Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Facutad Ciencia Politica
Universidad Complutense de Madrid Spanyol
Makan bersama antara Jokowi dan 3 Capres (Ganjar, Prabowo, dan Anies) pada Senin 30/10, sekilas bisa dianggap sebagai terobosan seorang ‘negarawan’ Jokowi. Menjelang pilpres, ia ingin tampil agar dinilai netral.
Beberapa hari sebelumnya, tidak biasanya staf presiden harus mengumumkan bahwa Presiden (maksudnya Jokowi) telah memberikan rekomendasi kepada Mahmud MD yang menjadi cawapres bersama Ganjar Pranowo. Cuplikan berita itu tidak penting sekali untuk harus diumumkan. Itu sudah jadi kewajiban Presiden untuk memberikan rekomendasi pada bawahannya yang jadi Cawapres. Artinya mengapa yang diumumkan Mahfud dan bukan Prabowo atau Gibran yang juga bawahannya? Jawabannya tentu saja karena Jokowi lagi ‘sensi’.
Untuk tulisan ini sengaja saya lebih pas menyebut nama Jokowi dan bukan Presiden RI karena tentu kemelut yang terjadi akhir-akhir ini terutama sejak iparnya yang ketua MK, Anwar Usman mengumumkan keputusan yang sangat tendensius dengan menambahkan ‘ayat penjelasan’ tentang syarat jadi Capares / Cawapres yang tentu saja meloloskan Gibran, ‘keponakannya’.
Terlalu Sensitif
Apa yang sedang dialami dan dilakukan (seperti jamuan makan) dalam psikologi disebut sebagai ‘Highly Sensitive Person’ (HSP). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang yang memiliki kepekaan lebih tinggi dari rata-rata terhadap rangsangan sensorik seperti suara, cahaya, aroma, sentuhan. Orang yang dianggap memiliki HSP seringkali rentan terhadap stres dan pengaruh lingkungan. Ia juga cendrung merepons secara lebih intens terhadap situasi yang dianggap stres atau menyenangkan.
Isilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Elaine Aron pada tahun 1996. Menurutnya sekitar 20% masyarakat memiliki sifat HSP. Meskipun tidak diakui sebagai diagnosis, HSP telah menjadi topik penelitian dalam psikologi dan neuroscience. Di sana orang akan memiliki sistem sarat yang lebih sensitif dari orang kebanyakan. Mereka cenderung peka terhadap rangsangan dari lingkungan dan memiliki respon lebih kuat terhadap situasi-situasi intens.
Dalam konteks Jokowi, respon yang diberikan publik setelah keputusan yang tidak mudah diterima dengan mudah oleh banyak orang, telah menunjukkan sebuah sentimen negatif. Betapa tidak. Sebelumnya dalam medsos, ketika Presiden Jokowi menyampaikan satu informasi, begitu banyak doa yang disampaikan mendukungnya. Ratusan malah ribuan komentar diberikan mendukungnya untuk satu postingan. Hal itu sangat berbeda setelah keputusan kontroversial MK yang kemudian segera diikuti dengan penetapan Gibran Rakabumign Raka sebagai cawapres. Dari sana bisa terasa ada rasa publik yang tidak mudah menerima meski Jokowi berusaha memberikan penjelasan (untuk membela diri).
Adanya gejala sensitivitas yang sangat tinggi seperti ini tentu tidak bisa dikategorikan sebagai penyakit. Ia bukanlah gangguan mental atau fisik melainkan suatu karakteristik alami yang dimiliki oleh sebagian orang. Karena itu tidak pada tempatnya mengatakan bahwa apa yang sedang ditunjukkan Jokowi itu sesuatu yang negatif apalagi mengategorikan sebagai sebuah gejala negatif psikologis.
Tetapi siapa akan percaya akan janji atau simbol itu setelah keputusan MK dan terutama ketika anaknya sudah di dalam arena pilpres? Artinya sebagai-baik apapun Jokowi membuat aneka pendekatan dan kegiatan atratif tetapi publik akan melihatnya dengan ironis. Bahkan candaan dan tertawa-tertawa kecil yang selalu ditunjukkan Jokowi saat berbicara yang menggambarkan betapa luhur pribadinya seperti diapresiasi tidak semudah itu muncul lagi. Tertawa-tertawa kecil Jokowi malah menjadi ironi bagi publik.
Beban Masa Depan
Sebagai seorang pribadi (yang menjadi Presiden), selama 9 tahun berkuasa, publik sangat senada dengan Jokowi. Sejak awal ia telah sampaikan tidak punya beban masa lampau hal mana diakui dan dijempoli. Ia tidak punya hutang yang membuatnya kikuk malah terpasung untuk mengambil sebuah keputusan. Itu adalah sebauh kekuatan bagi Jokowi yang sekaligus menjadi kelemahan Prabowo hingga kalah 2 kalli berturut-turut.
Tetapi hal ini akan menjadi beban terutama di satu tahun masa pemerintahannya yang tersisa. Jokowi akan memiliki beban masa depan yang tentu tidak ringan. Pertama, sensitivitas seperti ini akan menjadi sangat kuat ke depan yang memengaruhi secara psikologis Jokowi. Ia yang sangat energik untuk pergi ke mana-mana akan lebih berpikir lagi untuk mengelola konflik yang terjadi sekarang. Dia harus mengalokasikan waktu untuk ‘makan bersama’, agenda yang tidak penting-penting sekali kecuali dipahami untuk mengelola sensitivitas.
Kedua, gejala HSP yang dialami Jokowi meski bukan penyakit tetapi bisa memengaruhi efektivitas kerja. Karena itu HSP perlu dikelola agar tidak terkesan ‘jor-joran’ dengan kegiatan hanya demi menaikkan kembali ‘image’ yang sangat melorot. Mengapa? Karena justru kegiatan yang terlalu berlebihan akan menjadi kampanye negatif dan terbaca sekadar mengambil hati sementara orang sudah merasa tidak simpatik lagi pada Jokowi.
Hal ini perlu dikelola karena dipercaya atau tidak, secara pribadi, tanggapan negatif masyarakat akan kecemasan, depresi, stres, dan kelelahan emosional bagi Jokowi.
Ketiga, bagi Jokowi, sensitivitas tinggi yang dialami kini sebenarnya hanyalah ekspresi dari kecintaan masyarakat padanya. Kepuasan publik yang mencapai 80% adalah ekspresi nyatanya. Hal ini mengingatkan kita tentang apa yang pernah dikatakan oleh Victoria Erikson: “Highly sensitive beings suffer more but they also love harder…” (orang yang sangat sensitif lebih menderita tetapi juga mereka lebih mencintai).
Itu berarti, efek yang terjadi sekarang (baik Jokowi maupun pendukung atau lebih tepat pecinta mati padanya) itu karena cinta yang lebih besar satu sama lain. Karena itu sensitivitas adalah efek dari cinta besar yang seharusnya disadari. Tetapi sebagai orang yang pernah saling cinta, tentu saja ada doa dan harapan agar sampai masa jabatan berakhir dan setelah tak berkuasa lagi, Pak Jokowi baik-baik saja. ***