Mendengar nama Waioti tentu bukan nama yang asing bagi masyarakat Kota Maumere, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Waioti, tidak hanya menjadi nama suatu tempat, akan tetapi juga didedikasikan menjadi nama salah satu kelurahan di Kecamatan Alok Timur. Ya, Kelurahan Waioti.
Bahkan, jauh sebelumnya, di tahun 1960-an nama Waioti juga diabadikan menjadi nama Bandar Udara (Bandara) di Maumere Flores NTT, sebelum berubah nama seperti sekarang. Nama Bandara Waioti ini berubah menjadi bandara Frans Seda Maumere. Perubahan nama bandara ini merujuk pada Keputusan Menteri Perhubungan nomor : KP. 302 Tahun 2010.
Tak hanya diabadikan menjadi nama tempat dan nama lembaga, ternyata Waioti mengisahkan banyak legenda, terjadinya suatu peristiwa dan asal usul suatu tempat. Waioti mereprentase entitas dan identitas suatu wilayah.
Tokoh Masyarakat Desa Langir, Kecamatan Kangae Kabupaten Sikka, Hendrikus Bara (alm) sekitar lima tahun silam, persisnya, tanggal 25 Juli 2019, di rumahnya, Kampung Weko, Desa Langir, Kecamatan Kangae, menceritakan asal muasal nama Waioti.
Menurut Moat Hende, begitu ia biasa disapa, kisah nama Waioti, berawal dari Rope Delang, salah satu kampung di wilayah Kecamatan Nelle, Kabupaten Sikka. Rope Delang menjadi titik awal misi perjalanan Moat Keso dan Dua Kui alias Keso Kui.
Dari Rope Delang, Keso Kui menyusuri bukit dan lembah sepanjang wilayah selatan Ilin Gai (Gunung Gai), Ilin Goran (Gunung Goran) dan bagian timur wilayah Ilin Goran.
Jagung dan umbi-umbian sebagai bekal perjalanan. Mereka juga membawa serta air yang diisi dalam bejana. Bejana tersebut terbuat dari anyaman bambu, dalam bahasa lokal disebut klada.
Perjalanan misi Keso Kui, ditemani dua ekor anjing. Ahu (Anjing) Gita dan Ahu Gete. Tempat pertama yang disinggahi Keso Kui adalah Napun (kali) Bajo. Air yang ada dalam bejana tersebut tumpah sebagai pertanda alam merestui.
Alhasil, Napun Bajo yang terletak di sebelah selatan Kampung Wolomude, Desa Teka Iku, Kecamatan Kangae, yang semula hanya berupa kali mati, berubah menjadi sungai dan diberi nama Bajo Wair (Air sungai).
Dari Bajo Wair, Keso Kui melanjutkan perjalanan menuju napun (kali) Gunit. Peristiwa alam yang sama juga terjadi. Alam berkehendak melalui tumpahan air dari bejana yang dibawa.
Kali mati napun gunit yang terletak di sebelah selatan Kampung Hubin, Desa Teka Iku pun, berubah menjadi sungai, dan diberi nama wair (air/sungai) Gunit.
Demikian halnya, di (nama tempat) Napun Jeko Wolon Klotong, Kecamatan Kewapante. Kali mati Napun Jeko, berubah menjadi sungai, pertanda kehendak alam melalui tumpahan air dari bejana tersebut. Dan diberi nama wair (air/sungai) Jeko.
Dari wolon klotong, Keso Kui melanjutkan perjalanan menuju kali Waira Desa Waiara Kecamatan Kewapante. Peristiwa alam yang terjadi di kali Waira berbeda dengan yang terjadi di tiga tempat sebelumnya.
Mungkin, alam tidak merestui. Air dalam bejana tersebut ternyata sudah habis. Sehingga kali Waira tetap menjadi kali mati.
Meski demikian, Waira bukan menjadi tempat terakhir yang disinggahi Keso Kui. Petualangan mereka berlanjut dengan menyusuri garis pantai Waiara menuju pesisir pantai nuba nanga orang Weko dan orang Wetak, Desa Langir, Kecamatan Kangae.
Nuba nanga merupakan tempat terakhir untuk dilangsungkan ritual adat meminta hujan dan memberi makan leluhur. Letak nuba nanga tersebut tidak jauh dari kali mati yang memisahkan Lokaria dan Waioti.
Di sekitaran nuba nanga, Keso Kui beristirahat merebahkan diri, sembari menikmati umbi-umbian dan jagung, bekal yang mereka bawa. Ahu gita dan ahu gete tetap setia menemani.
Tak jauh dari situ, ahu gita dan ahu gete melihat seekor biawak. Insting sebagai binatang pemburu tertantang. Aksi kejar-kejaran tak terelakan.
Sampailah mereka pada satu tempat, ahu gita dan ahu gete menemukan biawak tersebut bersembunyi dalam lubang kepiting.
Meski demikian, tidak menyurutkan semangat perburuan ahu gita dan ahu gete. Lubang kepiting kemudian digali, bertambah lebar dan semakin dalam.
Aksi perburuan biawak oleh ahu gita dan ahu gete kemudian terhenti. Bukan mangsanya yang mereka dapati, melainkan ahu gita dan ahu gete menemukan air yang keluar dari lubang kepiting tersebut.
Air hasil pencarian biawak seakan menjadi obat pelepas dahaga. Tak hanya diminum, badan ahu gita dan ahu gete pun basah kuyup.
Setelah terpuaskan oleh segarnya air biawak, ahu gita dan ahu gete, kembali menemui Keso Kui. Kehadiran keduanya, membuat rasa penasaran. Dimana dan darimana kedua anjing tersebut menemukan dan mendapatkan air?
Lantas, Keso Kui bergegas mencari tempat dimana sumber air tersebut berada. Bekas jejak ahu gita dan ahu gete, menjadi kompas penelusuran. Pada akhirnya Keso Kui pun menemukan sumber air tersebut.
Air hasil pencarian biawak, kemudian oleh masyarakat setempat dinamakan Waioti. Wai berarti air dan oti berarti biawak. Dan lasim sampai sekarang wilayah di sebelah barat Terminal Lokaria dikenal dengan nama Waioti.
Kubangan air biawak tersebut kemudian dijadikan sumur, untuk melayani kebutuhan air minum bagi masyarakat Weko dan Wetak kala itu. Lokasi sumur tersebut berada kurang lebih 2 meter dari jalan negara menuju terminal Lokaria.
Sayangnya, sumur tersebut sudah diratakan dengan tanah, pada saat pekerjaan peningkatan jalan aspal dari pertigaan Terminal Lokaria menuju Wolomude Desa Teka Iku. (Yosef Sumanto)