudi). Komunitas-komunitas tersebut, diantaranya dapat kita jumpai di Suku Kanekes atau Badui (Baduy) di Jawa Barat, Suku Samin di Jawa Tengah, Suku Tengger di Jawa Timur, Suku Kajang di Sulawesi Selatan, Suku Kaili atau Kaly di Sulawesi Tengah, Suku Sangir di Sulawesi Utara, Suku Dayak Kaharingan di Kalimantan, Suku Karo di Sumatera, dan lain-lain. Agama Buddha di Indonesia mewariskan banyak tradisi dan peninggalan sejarah yang sangat berarti, termasuk candi-candi yang bertebaran di pelosok negeri, khususnya candi kebanggaan warga dunia yaitu Candi Borobudur.
Ajaran-ajaran Agama Buddha bersumber dari Kitab Suci agama Buddha yakni Tripitaka (dalam bahasa Sansekerta) atau Tipitaka (bahasa Pali). Mengutip Bhikkhu Pannavaro, ajaran-ajaran dasar agama Buddha sudah diterima secara bulat oleh Theravada dan Mahayana dalam Kongres Dunia I Dewan Sangha Seduni di Colombo pada Januari 1967. Adapun ajaran-ajaran tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, menerima Buddha Gotama sebagai Guru. Kedua, berlindung pada Triratna (tiga permata): Buddha (Guru), Dharma (ajaran Buddha) dan Sangha (Persaudaraan Suci). Ketiga, tidak mempercayai bahwa jalan dunia (hidup) itu mengikuti kehendak dewa. Keempat, dengan mengikuti ajaran Buddha, maka tujuan hidup adalah mengembangkan kasih sayang kepada semua makhluk tanpa diskriminasi, dan bekerja demi kebaikan, kebahagiaan dan perdamaian mereka dan mengembangka kebijaksanaan yang akan membawa tercapainya yang Maha Esa.
Kelima, menerima Empat Kebenaran Ariya yaitu: Dukkha (bahwa kehidupan ini penuh kesulitan, tidak kekal, tidak sempurna dan penuh pertentangan), Samudaya (bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh keakuan mementingkan diri sendiri yang bersumber dari pandangan yang salah tentang diri, Nirodha (bahwa untuk membebaskan dukkha harus dengan jalan pemadaman total samudaya), Magga (bahwa kebebasan dapat dicapai melalui “Jalan Tengah” yang terdiri dari delapan unsur yang membawa pada kesempurnaan, yakni Etika moral (sila), Disiplin mental (Samadhi), Kebijaksanaan (Panna). Empat Kebenaran Mulia tersebut tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Ia bukanlah ajaran yang bersifat pesimis yang mengajarkan hal-hal yang serba kelam dan menderita, dan juga bukan bersifat optimis yang hanya mengajarkan hal-hal yang penuh harapan, tetapi ia merupakan ajaran yang realistis, ajaran yang berdasarkan analisa yang diambil dari kehidupan di sekitar kita.
Keenam, menerima hukum universal (patticcasamuppada) yakni hukum sebab akibat yang saling bergantungan. Ketujuh, mengerti bahwa semua yang berkondisi (sankhara) adalah tidak kekal (anicca), semua yang berkondisi adalah tidak sempurna (dukkha) dan semua yang berkondisi dan yang tidak berkondisi (dhamma) adalah tanpa-aku (anatta). Kedelapan, menerima tigapuluh tujuh faktor yang membawa Penerangan Sempurna (Bodhipakkhiya-dhamma). Kesembilan, terdapat tiga jalan untuk mencapai Penerangan Sempurna tergantung pada kemampapuan masing-masing individu yakni sebagai Sravaka, Pratyeka Buddha dan Samyak Sambuddha. Kesepuluh, mengakui bahwa dalam berbagai negara terdapat perbedaan-perbedaan yang berkenaan dengan tata kehidupan para bukkhu, adat dan kepercayaan umat Buddha setempat, upacara, tradisi, dan kebiasaan. Semua itu hanyalah perwujudan luar, tidak boleh dianggap sebagai dasar Ajaran Sang Buddha.
Selain ajaran-ajaran pokok di atas, konsep tentang manusia pertama dalam Buddha adalah unik dimana manusia pertama yang muncul di muka bumi ini bukanlah seorang atau dua orang tetapi banyak. Bhikkhu Djottidhammo memaparkannya dengan sangat baik seperti dijelaskan dalam buku “Digha Nikaya, Agganna Sutta”. Bahwa dulu bumi itu terdiri dari massa cair semata dan gelap gulita. Setelah sekian lama muncul buih-buih yang menggiurkan terbentuk di atas permukaan massa cair, bentuknya seperti lapisan di atas susu panas yang mendingin. Warnanya seperti mentega dan rasanya seperti madu murni. Manusia pertama ini awalnya terdiri dari makhluk hidup dari batin saja, senantiasa bahagia, tubuh batiniahnya mengeluarkan cahaya, bergerak di angkas dengan jayanya, dan bertahan begitu dalam massa yang lama sekali. Makhluk-makhluk tersebut ada di bumi kita dan beberapa makhluk serakah mencoba untuk mencicipi/merasakan buih-buih yang menggirukan tersebut. Mereka menyukainya dan terus mencicipnya berulang-ulang. Mereka berpencar untuk merasakan buih-buih tersebut. Hal itulah yang menyebabkan tubuh batiniahnya yang semula tidak tampak, makin lama makin memadat karena pengaruh makanan buih cair tersebut dan jadilah manusia yang mempunyai fisik dan jiwa.
Terkait dengan itu, dukkha, Buddha sering diibaratkan sebagai dokter ahli kesehatan yang mendiagnosis orang sakit, adanya penyakit, sebab penyakit, akhir penyakit dan cara mengakhiri penyakit atau obat yang diperlukan. Ini berarti bahwa segala sesuatu ada sebabnya karena itu sesuatu akan lenyap kalau penyebabnya juga lenyap. Ini adalam bagian dari hukum sebab-akibat, sehingga apapun yang terjadi tidak ada yang seketika, ataupun kebetulan atau tercipta begitu saja.
Ajaran lain yang penting dalam Buddha adalah Dhamma yakni hukum yang kekal, atau hukum alam, atau sunnatullah¸ yang mencakup materi dan non materi (mental). Hukum alam yang dalam Buddha disebut Dhammaniyama, berlangsung secara interdependen dan ia muncul bersamaan dengan adanya alam semesta itu sendiri ibarat lingkaran.
Sebagai way of life, Buddha mengajarkan delapan jalan kebenaran. Dengan mengikuti dan melaksanakan ajaran ini, manusia akan bebas dari ketidaktahuan dan penderitaan. Delapan jalan kebenaran tersebut adalah pengertian dan pandangan yang benar (samma dithi) yang menekankan pada annica (pandangan bahwa segala sesuatu tidak permanen), bukan pada dukkha (pandangan terhadap materi yang jelas merusakkan); Bermotivasi benar (samma sankappa); Berbicara yang benar (samma vaca); Tindakan yang benar (samma kamnanta); Mata pencaharian yang benar (samma ajiva); Usaha yang benar (Samma vayanna); Berpikir yang benar (samma sati) dan konsentrasi/samadi yang benar (samma samadhi).
Hari ini, 26 Mei 2021, para penganut Budha merayakan Hari Waisak. Hari Waisak dipandang sebagai sebagai perayaan ulang tahun Buddha. Bagi Sebagian umatnya, Waisak menjadi tanda pencerahan dari seorang Buddha, ketika ia menemukan makna hidup. Di hari Waisak, seorang Buddhis, sebutan untuk umat Buddha, akan merenungkan ajaran Buddha dan apa artinya menjadi seorang Buddhis.
Umat Buddha percaya pada ajaran Siddhartha Gautama yang telah mencapai ‘Buddha’, dia yang sadar atau yang mencapai pencerahan sejati. Ia adalah seorang pangeran yang dilahirkan dalam keluarga kaya di sebuah daerah yang kini disebut Nepal. Ia dilahirkan pada abad ke-5 SM. Ia menyadari bahwa kekayaan dan kemewahan tak menjamin kebahagiaan. Karenanya, ia melakukan perjalanan sebagai orang suci yang tidak memiliki rumah. Perjalanan ini berintensi untuk belajar dan mengenal lebih banyak tentang dunia. Setelah enam tahun belajar dan meditasi selama perjalanannya, ia mencapai pencerahan sejati, menemukan makna kehidupan. Hal ini pulalah yang menjadikan Siddharta Gautama disebut sebagai Buddha.
Selain melakukan ritual-ritual Waisak, pada hari Waisak umat Buddha juga biasa melakukan upacara ‘Bathing The Buddha’. Upacara ini memperingati saat di mana air mengalir di atas bahu Buddha. Ritual ini dimaksudkan untuk mengingatkan para pengikut Buddha untuk menjernihkan pikiran mereka dari pikiran negatif seperti keserakahan dan kebencian.
Selamat hari raya Waisak untuk sama-saudara yang merayakannya! Perayaan ini juga bergema secara tematis untuk semua umat beragama untuk setia pada jalan-jalan kebenaran dan kejernihan hidup seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha. Karenanya, kita bisa bermadah: Waisak mereka adalah ‘waisak’ kita juga!
REFERENSI:
Ali, Matius. “Manusia menurut Buddhisme dan Hinduisma” ed. A. Setyo Wibowo, Manusia: Teka-Teki yang Mencari Solusi, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Bechert, Heinz. “Buddhist Revival in East and West”, Buddhism: Buddhist Monks and Nuns in Society and Culture, London: Thames and Hudson, 1984.
Brown, Iem. “Contemporary Indonesian Buddhism and Monotheism,” Journal of Southeast Asian Studies 18, no. 1 (March 1987)
___. “The Revival of Buddhism in Modern Indonesia”, Hinduism in Modern Indonesia: a Minority Religion between Local, National and Global Interest”, ed. Martin Ramstedt, London: RoutledgeCurzon, 2004.
Jothidammo, Bhikkhu. “Penciptaan Menurut Ajaran Buddha dan tanggapan terhadap teori-teori ilmiah Baru”, Ilmu, Etika dan Agama: Menyingkap Tabir Alam dan Manusia, ed. Zainal Abidin Bagir, dkk, Yogyakarta: CRCS, 2006.
Kimura, Bunki. “Present Situation in Indonesian Buddhism: in Memory of Bhikkhu Ashin Jinarakkhita Mahasthaviira”, tanpa judul, Jepang: Department of Indian Studie, Nagoya University, 2003.
Pannavaro, Bhikkhu. Agama Buddha (Buddha Dharma) Hanya Satu, Magelang: Yayasan Mendut, t.t. Wijayanto, Herry. “Buddhism: A Way of Life and Thought”, Buddhisme Pengaruhnya dalam Abad Modern, ed. FX. Mudji Sutrisno, Sj, Yogyakarta: Kanisius, 1993.