Aksinews.id/Larantuka – Suami almarhumah Sebastina Sedo (65 thn), Petrus Nama Kedang sampai bersumpah di hadapan Sekda Flores Timur, Paulus Igo Geroda dan jajarannya. Dia sungguh kecewa berat dengan buruknya pelayanan RSUD dr. Hendrik Fernandez – Larantuka, hingga istrinya menghembuskan nafas terakhirnya. Padahal, almarhumah istrinya dirujuk dari Puskesmas Baniona, Kecamatan Wotan Ulu Mado karena menderita luka di kaki. Dia dinyatakan positif Covid-19 di RSUD, tapi anehnya keluarga tidak dilarang mendekatinya sekalipun di ruang isolasi RSUD.
“Saya bersumpah dalam nama Yesus, apa yang saya sampaikan ini menjadi suatu catatan untuk kita semua, teristimewa bagi pejabat, penguasa di Flores Timur ini, dalam mengayomi kami masyarakat kecil. Saya sebagai suami merasakan luar biasa isteri saya seperti bangkai busuk yang dirujuk dari Puskesmas Baniona datang ke Rumah Sakit dibiarkan begitu. Saya sempat SMS ke beberapa orang yang saya percaya, mengapa kami di rumah sakit seperti ini? Balasannya, banyak yang mengeluh seperti itu. Nah, kalau begitu, apakah pak Bupati, Wakil Bupati, anggota DPRD kita tahu tidak ?”, ungkap Petrus Nama Kedang, kesal.
“Lalu ada WA masuk, maaf pak Sekda, pemerintah kita dana Covidnya besar tapi tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Honor para tenaga medis yang menangani Covid juga tidak dibayar. Lalu pak dokter minta maaf, ya… honor tidak dibayar, pasien jadi korban. Sakit memang, saya bayangkan itu isteri saya. Saya usulkan di Puskesmas, kecamatan-kecamatan jangan tempatkan dokter-dokter yang ingusan, maksudnya masih kecil, baru tamat, mereka tidak mampu membuat kebijakan melihat mana yang harus ditempuh sehingga terkesan seperti ini”, tegasnya.
Hal itu disampaikan Petrus Nama Kedang, warga Desa Kawela, Kecamatan Wotan Ulumado, dihadapan Sekda Flotim dan para pimpinan Dinkes dan RSUD Larantuka, Rabu (24/3/2021) siang. Dia bersama keluarganya “menyerbu” kantor Bupati Flotim di Batu Ata, Larantuka, guna menyampaikan buruknya pelayanan medis di RSUD Larantuka. Utamanya, terkait penanganan pasien yang dinyatakan positif Covid-19.
Pertemuan keluarga almarhum dengan jajaran Pemkab langsung dipimpin Sekda Flores Timur, Paulus Igo Geroda, di aula Setda. Sekda membuka pertemuan dengan hangat, menyapa keluarga dan tim dari kesehatan yang hadir. “Semua yang dilakukan oleh teman-teman kita, tenaga-tenaga kesehatan, kepala medis, perawat dan bidan tentu dalam rangka melindungi kita semua. Dan, standarnya jelas, aturannya jelas. Tapi, memang ada banyak persoalan yang kemudian terjadi dalam pelayanan ini. Lebih kepada komunikasi dan koordinasi yang berakibat pada kurangnya pemahaman kita, lalu seolah-olah semua hal itu terjadi karena sebuah kelalaian atau sebuah hal yang dilakukan yang kemudian membuat keluarga merasa pelayanan itu tidak maksimal”, ucap Sekda Paulus Igo Geroda dengan tenang.
Perwakilan keluarga dekat korban meninggal, Maksi Tukan membeberkan buruknya pelayanan RSUD. “Kami keluarga hari ini mau menyampaikan beberapa hal terkait pelayanan yang terjadi di Rumah Sakit. Yang kami sesalkan adalah proses pelayanannya, seolah-olah kami dari pihak keluarga melihat bahwa ruang isolasi itu neraka bagi para pasien yang masuk di ruangan tersebut”, ungkapnya.
Hari pertama, papar Maksi, mulai mama masuk karena terlalu banyak bergerak maka infus terlepas sekitar jam 4 (16.00 Wita) sore. Tapi baru dipasang kembali pukul 23.00 Wita malam. “Itu pun atas desakan keluarga, sehingga pihak rumah sakit melakukan pemasangan infus pada jam tersebut”.
“Kami sebagai keluarga melihat bahwa itu adalah suatu kelalaian besar. Adapun hal-hal lain yang menyakitkan adalah status mama dari swab pertama ke swab kedua itu. Proses itu keluarga merasa tidak manusiawi. Kenapa? Rujukan mama itu terkait dengan luka di kaki, tetapi karena mama berada di ruang isolasi, maka yang difokuskan adalah terkait dengan rapid tadi”, kenangnya, kecewa.
“Jadi, perlu diketahui bersama bahwa sebelum mama divonis Covid, sudah ada dua pasien di Kecamatan Wotan Ulumado yang divonis Covid juga”.
Anak pertama almarumah, Ina Kedang mengatakan bahwa dirinya melakukan konsultasi dengan dokter di Puskesmas Baniona saat mendengar kabar kalau mamanya terpapar Covid-19. “Karena mama saya sudah reaktif, sebelum ke RSUD, saya konsul banyak dengan dokter di Baniona tentang bagaimana kami dilakukan isolasi seperti apa. Dalam bayangan saya, kami di tempat lain, mama di tempat lain. Sehingga saya meminta kepada dokter Baniona, bahwa kalau bisa dokter saya menemani mama saya. Dan, dokter bilang boleh. Lalu saya bertanya, dokter kalau isolasi berarti mama saya ini Covid. Dokter bilang sampai di IGD dulu, nanti baru pihak IGD yang atur. Nyatanya kami langsung ke isolasi. Sampai di ruang isolasi, kami dijemput oleh dua perawat dan satu dokter laki-laki. Saat itu saya bilang dokter, kaki mama saya ini harus dibersihkan. Karena ini hanya dikasih plester dari sana.”
“Lalu dokter itu keluar dan masuk kembali. Dia bilang, mama sebenarnya saya bisa bersihkan, tapi kasa sterilnya habis. Saat itu, saya berpikir, koq rumah sakit begitu besar kasa sterilnya habis?”, celetuk Ina Kedang.
Besoknya, sekitar pukul 13.00 Wita baru diambil gula darah. “Dan, saya sempat tanya, mama bisa makan? Tidak bisa mama puasa. Mama waktu itu sudah tidak bisa bicara lagi, sudah lemah. Setelah itu kami dipindahkan ke ruangan lain karena ada pasien yang meninggal karena Covid. Kami dipindahkan karena mau sterilkan ruangan. Malamnya, mama disuntikan insulin. Setelah disuntik itu mama lemah. Terus dokter bilang karena disuntik insulin melemah maka nanti akan dicabut. Terus kami tanya bagaimana ibu, bisa dicabutkah insulinya? Jawaban dari pihak satu bilang ibu cabut sendiri. Lalu saya bilang kalau saya cabut sendiri resiko kalau mama saya melemah bagaimana? Siapa yang bertanggungjawab? Dia bilang, ibu cabut saja di kantong hitam itukah? Nanti itu ada satu alat itu ibu tekan di situ, tapi ibu tidak tahu jadi cabut saja. Saya mau cabut bagaimana? Kalau cabut mama saya tiba-tiba meninggal, tanggungjawab siapa? Akhirnya, kami tidak cabut. Sampai jam 03.00 baru mereka datang cabut. Setelah cabut mama saya sudah bisa bergerak sedikit?”
“Setelah dicabut, permisi, kaki mama saya sebelumnya lakban di kaki karena belum dibersihkan, lukanya merambat sampai ke paha dan melepuh seperti tersiram air panas itu”, ujarnya dengan air mata yang terus mengalir.
“Lalu dokter dan perawat datang bersihkan dan mengambil swab pertama. Satu hari kemudian, kami dipanggil kepala ruangan dan dia tunjukkan hasil lab mama saya negatif.”
“Besok pagi, mama saya disuntik empat jenis obat yang mana sebelumnya kaki kiri bisa bergerak kini keduanya tidak bisa bergerak lagi hingga jam 10.00, mereka datang suntik lagi. Jam 12.00 dokter datang bilang mama saya sudah hilang kesadaran karena kurang darah sampai ke saraf, sudah radang paru-paru, radang ginjal padahal mama saya sakit sebelumnya adalah kanker payudara”, kisahnya.
Lalu diambil swab kedua. “Saya bilang, dokter kenapa swab kedua diambil saat mama saya begini? Lalu dokter bilang swab kedua itu harus ada jeda. Tapi, biar supaya mama ini lebih cepat pindahkan ke ruangan. Dan karena bapa lihat mama lemah, maka bapa panggil Rm. Herman, Pr untuk berikan minyak suci. Dan mama saya meninggal dua jam setelah itu. Setelah meninggal dokter datang mengatakan hasil lab mama positif Covid-19 dan saat itu juga luka mama saya tidak dibersihkan.”
“Kalau seandainya mama saya Covid, kenapa kami dibiarkan menyentuh mama? Kami berharap Satgas Kecamatan bisa datang ke keluarga kami untuk rapid kami sama-sama. Tapi sampai hari ke-15 tidak ada yang datang”, ungkapnya.
Yang hadir pada pertemuan tersebut Sekda Paulus Igo Geroda, Kadis Kesehatan dr. Ogie Silimalar, Kalak BPBD Alfonsius Betan, manejemen RSUD Larantuka bersama Tim Medis pada ruang isolasi Covid RSUD dr. Hendrikus Fernandez – Larantuka, tim medis dari PKM Baniona serta keluarga mama Sebastiana Sedo, Petrus Nama Kedang, Maksi Tukan, Ina Kedang dan keluarga lainnya. (Yurgo Purab)
Dari keterangan sepertinya mama ini terinfeksi karena adanya luka. Hasil swab mungkin merupakan efek penyakit penyerta/sakit bawaan. Konsentrasi adanya penanganan covid ini telah mengabaikan proses penyembuhan penyakit/sakit lamanya. Keputusan pengambilan tindakan medis saat ini syarat dilematis. Pihak RS/medis harus berani mengambil keputusan bila menemukan kasus seperti ini terulang kembali. Dokter/medis harus yakin bahwa covid ini masih ada. Namun dari pengalaman kemedisannya mereka berkeyakinan bahwa penyakit ini juga tidak terlalu berbahaya bagi para pasien yang akan terpapar (pasien harus diedukasi agar bisa bertahan hidup). Selanjutnya marilah kita semua menjalankan kehidupan secara normal untuk selalu patuh pada protokol kesehatan….
(Bernardtokan)