Aksinews.id/Jakata – Sebanyak 27 orang eks penyelenggara Pemilu periode 2001 sampai dengan 2023 menyerukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera laksanakan putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 mengenai ambang batas syarat pencalonan kepala daerah oleh partai politik dan putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia pencalonan kepala daerah demi tegaknya demokrasi dan keadilan.
Dalam rilis seruan yang beredar di platform WhatsApp group eks penyelenggara pemilu , para eks penyelenggara pemilu yang terdiri dari mantan ketua dan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) , KPU dan Bawaslu Pripinsi, KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota itu menjelaskan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga gawang demokrasi ( guardian of democracy) telah menerbitkan 2 (dua) putusan land mark decisions yang menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu 2024 untuk mengusung pasangan calon dalam penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2024 . MK memberi tafsir konstitusional terhadap ketentuan pasal 40 ayat (1) UU Nomor 10/2016, semula mengatur ambang batas syarat pencalonan kepala daerah oleh partai politik berdasarkan perolehan kursi dan suara sah hasil pemilu anggota DPRD menjadi berdasarkan perolehan suara sah pemilu anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dengan presentase yang setara dengan syarat pencalonan dari jalur perseorangan. MK juga telah memutus syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU.
Para eks penyelenggara pemilu itu berpendapat kedudukan putusan MK dalam sistem hukum nasional setara dengan UU untuk dilaksanakan. Karena itu KPU sebagai pelaksana hukum (self regulatory bodies) wajib melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Mereka mendesak guna menjamin dan melindungi hak konstitusional partai politik peserta pemilu 2024 untuk mengusung pasangan calon dalam pilkada serentak 2024 serta mewujudkan pilkada yang demokratis, fair dan adil, KPU segera menerbitkan revisi peraturan nomor 8 tahun 2024 tentang pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota. Hal demikian sesuai dengan kewajiban hukum KPU untuk menyelenggarakan pemilihan berdasarkan prinsip-prinsip mandiri, profesional, berkepastian hukum dan adil.
Demikian pula Bawaslu sesuai desain lembaga penyelenggara pemilu harus melakukan fungsi check and balances untuk memastikan putusan MK dilaksanakan oleh KPU. Apabila KPU dan Bawaslu tidak melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana diperintahkan UU, DKPP berdasarkan laporan atau pengaduan masyarakat sepatutnya memberikan sanksi maksimal atas tindakan penyelenggara pemilu yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu demokratis, mengingat pembangkangan terhadap putusan MK merupakan pelanggaran terhadap hak waega negara untuk mendapatkan banyak pilihan pasangan calon.
KPU juga harus memastikan semua calon memenuhi syarat usia dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU. Penetapan calon yang tidak memenuhi syarat usia merupakan perbuatan melanggar prinsip pemilu yang fairness dan adil.
KPU, Bawaslu dan DKPP harus menyadari kembali kedudukan konstitusionalnya sebagai lembaga yang bersifat mandiri berdasarkan pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945. Sebagai lembaga yang dijamin konstitusi, KPU mempunyai tanggung jawab konstitusional untuk menyelenggarakan pilkada yang adil dan berintegtitas. Sesuai prinsip kemandirian, KPU perlu menempatkan pada posisi yang pro justitia dan terlepas dari segala kekuatan ekaternal yang mengubah keadilan pilkada secara hukum, etika dan moral, apalagi perlawanan terhadap konstitusi.
Untuk itu KPU harus segera melakukan revisi PKPU Nomor 8 Tahun 2024 . Ketidakpastian pelaksanaan putusan MK dapat menimbulkan krisis konstitusi yang mengancam keberlangsungan sistem demokrasi konstitusional di Indonesia dan menjerumuskan Indonesia pada negara kekuasaan bukan negara hukum sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.
Dasar Pertimbangan
Dalam putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 , syarat pencalonan kepala daerah yang harus diusung partai politik atau gabungan partai politik yang minimal memperoleh 20% kursi DPRD atau perolehan suara sah minimal 25% dianggap Mahkamah tidak sejalan dengan maksud “kepala daerah dipilih secara demokratis” Sebagaimana dijamin Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Ketentuan ini merugikan hak partai politik karena suara sah hasil pemilu menjadi hilang /tidak dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasinya dalam memperjuangkan hak masyarakat melalui pencalonan kepala daerah. Batasan ini secara faktual juga menimbulkan potensi besar terjadi calon tunggal di banyak daerah pada pilkada 2024. Padahal, pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis tersebut salah satunya dengan membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memeroleh ketersediaan calon yang beragam dan inklusif. Oleh karena itu MK memberikan tafsir konstitusional dengan mengubah syarat pencalonan menjadi berdasarkan perolehan suara sah pemilu DPRD yang disesuaikan dengan rasio jumlah pemilih dalam DPT dalam suatu wilayah yang selama ini merupakan batasan persyaratan dukungan bagi calon perseorangan.
Demikian halnya dalam Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024, bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No 10/2016 mengenai batas penghitungan usia calon kepala daerah telah jelas dan terang dihitung sejak penetapan sebagai calon, ratio decidendi MK sebagai marwah dari suatu putusan harus dibaca tidak terpisah dan menjadi landasan berpikir amarnya. Sehingga ,keutuhan putusan tersebut menyimpulkan bahwa pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10/2016 tidak perlu tafsir lebih selain diartikan dihitung sejak masa penetapan sebagai calon kepala daerah. Mahkamah pun telah menegaskan bahwa apabila calon kepala daerah tidak mengikuti ketentuan batas usia pada putusan ini, maka sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sengketa hasil pilkada, Mahkamah berpotensi menyatakan calon kepala daerah bersangkutan tidak sah.
Indonesia adalah negara hukum yang ditopang sistem politik demokrasi, maknanya penyelenggara pemilu harus patuh terhadap peraturan perundang -undangan dan putusan lembaga Peradilan. Kepastian hukum pemilu harus diwujudkan oleh KPU melalui revisi Peraturan Nomor 8/2024 tentang pencalonan yang menjamin hak partai politik yang inklusif, seluruh partai politik peserta pemilu 2024 berhak mengajukan pasangan calon berdasarkan perolehan suara sah Oemilu Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dengan presentase yang setara dengan syarat pencalonan dari jalur perseorangan. Demikian pula dengan syarat calon harus dipastikan semua calon memenuhi syarat usia dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU.
Seruan itu ditandatangani antara lain oleh Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, SH (Anggota DKPP periode 2012 -2017), Prof.Dr.Ramlan Surbakti, MA( Wakil Ketua KPU periode 2001 – 2007, Prof. Dr. Valina Singka Subekti, M. Si (Anggota KPU periode 2001-2007 dan anggota DKPP periode 2012-2017), Dr. Imam B. Prasodjo (Anggota KPU periode 2001-2004), Prof. Dr Muhamad S. IP,M.Si (Ketua Bawaslu Periode 2012-2017 dan Ketua DKPP periode 2017-2022) dan sejumlah eks penyelenggara pemilu. (Kornel AT)