Oleh: Donatus Doni Koli, S. Fil
ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumba Tengah
Dunia internasional hari-hari ini boleh dibilang sedang tidak baik-baik saja. Baru-baru ini, perayaan festival imlek di Monterey Park, California, Amerika Serikat pada Sabtu, 21 Januari diwarnai aksi penembakan brutal. Terdapat 10 orang yang dilaporkan tewas dalam peristiwa naas tersebut. Dari Swedia, publik internasional dikejutkan oleh aksi pembakaran salinan Al-Quran oleh Rasmus Paludan, pemimpin partai politik sayap kanan Swedia-Denmark. Peristiwa pembakaran salinan Al-Qur’an -yang disinyalir mendapat izin dari pihak kepolisian Swedia, merupakan ungkapan protes Paludan terhadap upaya Presiden Turki, Tayyip Erdogan untuk mempengaruhi kebebasan berekspresi di Swedia.
Aksi pembakaran tersebut terjadi dalam masa demonstrasi anti-Turki di Stockholm dan upaya Swedia untuk bergabung dengan Nato https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/jatim/berita/d-6529327/indonesia-kecam-keras-pembakaran-al-quran-di-swedia/amp). Reaksi publik internasional pun bermunculan. Indonesia dan beberapa negara Arab, termasuk Arab Saudi, Yordania, Kuwait dan Turki mengecam keras aksi tersebut. Perangai Islamo-fobia Paludan sangat menodai toleransi antar-umat beragama sekaligus merupakan penghinaan keji terhadap Kitab Suci dan umat Islam.
Flashback ke tahun 2019, memoria pasionis seputar Islamo-fobia sempat mengemuka dalam aksi penembakan brutal yang menewaskan 50-an umat muslim di Christchurch, Selandia Baru. Brenton Tarrant, aktor di penembakan bahkan mengakomodir justifikasi rasional tindakan barbarismenya lewat sebuah dokumen berjudul the great replacement.
Intoleransi dan gejolak anti-keberagaman, termasuk Islamo-fobia meninggalkan preseden mencemaskan bagi demokrasi dan ruang hidup plural masyarakat modern dewasa ini. Berkaca pada modus kasus di atas, isi pikiran dan refleksi kita sepertinya digiring menuju titik nadir tatkala sebuah tindakan kriminologi dilancarkan dengan berbasis pada instrumen pembenaran tertentu.
Untuk itu, diperlukan resolusi bersama untuk mewujudkan hidup yang aman, damai, tentram dan berkeadiln dalam ruang hidup yang plural. Masyarakat dalam ruang publik yang berisi pluralitas tidak cukup apabila hanya bernaung dalam sikap ko-eksistensi. Agenda dan sikap yang perlu didorong adalah pro-eksistensi.
Edik Nantes dan Toleransi Pasif
Terdapat sebuah ungkapan klasik dari sastrawan Jerman abad ke-18/19, Johann Wolfgang Goethe, yang diutarakannya sebagai catatan kritis atas praktik toleransi pasif dalam dokumen klasik bernama Edik Nantes (Edikt von Nantes). Ungkapan tersebut berbunyi demikian: “Toleransi harus berkembang menuju pengakuan. Memperbolehkan adalah sebuah penghinaan.”Maklumat historis Edik Nantes yang terbit di Prancis pada tahun 1598 merupakan salah satu catatan historis tertua tentang toleransi. Maklumat ini disusun guna mengakhiri konflik antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan yang melanda Eropa pada abad ke-16 dan 17. Pemerintah Prancis yang saat itu warganya adalah mayoritas penganut katolik Roma mengizinkan para penganut gereja reformis untuk hidup dan tinggal di semua kota dan tempat di Prancis (Bdk. Otto Gusti dalam Media Indonesia, 16 Oktober 2016).
Ada sebuah cacat inheren dan ambivalensi laten terkait praktik toleransi versi Edik Nantes tersebut. Di satu sisi, penguasa Prancis memberikan jaminan keamanan dan kebebasan terbatas kepada kelompok minoritas. Namun, di sisi lain, jaminan tersebut tak lain dari praktik kekuasaan represif yang terselubung. Hidup kelompok minoritas sangat bergantung pada kemurahan hati penguasa. Untuknya, mereka harus membayarnya dengan loyalitas terhadap penguasa. Ketika loyalitas atau ketaatan itu luntur maka kebebasan penganut reformis tersebut dapat dicabut. Praktik toleransi versi Edik Nantes ialah penghinaan terhadap kebebasan asasi manusia. Toleransi tidak dipahami sebagai hak setiap warga negara, tetapi hadiah yang dihibahkan penguasa atau kelompok mayoritas yang sekali waktu dapat dicabut kembali jika kaum minoritas bersikap berlebihan atau menyinggung dominasi mayoritas.
Pembacaan secara objektif terhadap kebobrokan praktik toleransi pasif dewasa ini dapat ditelusuri dalam pendekatan politik multikulturalisme neoliberal bernama political correctness: sebuah kaidah politik dan moral yang tampaknya menghargai keberbedaan, menerima yang lain, sambil di saat yang sama tetap memberi kategori, standar serta batasan pada komponen yang lain itu. Isyarat toleransi yang sifatnya menjebak tesebut sederhananya dapat dibahasakan demikian:
“Saya menghargai dan menerima yang lain. Namun ‘yang lain’ itu harus sesuai dengan standar dan keinginan saya.”
Artinya ada semacam pengkategorian subjek ke dalam frame kami-mereka. Frame ini sejalan dengan skema metapolitik yang dibawa kelompok ekstrimis religius yang membagi manusia ke dalam skema benar-salah atau skema kelompok yang suci vis a vis kelompok kafir: ada kelompok yang benar dan suci yang hidup sesuai dengan standar norma tertentu serta ada kelompok yang salah-kafir yang tidak sesuai dengan standar norma yang benar.
Himbauan atau imperatif moral menurut logic toleransi pasif dengannya adalah pedang bermata dua yang syarat akan paradoks. Di satu sisi, ajakan moralis tersebut bersifat sejuk dan lembut. Di sisi lain, imperatif yang sama kontra-produktif dan membatalkan esensi terdalam toleransi itu sendiri. Justru, bukan toleransi, perdamaian dan harmonisasi yang dituju melainkan produksi kekerasan dan produk-produk intoleransi baru yang jauh lebih subtil.
Pro-eksistensi dalam Keberagaman
Pada prinsipnya kemajemukan itu bukan dicari-cari atau direkayasa, melainkan sebuah keterberian atau suatu produk yang given. Untuk itu, dari setiap kelompok partikular dituntut kemampuan untuk mampu menerima perbedaan dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk merumuskan bonum commune dalam aras kehidupan bersama. Dalam merespon diktum keberagaman tersebut, sikap yang perlu diperkenalkan adalah pro-eksistensi yaitu sikap pro atau memihak pada kehidupan dan bukan hanya ko-eksistensi.
Mengapa demikian?
Ko-eksistensi adalah hidup berdampingan dalam perbedaan secara damai dan tidak saling mengganggu. Slogan sikap ko-eksistensi sederhananya adalah ‘what’s yours is yours, what’s mine is mine’ atau ‘urusanmu adalah urusanmu dan urusanku adalah urusanku.’ Ko-eksistensi menekankan pendekatan permisivitas yang eksklusif terhadap perbedaan. Seorang boleh saja menerima dan hidup dalam perbedaan tetapi orientasinya adalah inward looking: perbedaan itu diterima semata-mata agar warna partikularitas kelompoknya tidak terganggu. Paradigma ko-eksistensi dengannya tidak cukup karena masih menyimpan “bom waktu” intoleransi atau geliat toleransi pasif yang sesekali bisa meledak ketika diobok-obok. Di Indonesia, polemik identitas yang berlangsung di Tanjung Balai, Aceh dan Tolikara, Papua beberapa tahun yang lalu sedikit banyak merepresentasikan rapuhnya paradigma ko-eksistensi dalam hidup bersama.
Cacat inheren sikap ko-eksistensi ini dapat dirujuk misalnya dalam hubungan antar-umat beragama. Pada tataran fundamental, agama-agama sesungguhnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Agama umpamanya mengajarkan persaudaraan atas dasar iman (aspek integrasi). Namun persaudaraan atas dasar iman ini bisa menimbulkan konflik (aspek disintegrasi) bila dipahami secara sempit dan kaku. Seorang penganut agama yang radikal dan ekstrimis -berangkat dari disposisi persaudaraan atas dasar iman yang sama- umpamanya dapat membangun kategori metapolitik benar-salah: menganggap orang-orang seagama sebagai yang suci dan kudus serta menganggap sesamanya dari penganut agama yang lain sebagai yang kafir atau liyan (subjek dengan kualitas kemanusiaan yang lebih rendah).
Pada aspek inilah, kategori ko-eksistensi tidak cukup. Agama dan komunitas-komunitas partikular perlu mewujudkan sikap pro-eksistensi di mana mereka bisa menerima kehadiran yang lain di samping dirinya. Paham dan sikap pro-eksistensi mampu sampai pada tahap di mana komunitas-komunitas partikular tersebut tidak hanya berada bagi diri mereka sendiri, tidak hanya sibuk dengan dirinya sendiri saja (inward looking),tetapi mampu menghadirkan relevansi positif bagi sesamanya.
Dalam Gereja Katolik, sikap pro-eksistensi dapat dilihat dalam spirit gereja pasca-konsili Vatikan ke-2. Konsili menandai suatu era baru dalam hubungan Gereja dengan penganut agama-agama lain yang menyadari bahwa dialog adalah suatu kebutuhan fundamental Gereja yang terpanggil untuk bekerja sama dalam rencana Allah lewat respek dan cinta terhadap semua orang (Tule: 2007). Gereja mulai beranjak untuk mengakui adanya benih-benih keselamatan di luar Gereja. Sikap baru itu terungkap jelas dalam pelbagai dokumen Konsili seperti Nostra Aetate, Ad Gentes dan Lumen Gentium serta ensiklik-ensiklik Paus seperti Pacem in Terris, Ecclesiam Suam, dan Populorrum Proggresio.
Dalam Nostra Aetate, salah satu dokumen Konsili Vatikan ke-II yang berbicara tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen, gereja Katolik menyadari bahwa ia tidak bereksistensi sendiri di dunia ini. Gereja sungguh mengakui kebenaran-kebenaran yang ada dalam agama lain sebagai salah satu sarana yang menghantar manusia kepada Allah. Untuk itu, gereja membuka diri terhadap dialog dengan agama lain.
Masyarakat dan komunitas-komunitas politik modern perlu belajar dan membaharui diri dalam menata kehidupan bersama yang adil, damai dan saling melengkapi. Pro-eksistensi hendaknya menjadi imperatif kolektif dalam kehidupan yang plural. Perjuangan tersebut salah satunya dapat dicapai dengan merujuk dalam sebuah kontur masyarakat modern yang oleh Habermas, filsuf asal Jerman, ditematisasi sebagai masyarakat post-sekular. Dalam bingkai masyarakat post-sekular, agama dan rasio sekular dapat berkolaborasi satu sama lain. Agama semakin didorong untuk mentransformasi semantikanya ke dalam ungkapan sekular agar tidak terpekur dalam penjara eksklusivisme dan sikap kontra-produktif terhadap perubahan zaman. Pada saat yang bersamaan komunitas-komunitas politik modern perlu membuka diri dan tidak menganggap sepi intervensi agama-agama. Sehingga, ancaman bahwa ideologi berkemajuan modern akan keluar dari jalurnya dapat diantisipasi.
Akhirnya, mengutip salah satu ungakapan terkenal Soekarno: “Mari kita bangun satu dunia dimana semua manusia dapat hidup dalam damai dan persaudaraan”, kiranya hidup berdampingan dalam keberagaman di dunia semakin menampakan wajah yang adil, non-diskriminatif dan damai.***