Aksinews.id/Lewoleba – Sekretaris Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekrat) Kabupaten Lembata, Antonius Buga Lebuan menyampaikan permohonan maaf jika flyer Leva Nuang yang beredar di media sosial, memantik polemik berkepanjangan. Sesungguhnya, tidak ada anggaran untuk menyelenggarkan festival di Lamalera.
Ya, “Tidak ada anggaran untuk festival. Yang ada itu anggaran untuk penguatan kapasitas kelembagaan ekonomi kreatif, dan kelembagaan berkaitan dengan wisata budaya. Kami menyebutnya dengan kegiatan eksplorasi dan ekspresi budaya Lembata. Di dalamnya itu ada Leva Nuang,” jelas Tony Lebuan, sapaan akrab Antonius Buga Lebuan, dalam perbincangan dengan aksinews.id, Jumat (1/4/2022).
Dia tidak menyangkal kalau flyer Festival Leva Nuang yang disebarkan staf Dinas Parekraf Lembata telah menimbulkan silang pendapat di media sosial, baik facebook maupun WhatsApp Grup (WAG). “Saya malu juga dengan teman-teman di Lamalera. Mereka bisa anggap saya seolah-olah tidak mengerti dengan budaya Lamalera. Padahal, kita sering bersama-sama bicara soal Lamalera,” ungkap Tony, prihatin.
Karenanya, ia menyampaikan permohonan maaf bagi warga Lamalera, baik di Lamalera maupun di luar Lamalera. Dinas Parekraf, menurut dia, sesungguhnya ingin mendorong kuliner dan usaha kreatif masyarakat, serta penguatan kapasitas kelompok ekonomi kreatif Lembata, termasuk di Lamalera.
“Kan di Lamalera ada kelompok yang bikin cincin dan kalung dari tulang ikan, bikin tenun dan lain-lainnya. Kami bisa masuk melalui kegiatan ekonomi kreatif dan pariwisata. Kalau budayanya, sudah menjadi urusan di Dinas Kebudayaan, bukan lagi di kami. Sehingga kami mau dorong kuliner Lamalera, yang saya sebut dengan istilah Lamaholotnya, bantuan dapur. Tapi, istilah ini juga bikin orang tersinggung, ya saya mohon maaf, saya tidak bermaksud melecehkan orang Lamalera,” ungkap Tony.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa program yang hendak dilaksanakan Disparekraf adalah melakukan penguatan kapasitas para stakeholder di desa-desa wisata yang sudah ditetapkan. “Ada 34 desa wisata. Tidak semua orang desa ini paham dengan Leva Nuang. Sehingga kami melakukan perjalanan bersama 34 orang dari desa-desa itu berkeliling dari Boto, kemudian mengikuti pasar barter di Wulandoni, baru masuk ke Lamalera pada tanggal 30 April sore. Sehingga malamnya bisa ikut misa arwah di pantai Lamalera,” jelas Tony.
Tanggal 1 Mei, rencananya rombongan masih ikut misa leva. “Tapi karena tanggal 1 Mei ini jatuh pada hari Minggu maka kami masih berkoordinasi apakah tetap dilaksanakan misa leva atau bergeser ke tanggal 2 Mei,” ungkap Tony.
Diakui bahwa sampai saat ini dirinya hanya melakukan pembicaraan lisan, baik di Lamalera dengan beberapa pemangku kepentingan maupun di Lewoleba. “Belum ada surat pemberitahuan ke pemerintah desa, baik untuk desa Lamalera A maupun desa Lamalera B,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa hal itu terkait belum adanya kepastian waktu pelaksanaan misa leva pada tanggal 1 atau 2 Mei.
Dia menjelaskan bahwa agenda peresmian Pusat Informasi Pariwisata di Lamalera oleh Bupati Lembata memang sengaja dimasukkan. “Jika Pak Bupati hadir, maka itu bisa dilaksanakan, tapi jika tidak hadir maka acara itu tidak dilaksanakan,” jelas Tony Lebuan.
Menyangkut acara makan bersama, menurut dia, sebetulnya merupakan bagian dari pameran kuliner lokal Lamalera. “Jadi istilah saya, bantuan dapur, itu sebetulnya untuk menyebut kuliner lokal. Saya mohon maaf, kalau istilah saya itu kurang berkenan,” ungkap Tony.
Dengan adanya polemik di tengah masyarakat maupun di media sosial, Tony Lebuan menjelaskan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan tiga skenario kegiatan. Pertama, melakukan reschedule (penjadwalan ulang) seluruh rangkaian kegiatan. “Leva Nuang kan berlangsung sampai bulan Oktober. Sehingga kita bisa menunda seluruh rangkaian kegiatan, agar tidak mengganggu upacara pembukaan Leva Nuang,” ujarnya.
Kedua, rombongan dari desa-desa wisata tidak perlu masuk ke Lamalera. “Jadi kita tunda kegiatan yang melibatkan stakeholder di Lamalera,” ujarnya.
Ketiga, rombongan wisata tetap melakukan kegiatan eksplorasi dan ekspresi budaya di tempat lain, tanpa melibatkan desa Lamalera A dan Lamalera B.
“Itu yang kami tawarkan. Masih didiskusikan, skenario mana yang bisa dipakai. Kami juga butuh masukan,” ungkap Tony Lebuan, seraya memastikan, bahwa tidak ada festival apapun di Lamalera.(AN-01)