Oleh: Anselmus D. Atasoge
Alumni S3 Studi Antar Iman UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam tradisi Islam, pada setiap perayaan idul adha kisah Ibrahim diperingati, sebuah kisah yang telah memberi warna yang indah bagi sejarah sosio-religi dan peradaban kemanusiaan. Saat Ismail berusia remaja, ayahnya Ibrahim memanggilnya dan menceritakan kepada Ismail bahwa ia telah mendapatkan perintah dari Allah melalui mimpi untuk mengorbankan Ismail. Ibrahim bertanya kepada Ismail: “Bagaimana menurutmu, wahai Ismail?” Kepada sang ayah, Ismail bersaksi: “Wahai ayah, laksanakan perintah Allah yang dimandatkan untukmu. Saya akan sabar dan ikhlas atas segala yang diperintahkan Allah,” ujar Ismail kepada ayahnya, Ibrahim.
Setelah mendapatkan petunjuk dan yakin bahwa itu adalah perintah Allah, maka Ibrahim dengan ikhlas akan menyembelih puteranya sendiri. Dengan penuh keikhlasan, Ibrahim dan Ismail bersiap untuk menjalankan perintah Allah. Namun, dikisahkan selanjutnya bahwa Allah kemudian menggantikan Ismail dengan domba jantan sebagai kurban. Sejumlah penafsir memandang bahwa kesediaan untuk mengurbankan ‘sang putera’ merupakan bukti ketaatan Ibrahim kepada Allah.
Karena itu, kurban dalam tradisi idul adha dapat dimaknai lebih dalam sebagai sebuah bentuk ketaatan dan ketakwaan kepada Allah. Sebagaimana arti kata qurban yang bermakna qarib atau dekat kepada Allah, maka hakikat kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi laranganNya. Karena itu, makna qurban dalam pengertian Islam adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah melalui hewan ternak yang dikurbankan atau disembelih.
Kaum muslim yang ‘berkurban’ adalah dia yang merelakan sebagian hartanya yang dalam konteks keimanan dipandang sebagai milik Allah yang kemudian dikurbankan bagi orang lain. Kurban ini dijalankan dan dijadikan sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah. Syarat utama yang mesti ada adalah dalam qurban seseorang harus benar-benar mencari ridha Allah, bukan untuk yang lain.
Allah yang ‘didekati’ adalah Allah yang ‘akbar’ (mahabesar) serentak pula adalah Allah yang ‘akrab’ (mahadekat) dengan semua umatNya. Allah yang ‘akbar’ adalah juga Allah yang mengakrabkan semua manusia. Dekat dengan Allah, dekat pula dengan manusia. Idul adha sejatinya membuka dan menyiapkan ‘ruang’ untuk merayakan semangat solidaritas dan berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Mereka yang mampu berkewajiban untuk mengorbankan kekayaannya bagi mereka yang miskin dan yang membutuhkan bantuan. Kelebihan karena kekayaannya diubah dimensinya menjadi pengurai kekurangan bagi mereka yang bertarung dengan kemiskinannya. Pengubahan itu didasarkan pada keimanan, ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa melalui idul adha kegembiraan dan harapan orang-orang yang memiliki kelebihan dibagikan pula kepada kaum miskin dan siapa saja yang menderita. Melaluinya, keselamatan semesta digapai berkat upaya pelampauan diri, kesadaran akan kesetaraan dasariah dengan manusia lain dan yang dibingkai oleh kasih yang tak terbatas. Selamat ber-idul adha bagi semua sanak saudara yang merayakannya! ***