Suatu sore yang biasa, di Minggu, 24 Juli 2022 lalu, saya dan beberapa rekan wartawan nongkrong bersama dua orang yang diduga terlibat dalam prostitusi online di salah satu lokasi di Kota Larantuka, sekitar jam 18.00 Wita.
Mereka masih tergolong remaja. Masih amat belia. Seorang bernama Bunga (19), sebut saja namanya begitu tapi nama sebenarnya. Dan, seorang lagi sebut saja namanya, Cleopatra, tentu bukan nama sebenarnya.
Mereka datang bertiga dengan adiknya Bunga ke lokasi tersebut. Saya bersyukur karena apa yang mereka ceritakan adalah kejujuran hati dan kepolosan budi dari anak seusia mereka.
Mengenakan rok dress, mereka memang tampak anggun. Mata mereka seolah menyiratkan sesuatu yang sulit dibahasakan dengan sepenggal kata sekalipun.
Sesekali mereka menjawab pertanyaan saya dan rekan-rekan wartawan dengan muka memuncat merah. Sambil menyulut sebatang rokok, keduanya tampak tenang. Pandangan mereka menerawang jauh. Sesering mungkin kami melemparkan pertanyaan kepada keduanya. Seutas senyum muncul dari raut wajah Bunga dan Cleopatra. Kadang pekikan tawa lepas memecah hening. Dan, kami pun turut bergeming.
Saya sendiri merasa iba melihat peristiwa yang mereka alami di saat-saat sulit menerjang. Hidup berpindah-pindah, dari kos ke kos, dari satu lokasi ke lokasi lain.
Dari situ, saya teringat kalimat dari mendiang almarhum Pater Doktor Jhon Prior, dosen teologi saya di STFK Ledalero; mereka telah menemukan wajah Tuhan dengan cara mereka. Wajah Tuhan yang sengsara, tersiksa, maupun mengalami situasi yang tak tentu arah.
Kata-kata Dr. Jhon itu mengingatkan saya soal pengalaman hidupnya, mengabdikan diri untuk orang-orang yang berada di penjara, yang mengidap HIV-Aids hingga orang-orang kecil pun, semua ia rangkul.
Ia tak hanya berpihak pada korban tetapi bagaimana menyadarkan pelaku. Ia memperhitungkan dua sisi kehidupan manusia. Begitulah sosok teolog Jhon Prior, yang bikin saya tidak cepat menjustice mereka lebih jauh. Toh, saya bukan siapa-siapa yang bisa menghakimi mereka. Saya hanya seorang juru wartwa, yang menulis dari pinggir.
Sebelum-sebelumnya kami memang cukup kewalahan untuk mendapatkan informasi soal belasan remaja yang terlibat prostitusi online, dan bagaimana situasi kehidupan mereka. Namun, kami berusaha bertemu seorang perempuan, yang mengetahui banyak profesi yang mereka geluti.
Dan, alhasil, ia berhasil menjembatani kami dengan mereka, guna menggali lebih jauh kehidupan mereka.
Cleopatra (16) sudah kepalang basah masuk dalam dunia prostitusi.
“Saya tidak ada beban om. Walau dijuluki pelacur atau apa pun. Saya biasa-biasa saja. Dalam otak saya ini hanya uang,” ujarnya sambil menyulut sebatang rokok Surya 12 yang mengepul bebas di area itu.
Ia mengaku terjebak dalam lingkaran prostitusi online karena ajakan temannya. Ya, “Awalnya sih, saya takut, namun sudah kepalang basah berada bersama mereka,” kisahnya.
Berbeda dengan Bunga (19). Ia pun tak bisa berbuat banyak ketika ditawarkan Bunda AZ untuk melayani tamu di kota Larantuka.
“Karena teman saya itu ajak saya untuk cari kerja di Larantuka, maka saya pun mau dan berpamitan dengan orang tua saya. Setibanya di Nagi (sebutan khas untuk kota Larantuka) tapi dikenalkan dengan seorang ibu yang biasa dipanggil dengan Bunda AZ. Saat melihat situasi pada rumah itu, saya yakin akan dipekerjakan pada warung makan milik rumah itu. Ketika malam, saya malah ditawarkan untuk melayani tamu. Kaget saya, tapi mau bagaimana lagi, saya akhirnya mengiyakan dan berlanjut sampai sekarang ini,” ungkap Bunga, tulus.
Meski begitu, Cleopatra dan Bunga mengaku setiap harinya mereka selalu berhadapan dengan sejumlah masalah.
“Dicari sanak keluargalah, konflik dengan pemilik kost, konflik antar sesama WPS bahkan pusing berhadapan dengan kelakuan para tamu. Kadang di saat sepi muncul pergolakan dalam batin. Ada penyesalan dan mau berhenti. Bahkan, sudah ada niat untuk berhenti, namun tiba-tiba ada tamu yang minta. Belum lagi kita dicap sebagai pelacur, selalu ditolak pemilik kost,” kisah mereka.
Kurang lebih dua jam kami nongkrong bersama. Kami pun dibuat sedikit pusing karena harus mensiasati sebuah ruangan di mana pun untuk tempat tinggal mereka hanya semalam meletakan kepala. Setelah melalui beberapa kali negoisasi kami pun menghantar kedua remaja dan adiknya yang terlibat dalam prostitusi online ke sebuah lokasi.
Saya dan seorang rekan wartawan lain dipilih untuk menghantar mereka. Kami melewati perumahan dan pergi mengambil beberapa pakaian mereka yang sempat disimpan di sebuah rumah warga.
Setibanya di sana, kami melihat pemilik rumah marah-marah, sambil bertanya mengapa pakaian mereka bisa disimpan teman anaknya di rumah mereka. Banyak orang mulai berdatangan. Saya melihat wajah panik menyerbu kepala mereka. Beruntung, teman wartawan membisikan sesuatu di telinga keluarga dan menenangkan situasi malam itu.
Kami berdua menghantar mereka tiba di salah satu rumah yang mereka tuju. Saat berhenti di depan rumah, mereka segera turun dari sepeda motor.
“Kaka terima kasih banyak ew…, sudah antar. Kaka tidak usah masuk ke dalam ew…,” ungkap Bunga.
Saat itu, Cleopatra dan adiknya Bunga mengangkat kepala, saya melihat wajah sedih tumbuh di muka mereka. Di situ, seorang jurnalis seperti saya, mengeluarkan air mata. Ini pertama kali saya menangis dalam liputan karya jurnalistik.
Saya menangis, karena memang baru pertama kali, dalam tugas saya, saya melihat kerasnya hidup dua remaja yang bertarung antara ganasnya nasib dan perhatian orang tua yang pupus. Ah! (AN-02)