Oleh: Arianto Zany Namang
Aktivis Mahasiswa, Tinggal di Jakarta
Mantan Ketua DPR Amerika Serikat Tip O’Neill mengatakan “all politics is local”; politik bersifat lokal! Frasa ini sangat cocok dan relevan dengan konteks Indonesia yang tersusun oleh aneka suku, budaya, bahasa, dan segala lokalitas sebagai pembentuknya.
Melchias Markus Mekeng, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, asal Nusa Tenggara Timur adalah contoh politisi yang menempatkan lokalitas kedaerahan pada tempat terhormat.
Di Flores, Lembata, Alor, dan Nusa Tenggara Timur secara luas, nama Mekeng sangat dikenal luas. Nama itu seperti akar tunggang yang menancap kuat dalam lokalitas daerah asalnya serentak menjulang tinggi ke angkasa.
Di level nasional namanya diperhitungkan sebagai salah satu tokoh penting Partai Golkar dengan jabatan Wakil Ketua Umum, juga sebagai satu-satunya orang Katolik yang pernah menjabat sebagai ketua Fraksi Partai Golkar, tetapi tetap mengakar pada Flores tanah leluhur.
Tony Kleden menyebut Mekeng sebagai “Orang Kita” di DPR RI yang mempunyai empati, simpati, peduli, dan perhatian bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur pada umumnya.
“Orang Kita” di DPR RI adalah penegasan tentang makna “all politics is local”; Mekeng menjadi politisi yang dihormati di pusat karena pertama – tama ia terlebih dahulu telah mengakar pada lokalitas tanah leluhurnya. Pohon tinggi yang kokoh karena berakar kuat ke dalam.
Apa yang membuat Mekeng menjadi wajah NTT di level nasional? Jawabannya adalah keberpihakannya pada masyarakat kecil.
Sekurang-kurangnya ada dua contoh yang bisa saya kemukakan di sini.
Pertama, program bedah rumah yang digalakkan di Flores. Sejak pertama kali digelar pada tahun 2022 silam hingga sekarang setidaknya sudah 40 rumah yang dibedah menghabiskan anggaran sebesar Rp 1 Miliar.
Program bedah rumah ini merupakan refleksi dari doktrin Golkar yakni karya kekaryaan. Apa itu?
Golkar memandang masyarakat dari perspektif fungsional bukan dalam perspektif ideologis dan karena itu program yang dihasilkan mengarah pada pemecahan masalah (problem solving) yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Doktrin karya kekaryaan yang memandang masyarakat dari kacamata fungsional ini terinspirasi dari paham korporatisme di mana demokrasi tersusun dari representasi golongan-golongan fungsional seperti pengusaha, buruh, guru, tukang, kelompok keagamaaan, dan seterusnya.
Korporatisme ini berakar kata dari corpus (Latin: tubuh). Suatu negara sama seperti tubuh yang terdiri dari organ-organ yang bergerak secara harmonis dan semuanya digerakan oleh satu roh kehidupan untuk mencapai satu cita-cita (lih. 1 Kor 12: 12-31).
Di atas segalanya, sebagai anak Katolik, Mekeng melihat program bedah rumah sebagai penegasan sikapnya tentang keberpihakan pada mereka yang miskin, lemah, dan kecil (option for the poor).
Gerak Mekeng dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat berada dalam satu tarikan nafas dengan semangat Gereja dalam menyejahterakan umat.
Kedua, ketika menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019, Mekeng memperjuangkan anggaran senilai Rp.600 Miliar untuk pembangunan infrastruktur di Flores Timur.
Ini jelas merupakan keberpihakan Mekeng terhadap masyarakat yang sudah mempercayakan suara mereka kepada dirinya. Dana sebesar itu bisa disalurkan ke Flores Timur hanya mungkin terjadi karena Mekeng mengerti mengenai politik anggaran.
“Banyak yang terpilih itu tidak mengerti tentang mekanisme pengajuan anggaran,” ujar Mekeng dalam salah satu kunjungannya ke Flores Timur.
Kita butuh pemimpin seperti Mekeng yang tau betul mengenai mekanisme politik anggaran dan membawa dana tersebut untuk kepentingan masyarakat kita. Politik, selain berakar pada ikhwal lokalitas dan aneka soal yang menanti untuk dipecahkan, juga tentang panggilan untuk melayani. Mekeng sudah terbukti hadir melayani.***