Oleh: Anselmus DW Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Y. B. Mangunwijaya yang empunya sebuah kisah yang diberi judul ‘Pohon Durian Kek Kopral’ mengawali kisahnya dengan menarasikan seekor anak domba yang menjadi korban tragedi durian. Anak domba mati tertindih buah durian. Atas kejadian ini, Sang Kakek yang empunya pohon durian marah kepada Ari lantaran buah durian yang sudah matang itu tak segera dipetiknya.
Tentang pohon durian ini, Sang Ibu, salah seorang tokoh dalam kisah ini, pernah menganjurkan agar segera ditebang dan kayunya bisa dijual daripada terus-terusan menyebabkan kecelakaan dan mengancam kehidupan. Namun, dengan tegas Sang Kakek menolaknya. Penolakan Sang Kakek tidak membuat Sang Ibu berhenti berjuang untuk ‘meniadakan’ eksistensi pohon tersebut atau sekurang-kurangnya ‘menghilangkan’ efek buruk yang ditimbulkan pohon durian itu. Sang Ibu mengajukan sebuah alternatif baru sekedar usaha meminimalkan jumlah kecelakaan yang disebabkan oleh pohon durian itu. Jika tak mau ditebang, beliau menganjurkan agar pohon durian itu diusahakan untuk tidak berbuah lagi. Dukun harus segera dipanggil. Juga kalau boleh sekalian dengan paranormal.
Sang Kakek sendiri punya tawaran lain: pohon yang ditanam oleh teman seperjuangannya itu tidak boleh dibuat tidak berbuah. Ia harus tetap berbuah sekalipun buah yang dihasilkan adalah bukan buah durian. Sampai pada sebuah titian, Sang Kakek menyadari ketidaklogisan tawarannya; mana mungkin pohon durian yang seharusnya berbuah durian dipaksa untuk berbuah mangga, kelengkeng, pisang atau sawo. Pohon durian yang menciptakan kecelakaan itu akhirnya ditebang juga.
Pohon durian adalah simbol ruang dan waktu dari perjalanan sejarah yang telah memberi makna bagi manusia yang dilingkupinya. Tepatnya, pohon durian adalah sebuah pohon sejarah yang penuh dengan cerita historis yang memberi latar belakang bagi jiwa-jiwa yang bernaung di bawahnya. Jiwa-jiwa ini adalah mereka yang dalam keseharian hidupnya menikmati suapan buah pohon sejarah. Pohon sejarah ini menghidupkan dan mengembangkan jiwa-jiwa dan pada gilirannya jiwa-jiwa kembali memeliharanya. Pada tataran ini pohon sejarah ini membawa jiwa-jiwa kepada pemahaman yang integral tentang sejarah hidupnya masing-masing.
Pada tataran lain pohon sejarah juga mengandung kontradiksi eksistensinya dalam perjalanan hidup manusia. Di satu pihak, ia menghasilkan buah-buahan yang memberi kenikmatan bagi manusia. Di pihak lain, aroma buruknya memuakkan rasa manusia yang menciumnya. Lebih dari itu, pohon ini memiliki potensi menghadirkan kecenderungan yang mematikan kehidupan. Buah pohon sejarah menjadi bumerang yang memerangi manusia yang dinaunginya. Inilah gambaran umum seluruh model pohon sejarah dunia, baik itu pohon sejarah bangsa, agama, suku, ras, lapisan sosial, maupun sejarah masing-masing pribadi yang memiliki dua makna yang berbeda tetapi tetap melekat satu yakni menghidupkan dan mematikan (Bdk. Ashutosh Varshney, Rizal Panggabean dan Mohammad Zulfan, 2004; Linell E. Cady dan Sheldon W. Simon,, 2007; Gerry van Klinken, 2007; Asvi Warman Adam, 2008).
Sebagai yang menghidupkan dan mematikan sejarah ‘Pohon Durian Kek Kopral’ adalah sebuah evaluasi kritis atas kemanusiaan. Dalam konteks ini Mangunwijaya menghadirkan sebuah misi kemanusiaan untuk mengevaluasi dua sisi sejarah yang pernah, sedang dan akan terjadi dalam derap langkah kemanusiaan dalam Pohon Durian Kek Kopral-nya.
Sejarah yang ditanam, hidup dan berkembang pada masa lalu adalah buah-buah nilai, norma dan orde-orde pada masa lalu. Manusia-manusia yang bernaung di bawahnya hidup dan terbentuk oleh nilai, norma dan sistem zaman tersebut. Kebaikan dan kebenaran diparameter oleh nilai, norma dan sistem tersebut. Semuanya dipercaya sebagai pembangun kemanusiaan dan pendukung keberlangsungan sejarah itu sendiri.
Namun, ketika sejarah masa lalu yang menganut sistem nilai dan norma tersebut berhadapan dengan perubahan zaman yang mempunyai sistem nilai dan norma yang baru terjadilah konfrontasi yang dapat melahirkan apa yang disebut sebagai evolusi dan revolusi. Dalam konfrontasi ini nilai-nilai lama bisa direlatifkan bahkan dinilai menyudutkan martabat luhur manusia. Nilai-nilai lama yang dikarakteristik oleh semangat imperialisme, kolonialisme, paternalisme-bapakisme dipinggirkan oleh nilai-nilai baru. Pada saat yang sama bersemi nilai dan norma baru seperti demokratisasi, peradaban politik atau politik yang etis (A. Heuken, dkk, 1983; Franz Magnis-Suseno, 1987; Kartini Kartono, 1996).
Sejarah lama telah banyak menghancurkan dunia dan memposisikan manusia di bawah horison martabatnya sendiri. Sebagai contoh bisa disebutkan peristiwa pembantaian etnis Yahudi di Auschwitz oleh Hitler, pembantaian massal di Dili, perang di Timur Tengah, terorisme dan peperangan-peperangan yang menyebabkan kerugian-kerugian besar baik jiwa maupun materi. Sejarah internasional menyuguhkan banyak bukti tentang perang antar-bangsa yang berbeda agama maupun perang antar-bangsa yang memeluk agama yang sama. Dengan memperhatikan fenomena peperangan di abad ke-20, ada sementara orang menamakan abad ini dengan sebutan “abad perang total”: Korban perang pesat jumlahnya; penggunaan teknologi (pembasmi kehidupan, bukan saja sasaran perang melainkan juga ‘jiwa manusia lain_sipil dan juga tumbuhan, hewan, lingkungan’); dan terorisme (Chaiwat Satha-Anand, 2015).
Nilai-nilai baru kini menggulirkan babak baru ziarah pemanusiaan manusia. Dalam babak baru ini, nilai dan norma baru dihidupkan. Kebaikan dan kebenaran baru dimunculkan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip universalnya yakni memandang luhur martabat manusia dan berusaha memanusiakan manusia. Inilah tujuan dari sejarah kemanusiaan (Bdk. Brett G. Scharffs, 2016).
Kek Kopral adalah pribadi yang hidup dalam sejarah masa lalu. Ia amat mengagung-agungkan dan membangga-banggakan sejarah masa lalunya. Namun, ketika ia hidup dalam sejarah masa kini, konsep pemikirannya masih amat terpaut dengan makna sejarah kolonialis yang dalam sejarah terbukti memporak-porandakan kemanusiaan manusia. Mempertahankan status quo dan kemapanan adalah ciri khas konsep kolonialis.
Namun, apa yang terjadi ketika fakta dan data membeberkan kepada Kek Kopral sebuah sejarah status quo yang penuh stigma hitam yang memuakkan bahkan mematikan? Kek Kopral tidak menerima fakta dan data ini. Ia berusaha membangun mekanisme bela diri berbekalkan pengalaman sejarahnya. Ia tetap mempertahankan konsep sejarahnya dan mempersalahkan fakta dan data sejarah kini yang nota bene kritis, transformatif dan reformis. Meskipun fakta dan data membuat dia kalah, namun ia tetap mempertahankan konsep sejarahnya dengan argumen barunya yang kelihatannya tidak rasional, yakni pohon sejarah lama harus tetap berdiri sebab darinya akan lahir buah-buahan dari jenis lain, buah yang bukan merupakan hasil dari pohon sejarah tersebut.
Kek Kopral sepertinya mewakili gambaran pribadi yang mencintai budaya yang mapan yakni mengagungkan sejarah lama yang telah melahirkan dan menyimpan semangat destruktif, tetapi yang disinyalir oleh manusia zamannya sebagai yang telah membuahkan buah-buah yang baik. Inilah pula sebuah ironi yang bertentangan dengan konsep umum kebaikan dan kejahatan, bahwa sudah pasti kejahatan bersinggungan dengan keburukan dan hampir pasti kejahatan tidak dapat melahirkan kebaikan (Bdk. Mudji Sutrisno, 2014).
Mengarungi dan masuk ke kedalaman ‘Pohon Durian Kek Kopral’ pembaca akan menjumpai idealisme kemanusiaan itu sembari membangun mimpi tentang peradaban kemanusiaan Indonesia yang lebih baik dari sekarang.***