Aksinews.id/Jakarta – Budiman Sudjatmiko mengaku sedih jika dipecat dari PDI Perjuangan gegera dirinya mendukung pencalonan Prabowo Subianto. Dia mengaku mendukung Prabowo karena memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Namun langkahnya ini dikecam sesama koleganya, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).
“Saya melihat unsurnya relatif ada di Prabowo, jadi dengan terpaksa saya harus katakan kita harus mendorong kepemimpinan strategic itu,” ucap Budiman, sebagaimana dilansir tribunjambi.com.
“Kebetulan namanya Pak Prabowo, kalau ada nama lain enggak apa-apa, kalau Pak Jokowi mau lanjutkan ya enggak apa-apa juga tapi kan enggak mungkin,” lanjutnya.
Hingga kini, Budiman mengaku belum mendapat surat panggilan dari PDIP. Kendati demikian, ia siap jika suatu saat dipanggil para petinggi partai.
“Kalau memang itu terjadi, baik itu undangan formal dengan surat resmi maupun informal, saya akan datang.Kalau ada sanksi untuk saya, saya berharap apa yang saya lakukan bisa jadi bahan diskusi,” imbuhnya.
Budiman berharap PDIP mempertimbangkan kemungkinan beraliansi dengan Partai Gerindra. Ia yakin PDIP akan mengambil keputusan yang bijak terkait pilihannya mendukung Prabowo. “Sehingga tindakan saya ya salah, tapi saya tidak dipecat,” ujarnya.
Seusai mendukung Prabowo, Budiman mengakui telah mendengar isu pemecatannya dari PDIP. Budiman mengatakan akan merasa sedih jika dipecat dari PDIP buntut dukungannya untuk Prabowo. “Tentu saya sangat sedih, tapi yakinlah yang tercabut dari saya hanya status administratif saya sebagai kader nasionalis Soekarnois,” tandas mantan ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini.
Sementara mantan Sekjen PRD, Petrus Hariyanto menilai Budiman Sudjatmiko telah mengkhianati keluarga korban penculikan 1998.
“Deklarasi tersebut bukan hanya menunjukkan Budiman mengkhianati kawan-kawan seperjuangannya, tapi juga mengkhianati keluarga korban penculikan, lebih dalam lagi, dia telah mengkhianati demokrasi dan nilai-nilai kemanusian,” kata Petrus.
Petrus menganggap dukungan Budiman ke Prabowo merupakan upaya untuk mencuci dosa sejarah Menteri Pertahanan itu pada masa lalu.
“Itu adalah langkah politik yang ingin menghapus jejak hitam pelaku pelanggaran HAM, meneguhkan politik impunitas,” ujarnya.
Dia tak sependapat dengan Budiman, yakni Prabowo adalah pemimpin strategis yang mampu mengemban tugas untuk memajukan Indonesia, siap menghadapi tantangan ke depan, berhadapan dengan negara-negara barat.
“Itu pembenaran Budiman saja untuk melegitimasi bahwa berangkulan dengan penculik adalah keharusan sejarah. Itu bukti pragmatisme Budiman supaya bisa mendapatkan sesuatu ketika Prabowo berkuasa. Padahal belum tentu juga Prabowo menang,” ucap Petrus.
Petrus menilai Budiman tengah mempertontonkan politik oportunis. “Mana yang lebih menguntungkan. Tetap di PDIP tetapi karier politiknya mandeg atau berpindah ke Prabowo yang digadang-gadang akan memenangi pertarungan Pilpres?
Budiman memilih meloncat ke mantan Pangkostrad yang dipecat era Presiden Habibie itu, walau menciderai idealismenya sendiri sebagai mantan aktivis. Bahkan, dia telah mencoreng nama baik aktivis 98 secara keseluruhan.
Menurut Petrus, Prabowo seharusnya tidak cukup hanya diberhentikan dari militer pada tahun 1998, karena terlibat kasus penculikan, tetapi juga harus diproses sampai ke meja hijau. Terlebih, kata dia, masih ada 13 aktivis yang empat di antaranya merupakan kader PRD belum diketahui nasibnya.
“Seharusnya menjadi tugas Budiman dan kader PRD lainnya untuk menuntaskan hal ini. Masih ada hutang masa lalu yang tetap harus dilunasi. Bukannya malah dikubur dalam-dalam oleh Budiman Sudjatmiko,” ungkapnya.
Petrus menegaskan dideklarasikannya relawan Prabowo-Budiman (Prabu) telah memberi pelajaran nilai-nilai politik buruk kepada generasi sekarang.
“Sama saja Budiman ingin mempertontonkan kepada generasi Z bahwa aktivis itu hanyalah sebuah batu loncatan semata untuk meniti karier politik dalam meraih kekuasaan, walau itu ditempuh dengan menguburkan nilai-nilai yang diperjuangkan semasa menjadi aktivis,” tegasnya.
Senada dengan Petrus, mantan aktivis PRD lainnya, Wilson menyesali lantaran dalam deklarasi tersebut tidak menyebut soal penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Apalagi, Wilson menjelaskan, Jawa Tengah yang merupakan tempat dideklarasikannya relawan Prabu terdapat dua aktivis PRD korban penghilangan paksa, yakni penyair Wiji Thukul dan Suyat.
Ya, “Ini ironis sekali, di Jawa Tengah juga ada dua aktivis PRD yang hilang diculik saat perjuangan reformasi 1998. Selama 25 tahun Budiman tak pernah menjumpai keluarga korban penculikan yaitu Wiji Thukul dan Suyat di Solo. Sekarang, dia malah bergabung dengan capres yg terlibat dalam kasus penculikan aktivis reformasi 1998,” imbuhnya, lirih. (*/AN-01)