Catatan Fr. Rinto Djaga
Pendiri dan Mantan Ketua Teater Suara – Lewoleba, sekarang tinggal di Ritapiret
Sebelum saya membagikan pandangan dan pendapat, saya mengucapkan proficiat dan apresiasi kepada teater Aletheia yang berhasil mementaskan teater Cermin dengan meriah, tanggal 4 November 2022 lalu di lapangan SMAK Bhaktyarsa Maumere. Tidak lupa, saya juga mengucapkan selamat ulang tahun kepada lembaga kemanusiaan Truk-F, atas kiprah dan perjuangan mereka selama 25 tahun.
Pementasan teater cermin mengangkat persoalan kekerasan terhadap perempuan, dalam berbagai bentuk, pada berbagai dimensi. Kekerasan dalam rumah tangga, lingkungan masyarakat, skandal di dalam agama, hingga kasus perdagangan manusia dalam bentuk prostitusi. Semuanya ditampilkan di atas panggung, dalam berbagai babak dan penampilan para pemeran di dalam panggung.
Lampu dinyalakan, pertunjukan pun dimulai, dan penonton terlibat melalui tafsir dan intepretasi. Sebagai penonton dari pertunjukan ini, saya punya banyak pertanyaan serta tanggapan dari apa yang saya saksikan dan mungkin bisa juga dikatakan sebagai kebingungan. Saya tidak terlalu mempersoalkan hal-hal teknis seperti pencahayaan ataupun blocking panggung dari pertunjukan ini, tetapi pada kerangka bangunan cerita.
Adegan dibuka dengan keberadaan 5 perempuan dengan berbagai pose yang melingkari cermin yang diapiti oleh sebuah podium. Seorang perempuan terlentang di atas podium, dan 4 lainnya mengelilingi cermin itu. Seorang perempuan kecil berdandan seorang pemuda yang bermain dengan anak kecil, memberikan permen kemudian keduanya keluar ketika lampu dimatikan.
Adegan berlanjut kepada seorang perempuan yang sedang berdandan, kemudian seorang aktor pria masuk dengan membawa kursi roda, lalu menculik perempuan. Lampu kembali dimatikan.
Adegan berganti, dimana seorang wanita hamil sedang bercermin, kemudian masuk seorang laki-laki dalam keadaan mabuk, menghampiri wanita itu, sedikit bermesraan kemudian mencium perut wanita itu dan berkata, “Aku yang mandul ini, ternyata bisa berbuah juga”. Laki-laki mencekik wanita yang sedang hamil, musik mencekam dialunkan, lalu lampu dimatikan.
Adegan berganti kepada perempuan berbaju hitam yang sedang berdandan, kemudian dijemput oleh seorang laki-laki menggunakan sepeda. Berbagai rayuan dan bahasa tubuh yang penuh gairah menunjukkan kemana mereka berdua akan pergi. Dengan sepeda, si laki-laki membawa wanita untuk keluar dari panggung. Lampu kembali dimatikan, adegan berlanjut dengan perempuan terakhir yang terlentang di atas podium. Musik beralun, kemudian dia menari lalu keluar.
Lima perempuan, dengan dimensi yang berbeda, sudah menumpuk menjadi bahan cerita pada adegan pertama. Kemudian lanjutan adegan yang lain, adalah bagian pengulang, untuk mengulangi, atau mempertegas kekerasan terhadap perempuan. Setelah adegan pertama, saya sendiri mencari benang merah atau alur dari pertunjukkan ini, semua seperti gambar acak yang ditaruh ditampilkan dari beberapa potongan cerita. Terlalu banyak dimensi yang dihadirkan di atas panggung, dan semuanya adalah pengulangan semata dari adegan pertama.
Kekerasan, dan prostitusi. Dua hal itu ditampilkan secara berulang-ulang di atas panggung. Sesuatu yang sebenarnya sudah dan menjadi fenomena umum yang diketahui banyak orang. lima perempuan pertama sudah menggambarkan berbagai dimensi kekerasan perempuan, yang merambat dari dalam keluarga hingga pada lingkungan sosialnya, dan juga kemudian ditambahkan dengan kekerasan di dalam agama. Untuk adegan ini, saya sangat penasaran. Kenapa, monstran, tempat meletakkan hosti, diganti dengan cermin. Apa yang mau disampaikan dalam adegan itu? Kenapa diganti? Dan, kenapa memilh cermin?
Hal ini saya tanyakan kepada teman saya yang menjadi aktor di dalam adegan tersebut, dan dia menjawab bahwa keberadaan cermin itu supaya sang pastor melihat bayangannya yang berdosa. Menurut saya, ini simbol yang bisu, karena jika ingin menciptakan ketegangan antara imamat dan dosa, monstran tidak perlu diganti, karena konflik batin yang tercipta lebih mudah dipahami.
Seorang imam yang memimpin perayaan suci, kemudian jatuh di dalam dosa. Dia sudah berbuat dosa, tetapi tanpa malu tetap melaksanakan perayaan suci. Selain mudah dipahami, pemilihan cermin juga menciptakan multitafsir, karena bentuk persegi dari cermin, serta cara imam mengangkatnya, membuat banyak penonton menafsirkan bahwa cermin itu adalah alkitab.
Tampilan perempuan yang dijual, yang dijadikan budak seks, keterlibatan pejabat dan aparat penegak hukum. Dalam krisis dan masalah kekerasan terhadap perempuan tampillah seorang orator wanita yang datang dengan orasi yang berapi-api menggambarkan penderitaan dan penindasan terhadap perempuan, sosok suster Eustochia dengan berwibawa ditampilkan dia atas mimbar yang didorong mengelilingi lapangan. Mengangkat para korban, dan beberapa perempuan yang lain dia tutupi dengan selimut putih. Adegan ditutup dengan para korban yang menyirami tubuh mereka dengan air.
Semua adegan terpisah satu sama lain, kepingan-kepingan kejadian yang tidak dirangkai dalam alur yang menjadi benang merah dari setiap adegan. Kekerasan dan pelecahan, teater cermin seperti diaroma kekerasan yang menampilkan foto-foto tentang kekerasan dan pelecehan, dan menurut saya, dalam hal ini, korban, hanya sekedar menjadi objek, tetap pasif, dan terlantar di atas panggung.
Ide cerita tidak berangkat dari pengalaman kontekstual korban, tidak menyentuh aspek psikologis korban. Perasaannya sebagai manusia dan perempuan, tidak memiliki tempat untuk hadir di atas panggung. Amarah, kesedihan, dendam, serta gemelut emosional di dalam dirinya sepertinya kurang dibangun dan ditampilkan di dalam pementasan. Pengalaman korban tidak dijadikan pintu utama, dalam membuka lapisan-lapisan konflik dan kondisi sosial yang dialami korban. Semua adegan bergerak untuk menampilkan potongan-potongan kejadian, bukan pengalaman korban. Bahkan, kesan saya pementasan teater cermin terlalu sesak dengan adegan erotis dan kekerasan. Porsinya terlalu dominan, apalagi ketika adegan erotis ditampilkan dengan begitu perlahan-lahan, saat seorang laki-laki dengan gairah perlahan-lahan menjelajahi lekuk tubuh perempuan penghibur. Kedua paha dibuka, dan ketika celana diturunkan, lampu kembali dimatikan. In Bene Ratih dalam tulisanya “Perempuan dan Teater” menekankan dua hal, yaitu subjektivitas dan estetika.
Dalam subjektivitas, keberadaan perempuan bukanlah sebatas ornamen panggung yang diletakkan sebagai penghias, atau objek yang digerakan oleh orang lain. Dalam posisi ini, perempuan dan teater mencoba menemukan titik persinggungan di mana keduanya saling diperkaya. Teater adalah bagian dari proses kehidupan, ia menjadi cermin di dalan kamar. Tetaer memberikan ruang bagi perempuan (apalagi yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan) untuk berbicaca tentang dirinya sendiri. Perempuan tidak lagi bertanya pada pihak luar untuk menentukan nilai dalam hidupnya, baik secara individu maupun sosial. Sebaliknya, perempuan mampu menempatkan dirinya sebagai subjek yang menilai.
Dalam hal estetika, teater dipandang sebagai media katarsis yang membangunkan ruang dari ketidaksadaran terhadap situasi yang terjadi di sekitarnya, titik dimana semua orang mempertanyakan kembali pengalamannya. Dengan demikian, panggung menjadi media yang ampuh untuk mengungkapkan realits yang terjadi di masyarakat yang sempat terlupakan. Di sinilah kehadiran estetika dari sebuah pertunjukkan, ketika dipahami dalam kaitan dengan pengetahuan dan pengalaman indrawi. Estetika lebih menekankan pengalaman keindahan manusia dari pada keindahan itu sendiri. Dalam hal ini. yang dimaksud oleh Bene Ratih bahwa jika kehadiran tubuh atau aktor di atas panggung tampa dihubungkan dalam alur, narasi, dan penokohan yang kuat, maka tampilan di atas panggung hanyalah sebuah konstelasi atau kumpula tubuh, bukan sebuah estetik.
Kebisuan (tertulis: kebiusan) para korban, sesaknya pertunjukkan dengan berbagai peristiwa dan kejadian membuat jalanya pementasan terkesan monoton. Kekerasan dan pelecehan seksual, dua hal yang sering diulang-ulang di dalam pertunjukkan. Fondasi penceritaan yang dibangun, menurut saya, tidak begitu kuat, terlepas dari konteks, dan terlalu general. Ketika saya mengetahui akan ada pementasan tetaer cermin sebagai bentuk kerja sama antara lembaga kemanusia Truk-F dan Tetaer Aletheia, saya sangat antusias dan tidak sabar untuk menonton pertunjukkan tersebut. Dalam bayangan saya, kisah-kisah dan bentuk-bentuk dari sepak terjang dari truk-F akan memberikan wawasan, serta pengetahuan baru dalam memandang masalah kekerasan terhadap perempuan.
Saya jadi teringat tulisan-tulisan features jurnalistik dari Sindhuta selama investigasi dan reportase yang dilakukannya di kompleks pelacuran Kramat Tungga. “Si Mungil dari Indramayu”, yang menceritakan tentang si Mungil (nama samaran), seorang gadis muda yang dijuluki ‘jenderal bintang tiga’ karena banyak mendapatkan pelanggan. Dari sosok si mungil, ternyata ada latar belakang peristiwa yang jarang diketahui. Mungil dikawinkan paksa, dan setelah ditinggalkan oleh suami, Mungil dan kakaknya akhirnya memilih menjadi pelacur, karena selama merantau, mereka tidak menemukan pekerjaan yang pasti. Tingkat pendidikan mereka menjadi salah satu faktor penghambat mereka.
Selama menjadi pelacur, si Mungil dan kakaknya tetap mengirim uang untuk kedua orang tua mereka. Bahkan sesekali, kedua orang tua mereka datang untuk mengunjungi atau meminta uang dari mereka.
Atau, tulisan Sindhunata lainnya yang berjudul “Surat Cinta Dari Amerika”, mengisahkan tentang beberapa pelacur yang memilih untuk tetap merawat bayi hasil hubungan bersama pelanggan mereka. Walaupun tidak ada yang bertanggung jawab, mereka tetap merawat bayi tersebut. Biaya untuk keperluan bayi, ditambah biaya yang harus dikumpulkan kepada germo sebagai sewa dan uang iuran untuk nanti diberikan kepada polisi dan Satpol PP yang sedang patroli.
Kedua tulisan Sindhunata adalah contoh bagaimana masalah eksploitasi terhadap perempuan, tidak hanya berbicara soal dominasi ataupun kekerasan fisik, tetapi merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari penyakit masyarakat kita, yaitu kemiskinan dan pendidikan. Dan, pintu masuk untuk memahami situasi yang kompleks tersebut adalah dengan mendengarkan korban.
Pertunjukan bukan hanya sekedar memindahkan realitas kehidupan ke atas panggung, tetapi bagaimana memberikan refleksi dan pemaknaan bagi realita tersebut. Jaringan makna yang ditampilkan melalui simbol dan aktor bukan hanya soal dekorasi atau hiasan panggung semata. Bagaimana mengurai realita menjadi suaru alur cerita yang kontekstual dan menjadi repitisi bagi penonton. Ini adalah masalah titik awal atau fokus dari penceritaan, bagaimana membangun fondasi penceritaan, bagaimana atau dari mana cerita itu bergerak.***
Comments 2