Oleh: Anselmus D Atasoge
Peneliti pada Culina Research Institute Flores NTT
Bulan Mei 2023 hampir berlalu. Setiap kali ‘menjalani Mei’, ingatanku tak pernah ‘melangkahi’ Kisah Mei 98. Memang agak memiluhkan apabila kisah tentang Kasus Mei 1998 ‘dibuka kembali’ saat ini takkala peristiwa itu sudah berlalu 20 tahun lebih. Tentang kisah ini, Tim Relawan Untuk Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat bahwa lebih dari 150 orang perempuan dari etnis Cina mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual (BBC.News.Indonesia).
Tak kalah memiluhkan pula kisah-kisah para aktivis yang ‘memberi hati dan diri’ untuk mendampingi para korban peristiwa itu. Para korban, saksi dan pendamping para korban yang berbicara secara terbuka mengenai peristiwa Mei 1998, tak jarang menerima ancaman. Bahkan, lima bulan setelah peristiwa itu, pada Oktober 1998, seorang anggota tim relawan, Ita Martadinata Haryono (18 tahun) dibunuh satu minggu sebelum menyampaikan kesaksian di PBB bersama dengan ibunya Wiwin Haryono dan komunitas Buddha. Betapa, para korban menderita untuk kedua kalinya!
Di tengah situasi peralihan ‘politik kekuasaan’ saat itu, bangsa Indonesia diperhadapkan pada sebuah peristiwa kemanusiaan yang luar biasa. Peradaban kemanusiaan ‘orang-orang Indonesia’ yang terlibat sebagai pelaku dalam peristiwa itu sepertinya ditundukan pada titik terendah. Kekerasan dan kekejaman manusia atas manusia ‘mengalahkan’ kesejatian peradaban kemanusiaan, peradaban harkat dan martabat manusia yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dirinya. Ita F Nadia dari Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan menyebutkan perkosaan Mei 1998 sebagai ‘perkosaan politik’: Tubuh atau seksualitas perempuan dijadikan alat teror dari situasi politik yang kacau.
Hingga kini, 20 tahun lebih pasca peristiwa yang memilukan itu, kasus ‘perkosaan politik’ ini tak juga kunjung terungkap. Namun, kita tetap berharap, meski tak kunjung terungkap, ingatan kita akannya, tak pernah pudar. Ingatan itu akan selalu memanggil kita untuk tidak mengulangi atau mendaur ulang kebiadapan perkosaan politik ini dalam model dan bentuk apapun. Mengulanginya atau mendaur-ulang sama artinya membawa peradaban kemanusiaan bangsa ini menuju ‘titik nol’ dan menghidupkan kembali barbarisme! Berbarengan dengan harapan itu, kita pun berharap agar peristiwa-peristiwa politik jelang pesta demokrasi 2024 tidak jatuh dalam kerkah barbarisme 98, terutama oleh partai-partai politik kita.
Dalam dirinya, partai politik melaksanakan beberapa fungsi yakni sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pengatur konflik (Miriam Budiardjo, 1991). Sebagai sarana komunikasi politik, partai politik melakukan komunikasi dua arah yaitu dari bawah ke atas dengan fokus merumuskan dan menyampaikan berbagai kepentingan, aspirasi dan tuntutan masyarakat kepada pemerintah dalam bentuk usul kebijakan umum (public policy). Pada titik ini, partai politik tidak hanya memperjuangkan kepentingan, aspirasi dan tuntutan anggotanya saja tetapi kepentingan masyarakat. Di sisi lain, partai politik melakukan arus komunikasi dari atas ke bawah: turut membahas dan mensosialisasikan rencana dan kebijakan pemerintah sehingga terjadi dialog yang memungkinkan terbangunnya saling pengertian antara pemerintah dengan masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi ini partai politik dapat disebut sebagai perantara dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas).
Fungsi yang lain adalah sebagai sarana sosialisasi atau pendidikan politik. Sosialisasi atau pendidikan politik dipandang sebagai proses yang memandu seseorang untuk memperoleh pandangan orientasi dan nilai-nilai yang dihidupi masyarakat dan menginternalisasikan ke dalam dirinya serta mewujudkannya untuk kebaikan masyarakat dan bangsa. Proses itu juga mencakup proses di mana masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai-nilai dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dalam negara berkembang, yang bangsanya sering heterogen sifatnya, seperti Indonesia, fungsi partai politik amatlah penting yakni membantu meningkatkan identitas nasional dan pemupukan integrasi nasional. Fungsi ini mengandaikan adanya tuntutan lebih atas partai politik yakni lebih mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan partai.
Maka tidak mengherankan apabila kepada semua partai politik di Indonesia dititipkan harapan dan idealisme: loyal kepada bangsa dan negara dan bukan hanya loyal kepada partai. Mengapa? Pada hakekatnya, partai politik itu merupakan salah satu sarana dalam membangun bangsa dan negara yang demokratis. Sudahkah fungsi ini menyata hingga ke pelosok nusantara ini?
Partai politik juga berfungsi sebagai sarana pengatur konflik. Dalam negara demokratis yang masyarakatnya bersifat terbuka, munculnya perbedaan dan persaingan pendapat menjadi hal yang wajar. Namun, tak dapat disangkal pula bahwa perbedaan dan persaingan cenderung terarah kepada lahirnya konflik jika tidak dikelola secara baik. Di tengah situasi yang demikian, partai politik hadir untuk mengatur dan memanage konflik atau pertikaian sedemikian rupa dengan cara dan mekanisme yang dimilikinya untuk meredam akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya. Semoga fungsi ini telah dipertontonkan partai politik selama ini, bukan hanya jelang pesta demokrasi 2024. Stabilitas politik dan pemerintahan menjadi taruhannya jika fungsi ini diabaikan oleh partai politik atau bahkan jika kehadirannya bagaikan ‘pemantik gas’ di tengah konfilik.
Fungsi yang tak kalah penting adalah sebagai sarana rekrutmen politik. Rekrutmen politik adalah proses melalui mana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rekrutmen politik ini menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus menjadi salah satu cara untuk menyeleksi calon-calon pemimpin yang akan ditampilkan dalam pemilu. Semoga para caleg atau para calon pemimpin yang telah didaftarkan di KPU baik daerah maupun pusat direkrut cara baik dan benar, bukannya ‘diajak di lorong-lorong tak bertuan’ atau sekedar dipaksa untuk memenuhi kuota atau aturan yang mempersyaratkannya.
Jika semua hal ini diabaikan maka boleh dibilang: partai politik kita sedang ‘memperkosa wajah politik’ kita. Jika diabaikan maka ia juga telah mengangkangi peradaban demokrasi bangsa ini: menyembunyikan wajah demokrasi, melepaskan identitas bangsa dan memorak-porandakan kohesi sosial masyarakat. Semoga Mei berlalu tidak tanpa makna! ***