Oleh Anselmus D Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Indonesia terbentuk dari berbagai macam keunikan, multietnis, serta beragam agama dan budaya. Hal ini menjadi berkah dan kekayaan bangsa Indonesia. Namun, hemat saya, sepanjang sejarah Indonesia bahkan sebelum masa kemerdekaannya, Indonesia yang bercorak multi-agama, multi-etnis-budaya tak sepenuhnya menikmati corak pluralisnya itu. Corak ke-Indonesia-an ini di satu sisi menjadi kekayaan bangsa namun di sisi lain mengandung pula tantangan.
Ketika agama, kepercayaan atau model-model spiritualitas lokal lainnya (sebagai unsur-unsur dari kepluralitasan tersebut) telah masuk dan menjadi bagian dalam dan dari ruang publik, pluralitas menampilkan dua konsekuensi yang berbeda. Di satu pihak menjadi kekayaan ketika dia mengungkapkan berbagai kemungkinan jalan untuk mendekati Allah dan jalan untuk mewujudkan apa yang dipandang sesuai dengan maksud Allah untuk kebaikan manusia.
Pada pihak lain, pluralitas merupakan sebuah tantangan yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menjerumuskan negara-bangsa dalam pola pikir dan aksi-aksi diskriminatif. Dalam sejarah Indonesia, jawaban terhadap tantangan ini tidak hanya diberikan dalam bentuk kehendak baik untuk menciptakan peacebuilding melainkan juga dalam bentuk ketegangan malahan bentrokan berdarah.
Hal lain yang juga menjadi perhatian serius bangsa ini adalah lahirnya sikap dan aksi-aksi intoleransi dan radikalisme yang menjadikan bangsa ini terfragmentasi dalam kepingan-kepingan kelompok yang ingin memaksakan kehendak dan cita-cita mereka sendiri dengan jalan-jalan kekerasan.
Cahyo Pamungkas, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah menyampaikan bahwa dalam 10 tahun ke depan, Indonesia ini akan menghadapi masalah yang luar biasa. Salah satunya berhubungan dengan intoleransi dalam kaitan dengan agama dan kepercayaan. Apa yang disampaikan Pamungkas ditegaskan kembali oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas.
Ketika memberikan sambutan dalam diskusi daring bertajuk “Understansing Indonesia Muslims Culture” yang digelar Sabtu (13/3/2021), Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, berbagai riset menunjukkan meningkatnya gejala intoleransi di masyarakat Indonesia. Menurutnya, hal itu disebabkan pertama nian oleh arus informasi yang begitu kuat dari penduduk muda. Namun, Yaqut menaburkan optimisme bahwa peningkatan gejalah itu tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan karena belum menjadi arus utama di tengah masyarakat.
Secara umum, intoleransi menyata dalam beberapa bentuk seperti penyebaran informasi yang salah tentang kelompok kepercayaan atau praktik keagamaan tertentu meski keakuratan informasi tersebut bisa dicek dengan mudah dan diperbaiki, penyebaran kebencian mengenai sebuah kelompok bahwa anggota kelompok sebelah semuanya jahat dan berperilaku immoral, perilaku mengejek dan meremehkan kelompok iman tertentu terkait kepercayaan dan praktek yang mereka anut, upaya untuk memaksa keyakinan dan praktik keagamaan kepada orang lain agar mengikuti kemauan kelompok tertentu, pembatasan hak asasi manusia anggota kelompok agama tertentu, upaya mendevaluasi agama lain sebagai tidak berharga atau jahat, serta upaya menghambat kebebasan seseorang untuk mengubah agama mereka (conversion).
Sejumlah persoalan internasional yang dilansir sebagai bagian dari konflik keagamaan dalam skala yang besar bisa disebutkan antara lain konflik Israel-Palestina, Sengketa Kashmir, Perang Salib, Perang Bosnia, dan Holocaust. Dan, sejumlah persoalan keagamaan lainnya yang dipandang sebagai sumber konflik antaragama yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan di antaranya blasphemy (Lihat Allison Dimase, Replace Blasphemy With Incitement. How Indonesia should Promote Religious Harmony while Upholding Human Rights (Pustaka Masyarakat Setara: Jakarta, 2016); hate spin (Lihat Cherian George, Pelintiran Kebencian Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya bagi Demokrasi (PUSAD: Jakarta, 2017).
Pada umumnya, hubungan antaragama di Indonesia berjalan baik di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa relasi-relasi itu tak meninggalkan beberapa masalah. Bagir menulis bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terkhusus pasca Reformasi 1998, ada sejumlah sumber ketegangan dalam hubungan antarkomunitas agama. Tak jarang ditemui bahwa ketegangan itu berubah menjadi kekerasan. Adapun kekerasan komunal ini melibatkan komunitas-komunitas beda agama dalam skala besar, seperti beberapa kasus yang terjadi di sekitar 1998 (Zainal Abidin Bagir, “Pluralisme Kewargaan: Dari Teologi ke Politik” dalam Zainal Abidin Bagir, dkk, Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia (CRCS: UGM Yogyakarta, 2011).
Saya teringat akan Charles Kimball dalam buku When Religion Becomes Evil. Kimball menulis bahwa agama akan menjadi sumber bencana bila tiap agama terus berpegang pada klaim agamanyalah yang paling benar, taat buta terhadap pemimpin, pemaksaan doktrin, menghalalkan segala cara mencapai tujuan dan menyerukan perang suci. Semestinya, agama merupakan sumber nilai individu dan identitas sosial. Keyakinan agama menentukan perilaku individu yang pada akhirnya menyumbang bagi kebaikan bersama. Kecenderungan untuk kerja sama sosial adalah contoh perilaku yang sangat terkait dengan tradisi yang dibentuk oleh keyakinan agama.
Dari perspektif Kementerian Agama yang bertanggungjawab dalam kehidupan beragama di Indonesia, Yaqut berjanji untuk memprioritaskan tiga program prioritas yang akan dilakukannya dalam menghadapi ancaman intoleransi. Pertama, meningkatkan pelayanan keagamaan yang lebih merakyat dan merata untuk semua masyarakat Indonesia. Kedua, penguatan moderasi beragama yang lebih menghadirkan kehidupan yang lebih moderat. Ketiga, akselerasi transformasi digital agar meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak. Intensi utama program ini adalah agar masyarakat dapat menjawab tantangan perubahan sosial dan mendukung pembangunan.
Sembari menunggu implementasi dari kerja keras Yagut dan jajarannya, baiklah jika kita mengingat harapan anggota Dewan Pakar P2G (Perhimpunan Pendidikan dan Guru) yang juga seorang peneliti LIPI, Anggi Afriansyah. Berangkat dari konteks dunia pendidikan, Afriansyah meminta Kemendikbud dan sekolah-sekolah agar melaksanakan “perayaan kemajemukan dan toleransi” di sekolah. Afriansyah memberikan sebuah contoh sederhana yang meski terkesan artifisial namun boleh menjadi pintu masuk untuk membangun peradaban tanpa intoleransi serentak membangun karakter siswa yang toleran, mencintai kebinekaan, dan saling menghormati: “sekolah menentukan hari tertentu tiap minggunya, agar siswa dan guru bersama-sama menggunakan atribut keagamaan dan atribut kedaerahan (etnis) masing-masing siswa dan guru”. Perbedaan itu nyata dan indah, meski sejak awal mula, seluruh umat manusia itu berasal dari “Kebenaran Tunggal”, kata Nurcholis Madjid. Karena itu, menerima dan menghargai keragaman agama di Indonesia sebagai sebuah rahmat. Mari kita merayakannya sebagai sebuah keindahan hidup.(*)