Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol
Dalam waktu yang sangat singkat dan berdekatan, Lembata ‘kecipratan’ dua pemimpin yang datang dari Pusat negeri ini. Vivick Tjangkung diterjunkan ke Lembata tanah leluhur yang berpenduduk sebanyak sebuah kelurahan di Jakarta. Kompleksitas persoalan di Jakarta pun juga jauh sekali untuk bisa dibandingkan dengan Lembata.
Sebulan kemudian, Lembata dikejutkan dengan pengangkatan Matheos Tan sebagai penjabat bupati. Banyak (dan barangkali Marsianus Jawa sendiri mengharapkan juga) bahwa Marsianus Jawa bakal ‘bale Lembata’. Tetapi yang terjadi, justru seorang direktur Fasilitasi Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa di Depdagrilah yang ditugaskan.
Apa yang bisa dibaca dari penempatan dua orang pusat ini di daerah seperti Lembata? Ada apa Lembata sehingga pemerintah pusat harus ‘turun tangan’ menghadirkan figur terbaik untuk kabupaten pulau yang hanya berpenduduk sekitar 150 ribu jiwa itu?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tetapi kita juga bisa mereka-reka alias menggunakan teori probabilitas untuk bisa menerka jawabannya. Probabilitas didifinisikan sebagai peluang atau kemungkinan suatu kejadian, suatu ukuran tentang kemungkinan atau derajat ketidakpastian suatu peristiwa (event) yang akan terjadi di masa mendatang.
Itu berarti penempatan seseorang (misalnya Kapolres wanita pertama di NTT) dan seorang direktur dari kemendagri bisa karena menjawab persoalan daerah (Lembata) atau sebagai ujian bagi sang pemimpin untuk sebuah peluang di masa depan.
Dari sisi persoalan, Lembata sebenarnya kecil (karena hanya sebuah pulau) dan (seharusnya) mudah diperintah. Tetapi mengutip penelitian R Yando Zakaria tingkat konflik tanah di Flores (dan lembata) mencapai 50 hingga 70%. Kalau di Lembata perpsoalannya menjadi sangat pelik.
Dalam satu kecamatan saja terbedakan kelompok paji dan demon. Malah antar desa terdapat perbedaan tidak saja dalam dialek tetapi juga dalam aneka prasangka yang saling memojokkan. Konflik yang terjadi pada 17/8/2014 di Wulandoni bisa menjadi satu contoh. Oleh konflik batas antar desa, terjadi pembunuhan yang keji.
Adanya perbedaan itu mestinya dapat terjembatani dengan komunikasi dan transportasi yang lancar. Kenyataannya, daerah Atadei, Nagawutung dan Wulandoni dengan potensi sumber daya alam yang tinggi menjadi sangat terpinggirkan dalam pembangunan. Atadei misalnya menjadi penghasil utama nenas, pepaya, alpukat, tetapi buah-buah itu tidak akan bertahan lama.
Dari sisi pertambangan, tanah disebut menyimpan emas yang tidak susah diperoleh. Adanya tambang manual oleh masyarakat di Buyasuri menunjukkan bahwa kandungan emas itu tidak saja ada di kedalaman tetapi bahkan di permukaan dengan hasil yang tentunya menggoda.
Hal itu belum cukup kalau tidak dilengkapi dengan godaan energi panas bumi (geotermal) di Watuwawer – Atadei. Potensi yang menjanjikan meski disertai bahaya mengingat energi panas bumi atau geotermal merupakan tambang yang palign berbahaya dari tambang mineral. Sampai saat ini, belum ada teknologi pertambangan yang mumpuni untuk mengendalikan reaksi di dalam perut bumi.
Inilah potensi konflik laten yang kalau tidak diantisipasi bisa menjadi halangan tetapi juga bisa meledak dalam aneka konflik. Karena itu tidak berlebihan kalau Lembata menadi pilihan untuk menempatkan pemimpin hebat seperti Vivick dan Tan.
Sebagai Ujian
Meski tidak bisa membandingkan Lembata dan Jakarta tetapi kehadiran dua orang Jakarta di Lembata bisa membenarkan bahwa semuanya bukan kebetulan.
Pertama, dari sisi keamanan, tugas polri di Jakarta seperti dilaksanakan oleh Vivick lebih bersifat represif dengan menangkap pelaku kejahatan. Di sana model kejahatan sudah sangat variatif mendorong seorang polisi harus akrab dengan aneka kekerasan dan modusnya yang tentu tidak mudah diprediksi.
Kini, dengan bertugas di Lembata, berarti fokus kepada tugas preventif dan preemptif berupa pembinaan. Itu mengandaikan Vivick yang dengan pendidikan yang sanagat cukup (doktor) bisa memetakan konflik yang ada di Lembata dan merancang pembinaan yang tepat.. Pola penanganan BBM yang sudah dilakukan di awal menjadi contoh bahwa bila hal itu diantisipasi dan diatur, maka tidak perlu tindakan represeif.
Kedua, penempatan seorang direktur penataan adan administrasi pemerintahan Desa, Matheos Tan di Lembata bisa saja menunjukkan bahwa selama ini ada program penataan desa dari pusat kadang tidak ‘menggigit’. Ide-ide bisa saja cemerlang tetapi gagap saat eksekusi. Karena itu penting mengutus seorang dari pusat ditempatkan di sebuah kabupaten yang tergolong dalam 3T: Termiskin, Tertinggal, dan Terbelakang.
Itu berarti waktu 1 tahun yang tentu tidak bisa diharapakn untuk memberi solusi tetapi minimal Tan dapat memetakan persoalan itu. Selain itu dengan kemapuan penataan administrasi desa, maka desa yang ada di Lembata bisa dibenahi. Tugas ini sebenarnya tidak sulit karena Tan sendiri pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Litbang Inovasi Daerah Kemendagri. Karena itu sangat mungkin bahwa aneka inovasi bisa hadir dalam periode 1 tahun mendatang.
Hasil yang akan dicapai tentu tidak saja bermanfaat untuk Lembata. Dari sisi karir, Tan yang berhasil menangani satu kabupaten 3T bukan tak mungkin akan memperoleh kredit poin yang tidak sedikit untuk karirnya ke depan.
Ketiga, kehadiran dua orang Jakarta di Lembata sebenarnya merupakan disain besar dari konsep membangun dari desa dengan UU No 6 Tahun 2014 atau secar akhusus program Jokowi membangun dari pinggiran. Bila ditempatkan dalam perspektif ini maka Vivick dan Tan adalah 2 orang dengan ‘prospek besar’ di masa depan. Keduanya memiliki probabilitas sebagai pemimpin besar bila sukses membangun dari desa dari pinggiran Indonesia yaitu Lembata.
Karena probabilitas besar itulah maka yang diharapkan dari Tan dan Vivick adalah kekutan seorang pemimpin yang bisa memetakan masalah dan (kalau bisa) menghadirkan solusi untuk desa-desa di Lembata. Kehadiran seperti ini sedikit banyak sudah ditinggalkan sebagai ‘legacy’ oleh Marsianus Jawa. Karena itu Tan dan Vivick dengan kemampuan nasionalnya tentu akan memberikan perubahan yang lebih signifikan.
Bila tercapai maka itu membuktikan bahwa memang seperti itulah seorang pemimpin. Pemimpin tidak hadir membawa masalah dan tidak melewatkan waktu dengan hanya mempersalahkan persoalan, tetapi sebaliknya menawarkan solusi seperti dikatakan Brian Tracy: “Leaders think and talk about the solutions. Followers think and talk about the problems.”
Kita yakin, bila Vivick dan Tan dari Desa bisa menunjukkan contoh membangun dari pinggiran Indonesia, maka prospek keduanya tentu tidak kecil. ***