(Sebuah Catatan Kecil untuk ‘Ura Timu’)
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
Staf Pengajar pada STIPAR Ende
Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) yang berkantor di Waibalun Flores Timur NTT didukung Oxfam di Indonesia telah melaksanakan Program “Komunitas Tangguh terhadap Iklim dan Bencana di Indonesia” atau ICDRC (Indonesia Climate and Disaster Resilient Communities). Program yang bertajuk ‘Sekolah Adaptasi Kekeringan’ yang dilaksanakan di Kabupaten Flores Timur dan Lembata sejak tahun 2018 ini akan berakhir Juni 2023. Seluruh proses pembelajaran bersama ini didokumentasikan dalam sebuah karya berjudul ‘Ura Timu’. Tulisan sederhana ini merupakan sebuah catatan atas karya ini.
Ura Timu dan Pergumulan Rangkap Tiga
Iklim yang tak menentu yang dibarengi dengan invasi manusia yang tak terkendali atas alam atas nama pembangunan membuat ‘planet hijau’ bumi ini menjadi tak bergetah. Kehijauan sebagai simbol spontanitas kehidupan tergerus bahkan menghilang tatkala dominasi manusia atas alam dibumbui bahkan dibingkai oleh ideologi antropomorfisme modern yang mendudukan manusia sebagai ‘penguasa tertinggi’ atas alam lingkungan. Planet hijau ‘menguning’ dan derita demi derita membajiri kanal-kanal kehidupan manusia.
Iklim yang berubah dalam pola dan intensitasnya dalam kurun waktu yang lama disertai pelbagai bencana klimatologi seakan membuat bumi terasa ‘tak nyaman-tak berjiwa’ untuk ditinggali. Pengetahuan modern dan kesaksian-kesaksian masyarakat desa tempatan YPPS dalam karya ‘ura timu’ mengafirmasi pengetahuan modern dan tradisional tentang perubahan iklim tersebut. Bahwasanya, bentuk perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan kebiasaan cuaca atau perubahan persebaran kejadian cuaca dengan penyebab utamanya pemanasan global.
Bagi saya, ‘ura timu’ merupakan sebuah karya hasil pergumulan epistemologi rangkap tiga. Pertama, perjumpaan pembelajaran tentang pengetahuan berbasis ilmu dan teknologi modern tentang iklim dan perubahan iklim makro (mendunia) dengan pengetahuan tradisional tentang iklim mikro (tempatan) terutama yang berkaitan langsung dengan daur usaha tani perladangan lahan kering, cara-cara pengolahan lahan dan tanda-tanda alam pergantian musim. Dapat dikatakan perjumpaan ini sebagai penciptaan pengetahuan tingkat pertama.
Kedua, perjumpaan pertama melahirkan pengetahuan tingkat kedua yang mengandung substansi tentang perbedaan dan persamaan sistem pengetahuan modern dan tradisional tentang iklim dan perubahan iklim.
Ketiga, kedua perjumpaan itu melahirkan pilihan berbagai kemungkinan tindakan mitigasi (pencegahan) risiko bencana iklim serta tindakan penyesuaian (adaptasi) dalam pola dan cara-cara budidaya perlandangan menghadapi perubahan iklim terutama berbagai kemungkinan kendala dan beban kerja dalam penerapannya, cara-cara menjaga keberlangsungan daya dukung layanan alam tempatan serta kalender musim dan kerja perladangan yang lebih sesuai.
Kebaruan Inisiasi yang Pengaruh Besar
Apa yang diinisiasi YPPS bukan sesuatu yang baru, kata Roem Topatimasang dalam kata pengantar karya ini. Namun, di atas ‘sesuatu yang lama’ itu YPPS menghadirkan ‘sesuatu yang baru’. Novelty (kebaruan) tersebut nampak dalam ‘menghadirkan yang lama’ dengan perspektif yang lebih modern yakni persepektif tentang ‘yang adaptif’ dalam pola berladang-bertani ketika para petani di wilayah tempatan ‘berdamai’ dengan persolan perubahan iklim. Sebuah sisi epistemologi (pengetahuan) integratif dihadirkan.
Bagi saya, inisiasi dan kerja-kerja lapangan YPPS ini merupakan sebuah ‘kerja yang memiliki pengaruh yang besar: membangun kesadaran masyarakat tentang relasi tridimensi (manusia dengan lingkungan, relasi manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan wujud tertinggi) berbasis epistemologi modern dan tradisional. Muara akhirnya tidak terbatas pada kesejahteraan manusia dalam skala mikro (rumah tangga, suku, kampung-desa) dan pola berladang-bertani (Bdk. Testimoni para petani ladang) melainkan lebih dari itu mengembalikan posisi ‘planet hijau yang bergetah’ dalam skala global.
Ura Timu, Ekologi Integral dan Ekosofi
Secara tak kasat mata ‘ura timu’ sedang mendokumentasikan pengetahuan tentang sebuah dimensi etis dan spiritual tentang bagaimana manusia seharusnya berhubungan satu sama lain dan dengan alam dengan mengacu pada budaya lokal, keluarga, komunitas masyarakat (kampung-desa), kebajikan (universal dan partikular), agama (Bdk. Ritus lokal dan respon Gereja), dan rasa hormat terhadap kebaikan bersama. Paus Fransiskus menyebut gagasan ini dengan istilah ekologi integral dalam Ensiklik Laudato Si’ (Ensiklik: surat publik dari Paus yang mengembangkan ajaran Katolik tentang suatu topik yang sering kali berkaitan dengan peristiwa-peristiwa terkini. Laudato Si’ (“Puji Bagi-Mu”)_On the care for our common home/dalam kepedulian untuk rumah kita bersama).
Ekologi integral dapat dipandang sebagai gagasan utama Laudato Si’, sebuah perspektif yang kompleks tentang alam tempat manusia hidup. Fokusnya pada hubungan khusus dan mendalam antara tindakan manusia terhadap alam, manusia lain dan kesejahteraan spiritual manusia. Hubungan manusia dengan bumi diletakkan sebagai aspek kunci dari pesan sosial dan ekonomi yang telah digagaskan para paus sebelum Paus Fransiskus. Dengan ekologi integral, Paus Fransiskus hendak menekankan dan membangun kesasaran bersama tentang keterkaitan relasional antara semua makluk hidup. Bahwasanya, perubahan iklim, invasi manusia atas alam dan dampak yang menyertainya merupakan tanggung jawab bersama semua manusia dalam jaringan sosial dengan pelbagai perspektif. Ensiklik ini memetakan sebuah jalan untuk mendapatkan kembali kesadaran akan keterkaitan ciptaan. Bahwasanya alam dan manusia tidak otonom dalam dirinya sendiri melainkan terbingkai dalam sebuah jalinan yang tak pernah bisa diputuskan.
Semuanya terintegrasi dalam alam semesta. Karena keterkaitan itulah degradasi alam semesta serentak merupakan degradasi atas kemanusiaan seutuhnya, manusia yang berekonomi, manusia yang bersosial, manusia yang berbudaya. Dan, manusia yang paling rentan terhadap degradasi alam adalah manusia tengah berada pada posisi kemiskinan yang memenderitakan keadaannya. Karena itu, upaya mengembalikan planet hijau yang bergetah serentak pula mengembalikan kemuliaan manusia terutama mereka yang sedang menderita di posisi kemiskinan.
Tak berlebihan jika saya mengatkan bahwa inisiasi YPPS dan kerja tangan-lapangannya mengandung intensi ekologi integratif ini. Mereka membangun kesadaran masyarakat tentang keterjalinan manusia dan alam, tentang keselamatan alam dan manusia, tentang masa depan alam dan manusia. Sederhananya, mereka hendak bermisi “on the care for our common home (dalam kepedulian untuk rumah kita bersama”).
Saya ingin memperkaya gagasan yang tercurah dalam ‘ura timu’ dengan gagasan ekosofi. Proses belajar bersama dan kerja bersama YPPS bersama para mitra dan warga di delapan desa (Posiwatu, Lerahinga, Waeinga, Helan Langowuyo, Nelelamawangi, Bedalewun, Kimakamak dan Gekeng Deran) dalam bingkai ‘pertanian adapatif kekeringan’ pada titik tertentu merupakan sebuah upaya untuk merevisi kembali hubungan manusia dengan alam dan memodifikasi konstruksi manusia tentang alam. Revisi dan modifikasi inilah yang dikedepankan oleh ekosofi.
Revisi dan modifikasi itu menyata dalam dua hal. Pertama, memahami secara mendalam tentang fisika bentang alam, biologi kehidupan dan senyawa kimiawi yang dikandung makluk hidup serta pranata sosial (seperti desa dan Gereja) dan nilai-nilai yang terkadung di dalamnya (seperti gemohing) berkat ‘belajar bersama’ di Pondok Liberty dan di ruang-ruang sosial lainnya.
Kedua, pola pertanian yang tidak mengandalkan pupuk kimia, teknologi mekanisasi atau moda produksi industri pertanian modern lainnya yang hemat saya dapat menyumbang bagi peningkatan pemanasan global sebagai faktor penyebab perubahan iklim. Persis di titik inilah gagasan ekosofi itu terbaca dengan gamblang. Idealisme ekosofi dan praksis baru yang berdimensi adaptif yang diperankan oleh para petani ladang seperti yang dikisahkan oleh Bapak Mikael Kere Lio dan Mama Martha Bulu Demon bersama kawan-kawan dari YPPS dan para mitranya hendak mengajarkan tentang bagaimana manusia bijak berpandangan tentang alam, bijak mengolah alam, bijak memijaki bumi demi keselamatan bumi dan keselamatan manusia.
Dalam perspektif Paus Fransiskus, kebijaksanaan itu menyata dalam tulisannya pada Laudato Si’: “Rasa persekutuan dengan alam tidak dapat terwujud jika hati manusia tidak memiliki kelembutan, belas kasih dan kepedulian terhadap sesama manusia. Kepedulian terhadap lingkungan hidup harus disertai dengan cinta yang tulus kepada sesama manusia dan komitmen yang teguh untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat” (LS, art. 91).
Proficiat atas hadirnya ‘ura timu’-Etnografi Iklim Mikro Flores. Saya berharap karya ini boleh dibaca dengan penuh kegembiraan hati. Namun, lebih dari itu semoga the best practice dan success story yang dikisahkan di dalamnya boleh menjadi milik bersama semua orang yang berkehendak baik untuk adapatif terhadap iklim yang tak menentu, yang menginginkan agar planet bumi ini tetap hijau dan bergetah.***
Ulasan yang semakin membuka horison terhadap pengetahuan para peladang lamaholot