Bella. Gadis berparas ayu itu, wajahnya bundar bagai bulan. Bibirnya tipis. Hidungnya pesek. Senyumnya menawan. Rambutnya terurai panjang menutupi pinggang. Matanya sayup. Kata-katanya mengalir sejuk. Tiap pagi ia ke kampus, bunyi klakson motornya mengerus pendengaranku. Maklum aja jalan yang dilaluinya tepat di depan rumahku. Apalagi rok mini yang dikenakannya seakan memperindah tubuhnya, membuat mataku seakan tercungkil dari ceruknya.
Pagi ini merupakan moment yang paling spesial dalam hidupku. Bella menghentikan motornya di depan rumahku. Lalu berjalan lenggang kangkung ke arahku. Semakin dekat, tatapannya membuatku gelisah. Detak jantungku berdetak dua kali lebih kencang ketimbang sebelumnya. Prakkk… prakkk… kepalan tangannya mendarat tepat di pipiku. Aku tak tahu harus ngomong apa. Kata-kataku tersendat. Bibirku keluh. Telingaku memerah. Detak jantungku seakan tercopot. Ia segera pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Kepergiannya begitu cepat. Entahkah apa alasannya sehingga ia menamparku? Aku mencoba berpikir mencari titik kesalahanku namun tak kutemukan.
Aku bingung dengan diriku sendiri. Sejujurnya aku tak mengerti. Baru pertama kali aku ditampar oleh seorang gadis. Apalagi ditampar oleh Bella, gadis cantik itu. Maklum aja Bella kan’ anak dari pemilik perusahan besar di Jawa Timur. Apalagi Ia dijuluki kembang kota bagi pemuda-pemuda sebayanya karena terpukau oleh kecantikannya. Banyak pemuda menaruh hati padanya. Bahkan mereka berlomba-lomba mengejar cintanya. Sedangkan aku (Radit) anak petani yang tiap hari meneteng cangkul ke kebun. Menggemburkan tanah dengan keringat bercampur debu. Tak tahu apa-apa selain merobek dada ibu tanah mencari sesuap nasi demi hidup yang kian usut.
Aku kenal betul Bella yang nama lengkapnya Isabella. Sejak kecil aku sering memanggilnya Is. Namun pertemanan kami tak berlangsung lama. Kami dipisahkan oleh status. Sejak saat itu jarak aku dan Bella seperti jarak antara langit dan bumi. Entahkah mungkin aku orang tak berpunya. Namun aku bahagia, saat Bella beranjak kuliah ia selalu menyapaku tiap kali lewat di depan rumahku. Sejujurnya aku terkesima dengannya.
Ah, sudahlah itu hanya lamunan belaka. Lagian mana mungkin anak orang kaya mencintai pemuda petani sepertiku. Palingan aja ditampar seperti ini. Atau, mau nampar balik? Gak usah. Nampar cewek gak jentelmen loh. Petani kok lawan orang berduit. Nyusah aja ba. Palingan kita yang ke penjara.
***
Siang semakin tinggi. Dari kerumunan anak-anak kecil yang sedang bermain petak umpet seorang anak berlari kencang menghampiriku. Ia menyerahkan sepucuk surat kepadaku. Surat tanpa nama. Tanpa alamat yang jelas. Aku tak menyangka surat itu berasal dari Bella. Isi suratnya terpampang jelas. Radit… aku minta maaf atas kejadian waktu lalu. Maafkan aku, Dit. Mungkin kamu merasa heran mengapa aku menamparmu sekeras itu. Aku hanya butuh kejujuranmu Dit. Kamukah yang menulis surat itu? Surat semasa SMA yang nyasar saja di meja belajarku. Itukah perasaanmu? Telah bertahun-tahun aku mencari pemilik surat itu. Namun tak kutemukan. Dan, kaukah orangnya? Tega betul Radit. Aku menunggu, dan terus menunggu. Kau membuatku hidup dalam sebuah pertanyaan. Aku masih menunggu jawabanmu Dit.
Setelah membaca surat Bella, aku kikuk sendiri. Ternyata suratku itu masih disimpan Bella. Sial! Bella tahu bahwa aku yang menuliskan seluruh isi hatiku padanya semasa SMA. Aku bingung sendiri. Apa yang harus kuperbuat? Apakah aku harus bertemu dan menyampaikan sederet untaian maaf? Ya, aku harus melakukannya. Kelopak mataku semakin berat. Tapi aku mengurung niatku untuk tidur siang ini. Sekedar duduk di pelataran rumah sambil menunggu Bella lewat. Dan, benar kataku. Bella datang dengan muka kisut. Sepertinya ia kecapaian. Aku menghampirinya dari belakang sambil memegang lengannya.
“Bell… Bell, dengarkan aku.” Kataku dengan nada harap.
“Apalagi Dit? Aku capek.” Ucap Bella dengan nada mereda.
“Maafkan aku atas surat itu Bell, a..aku tak bermaksud…” ucapku terbata-bata.
“Cukup Dit, aku tak mau mendengar lagi sesalmu.”
Kali ini Bella menatapku tajam. Apakah benar itu perasaanmu Dit?, ucap Bella melanjutkan.
Bella membuatku tak berdaya dengan runtutan pertanyaannya. Hatiku tersontak gugup. Aku tak tahu harus ngomong apa. Seluruh diriku dingin. Kerongkonganku sepertinya tersendat. Namun aku harus jujur mengatakan. Apapun resikonya bagiku.
“Bell, maafkan aku karena memilih mencintaimu pada waktu yang tidak tepat.” Ucapku kesal.
“Radit… Cinta itu tak pernah salah. Apalagi dipersalahkan. Itu kan perasaanmu. Dan, rasa itu tak pernah salah”, tutur Bella.
Sejak kejujuranku mengungkapkan segalanya Bella begitu akrab denganku. Bahkan aku dimanja kayak saudaranya sendiri. Kami sering keluar bersama sekedar jalan-jalan. Kadang nongkol di warungnya Mba Sumi sekedar melahap bakso Malang yang katanya enak pakai bangeeet. Hari-hari kami begitu berwarna tapi entah kenapa hari begini kok lain banget. Serasa mimpi bagiku kata yang barusan diucap oleh Bella.
“Aku mencintaimu Radit”, ucap Bella sambil memandang tajam kedua bola mataku.
“Apa? Apa aku tidak salah dengar Bell?” kataku seolah tak mengerti.
“Mendengar bukan sebuah kesalahan, karena cinta mengungkapkan apa yang ia rasakan bukan mendengar apa yang ia ketahui. Dan itu yang harus kau pahami Dit”
“A…aku…!”
“Cukup Dit! Aku mencintaimu karena aku mencintaimu.”
Mendengar jawaban Bella hatiku meradang gelisah. Aku kehabisan kata-kata. Mukaku serentak pucat. Dadaku berdetak tak karuan. Bibirku nyilu. Seluruh diriku gemetar. Aku tak menyangka, jawaban Bella diluar dugaanku. Apakah cinta telah buta? Ataukah ia berpura-pura buta. Itukah hakikat cinta? Sejak Bella menambatkan cintanya padaku dan tentu aku juga mencintainya. Bella mengajarkanku tentang apa itu cinta. Cinta itu tak sekedar cantik atau jelek. Bukan juga soal kaya dan miskin. Apalagi tentang sajak dan syair puisi para penyair. Cinta juga bukan sandiwara, drama, telenovela atau novel yang dapat kau baca berlembar-lembar sampulnya tetapi cinta itu soal rasa. Menyangkut hati.
***
Awan merah jambu tampak anggun senja itu. Di pinggir pantai aku dan Bella duduk termenung menatap pasir yang digulung ombak kian kemari. Sesekali pandangan kami menjurus kedepan mengena tepat pada deretan kapal para nelayan yang berlabuh di laut sana. Angin menyisir sepi saat buritan kapal dipenuhi neon 4 watt.
“Wah, kayak Alcatraz Prison, San Fransisco. Sebuah penjara di tengah laut yang sangat mengerikan di malam hari.” Ucapku mencoba melukiskan deretan neon yang menggantung di tiang-tiang kapal saat senja beranjak pucat.
“Kang, aku takut. Serem bangeeet.” Ucap Bella sambil menarik lengan bajuku.
“Ah, biasa aja ko Bell. Tak usah takut, kan’ ada aku” Ujarku mencoba menenangkan perasaanya.
Tak terasa dingin serasa duri. Aku melihat tubuh Bella menggigil kedinginan. Kulepaskan jaketku dan mengenakannya pada Bella. Bella merasa nyaman. Ia meletakan kepalanya di bahuku. Aku memeluknya dengan penuh perasaan. Sesekali kukecup dahinya. Membelai rambutnya dengan sentuhan tanganku. Bella diam saja. Ia menatapku dengan perasaan dalam. Hanya senyum yang mengalir dari raut mukanya. Aku memeluknya semakin erat dan tak akan kulepaskan.
***
April, 2015
Berita itu tersebar begitu cepat secepat kilat di siang bolong. Tentang Isabella, gadis yang kemarin manja di pelukanku. Kini mendekam di balik jeruji besi lantaran tersabet kasus narkoba. Ia dituduh mengedarkan heroin seberat 10 kg di sekitar daerah Gresik. Aku tak menyangka mengapa Bella begitu tolol melakukan hal itu?
Ia kan anak seorang pengusaha ternama di Jawa Timu. Apakah ia tidak cukup menikmati hasil usaha keluarganya saat ini? Beragam pertanyaan berkecamuk di otakku. Tak masuk akal, benar.
Kemarin persidangan itu berlangsung riuh saat Ketua Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Isabella dengan tuduhan telah melanggar UU Narkotika dan Psikotropika No. 35 Tahun 2009. Aku juga hadir saat itu, tak ada suara yang keluar dari mulutku hanya tangis sejadi-jadinya.
Seandainya aku bersuara. Suaraku hanyalah suara minoritas, apalagi suara seorang petani miskin sepertiku pasti dihitung nol di depan pengadilan. Tatapanku menjurus tepat di mata Bella, air matanya mengalir tipis saat ia dibopong dua personil Brimob usai persidangan.
Langkahnya patah-patah di depan mukaku. Lalu terhenti, kudengar ia memanggil namaku, Radit. Aku tak kuasa membendung emosiku. Kata-kataku seakan patah. Suaraku tak bersuara. Aku berlari kecil menghampirinya, menyeka air matanya dan memeluknya dengan pelukan dalam. Tenanglah, ini aku.
Senin, Pkl 10.30
Tatapan Bella penuh ketakutan. Seluruh dirinya gemetar. Badannya kurus tinggal dibalut tulang. Ia menyadari hidupnya akan berakhir hari ini. Sebelum ia pergi, ia memandangku dalam, mengerutkan dahinya lalu mencium pipiku. Kematian tak akan mengakhiri cinta kita. Itulah kata-kata terakhir yang keluar dari bibirnya sebelum ia dibopong ke ruang rahasia. Dua puluh (20) personil Brigade Mobile sedang berjaga-jaga. Siap menodongkan senjata tepat di dada target. Sebuah peluruh menyeruak tepat di jantung Bella. Detik jam pun membatu, segalanya telah buta.(*)
Ach..may the writer is not a killer.