Oleh: Bram Garung
Pemerhati, tinggal di Larantuka
Tak dipungkiri lagi, beberapa waktu terakhir, media-media dibanjiri berita seputar potensi resesi ekonomi dan krisis pangan Indonesia pada 2023 yang membuat cemas masyarakat. Volatilitas ekonomi global ini mulai menguat sejak kuartal keempat tahun 2022. Lonjakan signifikan harga pada sektor pangan dan energi pun kian terasa di dunia.
Hal ini disebabkan oleh penurunan tingkat stok bahan pangan dan energi global. Krisis pada pangan dan energi membuat negara-negara global waspada akan tekanan inflasi dan juga resesi. Volatilitas ini juga menyebabkan ekonomi negara-negara dunia saling bergejolak satu sama lain. Terjadinya gejolak pasar global seperti pasar modal, pasar valuta asing (valas), serta pasar uang membuat perekonomian dunia menjadi terombang-ambing. Terombang-ambingnya ekonomi global merupakan awal dari krisis ekonomi global. (Hutagaol, 2022).
Potensi Ancaman Resesi
Resesi adalah kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, serta menurunnya kegiatan dagang dan industri (Kristanti, 2021). Selain itu resesi juga dapat diartikan sebagai kemunduran aktivitas ekonomi yang diukur berdasarkan tingkat konsumsi masyarakat, serapan belanja negara, investasi sektor riil, dan tingkat ekspor-impor (GDP).
Secara teknis, resesi didefinisikan ketika pertumbuhan GDP minus atau negatif berbanding tahun lalu dan terjadi selama 2 kuartal berturut-turut. Salah satu faktor utama dibalik perkiraan resesi global pada 2023 adalah lonjakan inflasi sebagai dampak dari konflik Rusia-Ukraina. Perang Rusia-Ukraina mengganggu rantai pasokan global, memicu krisis, terutama di sektor pangan dan energi, yang pada gilirannya mempercepat inflasi yang tinggi di berbagai negara.
Hal ini diperparah dengan adanya Scarring Effect akibat pandemi Covid-19 yang masih dirasakan yang cukup memberikan dampak negatif pada perekonomian dunia, seperti yang terjadi di Indonesia di tahun 2020 dengan pasar pekerjaan formal menurun di bawah 40%. Penurunan pasar pekerja ini mengakibatkan meningkatnya angka PHK yang merupakan wujud nyata dari scarring effect. Faktor lain yang menstimulus terjadinya resesi pada 2023 ialah kenaikkan suku bunga. Selama tahun 2022, Bank of England menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 basis poin.
Pada saat yang sama, The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 300 basis poin. Menanggapi hal tersebut, Bank Indonesia juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% guna menjaga daya beli masyarakat dan mendorong investasi asing ke dalam negeri (Kompas, 28 September 2022). Kenaikan suku bunga acuan secara simultan oleh bank sentral di seluruh dunia ini akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan dapat menyebabkan resesi global.
Perisai Resesi ala Indonesia
Banyak ekonom menilai, potensi terjadinya resesi atau krisis di Indonesia terbilang kecil. Hal ini didukung dengan ketahanan sektor energi, pangan, dan finansial Indoensia yang tidak tergantung pada rantai pasok dunia. Dari sisi energi listrik misalnya, lebih dari 50% pasokan listrik domestik bersumber dari batu-bara yang sangat melimpah di Indonesia dengan cadangan batu-bara terbesar nomor 7 di dunia.
Yang perlu menjadi perhatian dari sisi energi ialah ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) yang mana konsumsi masyarakat selalu melampaui kapasitas produksi sejak tahun 2004. Dari sisi ketahanan pangan, Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menegaskan , sampai 12 Januari 2023, total stok beras Bulog saat ini 341 ribu ton yang terdiri dari 333 ribu ton atau 97,9 persen stok cadangan beras pemerintah (CBP) dan 7,1 ribu ton atau 2 persen stok komersial yang diproyeksikan dapat mengimbangi tingkat kebutuhan beras nasional sekitar 2,5 juta ton per bulan.
Hal ini menegaskan survei yang dilakukan Global Food Security Index (GFSI) yang menunjukkan score ketahanan pangan Indonesia tahun 2022 meningkat dibanding tahun sebelumnya (Economist Impact, 2022). Ketahanan finansial (perbankan) juga menjadi salah satu faktor penting mencegah Indonesia terjerumus ke dalam jurang resesi. Goncangan pada perbankan dapat berpengaruh ke banyak sektor yang bergantung pada pendanaan perbankan, bahkan berpotensi menimbulkan krisis keuangan seperti tahun 1998 dan 2008. Rasio Kredit Macet (Non Performing Loan/NPL) dan Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) dapat dijadikan indikator untuk melihat suatu negara memiliki ketahan perbankan yang baik atau tidak. Menurut survei yang dirilis OJK, NPL Perbankan mengalami penurunan menjadi 2,68% di Akhir 2022 dari 2,78% per September 2022.
Sementara, angka NPL yang wajar menurut Bank Indonesia (BI) maksimal pada level 5% atau dapat dikatakan, NPL Perbankan Indonesia masih tergolong wajar. Rasio kecukupan modal perbankan di Tanah Air hingga November 2022 juga tercatat cukup memadai yakni tercatat sebesar 25,49% dengan batas minimum menurut BI ialah 8%.
Masyarakat Harus Apa?
Terlepas dari ketahanan sektor energi, pangan, dan finansial, kita perlu waspada akan adanya potensi yang mungkin terjadi yang dapat menghambat aktivitas ekonomi di tahun 2023. Adapun yang dapat kita siapkan guna menghadapi tantangan ekonomi di tahun 2023, antara lain ialah pastikan memiliki dana darurat yang sewaktu-waktu dapat digunakan dalam keadaan mendesak.
Selain itu, pengeluaran-pengeluaran yang dirasa kurang penting dapat dikurangi dan dialokasikan pada tabungan atau investasi. Dinamika global juga berdampak pada instrumen investasi yang cenderung fluktuatif. Berinvestasi pada instrumen berisiko rendah dan likuid, seperti emas, deposito, dan reksadana pasar uang dapat menjadi pilihan bijak di tengah ketidakpastian global.
Harapannya, apapun yang akan terjadi selama tahun 2023, masyarakat setidaknya memiliki pemahaman dan persiapan yang baik serta mampu mengambil keputusan yang bijak dalam menentukan langkahnya. ***
Larantuka, 15 Januari 2023