Oleh : Vincensius Peu
Pendamping Desa Kecamatan Buyasuri Kabupaten Lembata
Desa tanpa Kemiskinan, Desa tanpa Kelaparan, Desa Sehat dan Sejahtera (Goal 1, 2, 3 SDGS Desa), sebuah tantangan yang harus bisa dijawab melalui gerakan bersama termasuk Pemerintah Desa, jika tidak menjadi sia-sia longsoran milyaran Rupiah Dana Desa yang membanjiri Desa di rezim ini.
Kemiskinan dan kelaparan, menjadi kisah kelam orang tua dan nenek moyang kami tempo dulu. Banyak kisah yang dituturkan orang tua soal kekurangan pangan, pola makan yang buruk juga menu makanan seadanya yang membuat miris dan sedih untuk didengar. Meski dengan segala keterbatasan dan kekurangan, mereka tidak kehabisan ide untuk terus berjuang mempertahankan hidup.
Kisah kelam itu sungguh pernah ada. Tapi tidak dengan hari ini. Juga, tidak dengan generasi ini. Bercermin pada kondisi geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia dan ketersediaan anggaran yang ada saat ini sungguh sangat miris jika kita masih klaim diri miskin apalagi lapar.
Lalu, apakah tidak ada lagi masyarakat desa yang miskin? Tidak adakah masyarakat desa yang kelaparan? Jawabannya, MASIH ADA.
Fasilitas pelayanan kesehatan semakin terjangkau, gerakan menuju masyarakat sejahtera seakan tak ada habisnya dari aneka program dan kebijakan Pemerintah. Lalu, dimana letak ke-alpa-an kita dalam mengurus masyarakat sehingga kemiskinan, kelaparan, kesehatan dan kesejahteraan masih saja menjadi duduk soal tanpa solusi.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Lembata, Mathias Beyeng dalam acara Musrenbang RKPD, tanggal 29 Maret 2023) menyebutkan, kemiskinan ekstrim di Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur tahun 2022 mencapai 12.010 jiwa dari total jumlah penduduk Lembata tahun 2022 diproyeksi 137.787 jiwa. Sementara jumlah penduduk miskin pada tahun 2022 mengalami penurunan dari 38.750 jiwa pada tahun 2021 menjadi 37.880 jiwa di tahun 2022.
Pada kesempatan yang sama, Dr. Thomas Ola Langodai, Bupati Lembata juga menegaskan, saat ini focus kita pada penanganan Covid, Malaria, HIV Aids dan juga program prioritas lainya tapi sesungguhnya kelaparan sedang ada di depan mata kita, anak-anak penderita stunting juga sedang mengancam generasi emas kita.
“Angka kemiskinan di Kabupaten Lembata ada di posisi 26% dan angka stunting ada di posisi 22,5%. Untuk itu, jangan bernapsu mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, tapi selesaikan dulu persoalan masyarakat yang sedang ada di depan mata kita ini” tegas Langodai.
Sebelumnya, Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 merilis 15 Kabupaten di NTT berkategori merah dalam kasus stunting, termasuk Kabupaten Lembata. Penyematan status merah tersebut yakni wilayah yang prevalensi stuntingnya masih di atas 30%. (Tribunflores.com)
Mencermati data dan fakta akan kemiskinan dan kelaparan yang berdampak pada persolan gizi, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Lembata harus menjadi gerakan bersama terutama Pemerintah Desa yang mendapat mandat langsung dari Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang dipertegas melalui Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang APBN yang menyatakan bahwa Dana Desa ditentukan penggunaannya untuk program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20%.
Sharing Gagasan
Kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang juga mengatur soal Dana Desa, kini sedang berulang tahun yang ke 10 di tahun 2023 ini, tentu sudah tidak terbayangkan berapa banyak uang yang mengalir ke Desa dan dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun faktanya, kasus kemiskinan, kelaparan, gizi buruk masih saja menjadi sahabat dekatnya masyarakat desa. Ini hanya soal kesadaran dan juga mentalitas, baik Pemerintah Desa juga masyarakat desa. Untuk itu, sharing gagasan melalui ruang-ruang informal menjadi titik tumbuh dan aksi sadar Pemerintah dan masyarakat desa dalam menggerakan pembangunan bersama menuju masyarakat yang kuat, sejahtera dan mandiri.
Pagi itu, senin, (16/02/2022) cuaca cerah, terik mentari pagi mulai menyengat kulit. Kader Kesehatan Desa, hilir mudik menyiapkan segala sesuatu mengingat hari itu merupakan hari Posyandu terpadu dan merupakan hari libur desa yang dicanangkan oleh Kepala Desa Tubung Walang Kecamatan Buyasuri, Propinsi NTT Lamudin Leu.
Hari Posyandu ini juga ditetapkan sebagai hari libur desa (libur dari segala aktivitas pribadi) dan semua aktivitas warga terpusat di lingkungan Kantor Desa. Aktivitas dimaksud tidak saja aktivitas Posyandu tapi juga aktivitas ekonomi, dimana setiap warga yang memiliki jajanan/produk pangan lokal dapat dipasarkan di lingkungan Kantor Desa dan semua warga dapat membeli dan menikmatinya secara bersama di lokasi yang sama.
Aktivitas ini selain menghadirkan model inovasi baru dalam mendorong kesadaran warga guna menikmati layanan yang diberikan pemerintah tapi juga menjadi media promosi produk serta show geliat ekonomi desa. Momentum ini kemudian dimaksimalkan untuk berdiskusi, sharing ide dan gagasan yang bermanfaat bagi kemajuan pembangunan desa.
Warga yang berkumpul mencari teman dan membentuk kelompoknya masing-masing. Mereka kemudian dengan sukarela membeli jajanan yang tersedia untuk dinikmati bersama sambil berdiskusi dengan aneka topik yang dirasa menarik. Dari ruang inilah, gagasan ‘Aksi Desa Melawan Lapar’ ini dimulai. Diskusi terus bergerak dan mengerucut pada detail aksi untuk memulai gerakan ‘menanam’ baik skala desa, kelompok (Dusun, PKK, Kader) juga skala mandiri Rumah Tangga dengan memanfaatkan pekarangan rumah.
Suasana disiang itu begitu menarik, masing-masing warga membentuk kelompok-kelompok kecil sambil menikmati jajanan yang dibeli dari lapak-lapak warga di lingkungan Kantor Desa. Seakan terbuai oleh kenikmatan jajanan dan suasana kebersamaan serta diskusi yang semakin menarik dan tajam dengan aneka gagasan yang lahir membuat kami lupa akan berbagai keterbatasan ketersediaan sumber daya yang ada di desa itu sendiri. Dalam upaya mewujudkan aksi melawan lapar melalui gerakan menanam (tanaman hultikultura), terutama menanam pada musim kemarau adalah sebuah tantangan terbesar kami mengingat musim kemarau akan menjadi sangat sulit ditanami tanaman apa saja karena selain ketiadaan sumber air, keterbatasan lahan juga hewan ternak yang terbiasa dilepas warga karena ketiadaan pakan di musim kemarau.
Aksi Menanam
Berbekal semangat dan ketersediaan anggaran dalam dokumen perencanaan desa, Kepala Desa Tubung walang Lamudin Leu menggelar rapat terbatas bersama Pelaksana Kegiatan untuk membicarakan teknis pelaksanaan kegiatan penanaman jagung Hibrida di musim kemarau.
Pertemuan tersebut menyepakati beberapa langkah strategis yang segera di eksekusi pada kesempatan pertama diantaranya, mencari lahan pertanian (sewa pakai) dan alternatif ketersediaan air untuk pertanian.
Atas dukungan penuh dari warga desa tantangan ini terlewati. Kurang lebih 4 hektar lahan tersedia. dengan semangat gotong royong warga membersihkan lahan pertanian dan kemudian bersama Pelaksana Kegiatan membentuk kelompok dan tim kerja untuk mengambil tanggung jawab dalam setiap tahapan dan proses pelaksanaan kegiatan. Dan hingga kini jagung Hibrida milik desa yang dikerjakan secara bergotong royong itu sedang menunggu waktunya untuk di panen. Dan aksi melawan kemustahilan itu sedang dipertontonkan oleh Pemerintah Desa Tubung Walang saat ini.
Aksi menanan ini benar-benar merasuki jiwa warga desa. Dengan berkaca pada kebun desa yang sedang berproses menuju hasilnya itu, semangat itu kemudian terbawa ke kelompok dan Rumah Tangga masing-masing warga. Ada kelompok sayur-sayuran juga Taman Gizi bagi keluarga sasaran Posyandu ibu hamil, bayi/balita serta budaya menanam mandiri warga dengan memanfaatkan pekarangan rumah serta sisa air limbah Rumah Tangga yang ada.
Gerakan menanam ini tidak sekadar sebuah aksi desa melawan lapar, tapi lebih dari itu adalah terbentuknya tiga (3) nilai penting bagi masyarakat desa; Pertama, Nilai kesadaran mental. Mentalitas warga desa sepanjang ini masih menganggap Dana Desa sebagai dana hibah dari Pemerintah Pusat yang harus dihabiskan. Mentalitas ini tidak saja ada pada warga desa tapi juga Pemerintah Desa. Dampak lanjutannya adalah lahirnya program kegiatan yang sama dan berulang tanpa memberi dampak nilai bagi pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan warga. Rendahnya mentalitas ini juga menjadikan warga desa dapat bergerak dan terlibat dalam setiap tahapan dan proses pembangunan jika ada ‘duit’ (HOK). Kedua, Nilai Gotong Royong. Gerakan menanam dalam ‘aksi desa melawan lapar’ di Desa Tubung Walang Kecamatan Buyasuri – NTT ini seakan membangkitkan kembali nilai gotong royong yang sesungguhnya menjadi roh yang menggerakan kehidupan warga tempo dulu, terutama dalam kegiatan pertanian. Ketiga, Nilai Kemandirian. Dengan adanya semangat menanam dari skala Desa, kelompok maupun secara mandiri di masing-masing Rumah Tangga seakan memberi pesan kepada Pemerintah bahwa masyarakat desa sedang berproses menuju kemandirian pangan. Mereka sedang bersiap menikmati asupan gizi keluarganya sendiri dan sedang berjuang melawan ‘ketergantungan’ yang pernah ada sepanjang ini.
Kini, di ulang tahun UU Desa yang ke Sepuluh, saatnya Desa dengan gagah berani menyatakan; “Kami Desa Tanpa Kemiskinan, Kami Desa Tanpa Kelaparan, Kami Desa Sehat Sejahtera”
Mari bersatu untuk Desa yang kuat, sejahtera dan mandiri. Percaya Desa, Desa Bisa. ***