Oleh: Anselmus D. Atasoge
Komunitas Studi Kreatif Lintas Iman – Flores, NTT
Keuskupan Larantuka kembali ‘berduka’. Pasca kepergian sang senior, RD. Sipri Sande yang seasal separoki St. Maria Ratu Semesta Alam Hokeng, seminggu yang lalu, Minggu, 21 Mei 2023, sang yunior, RD. Agustinus S. Iri kembali ke ‘rumah Bapa’ setelah mengalami kecelakaan di kompleks asrama kodim Larantuka.
Imam Projo Keuskupan Larantuka ini baru selesai menjalankan studi S1 Ilmu Hukum di Universitas Parahiyangan Bandung dan telah mendapatkan penugasan baru untuk melanjutkan studi hukum jenjang S2 di universitas yang sama. Rencana dan impian itu pupus, Minggu, 21 Mei 2023.
Romo Gusti, demikian kami menyapanya. Di kalangan para aktivis di Keuskupan Larantuka, Beliau dikenal tegas terhadap pelbagai praktek ketidakadilan yang dialami umat-masyarakat, tidak hanya yang seiman dengannya melainkan juga menembusi batas dan sekat berbasis agama. Kami sering berbincang-bincang tentang hal ini.
Tak segan-segan beliau ‘turun ke jalan’ menghimpun data, mengkomparasikannya dengan temuan-temuan lainnya dan menyuarakan ‘yang tidak benar’ demi tegaknya keadilan dan martabat manusia. Informasi tentang hal ini bisa ditemui dalam laporan sejumlah media massa lokal dan nasional dan yang juga memuat gagasan-pikirannya tentang situasi sosial kemasyarakatan yang ditemui atau yang dikisahkan kepadanya. Namun, satu sumber yang lebih pasti tentang hal ini adalah buku kumpulan tulisannya (yang Beliau minta saya baca dan mengeditnya) berjudul “Celoteh dari Pinggiran Kampung”, terbit tahun 2016.
Beberapa minggu yang lalu kami berdua berniat untuk melanjutkan karya keduanya dalam bentuk buku kumpulan tulisannya dari sekian banyak tulisannya yang tersebar di media massa. Kini, Romo Gusti tentu akan ‘mengumpulkan kisah-kisahnya yang terbaru’ dari surga kekal.
Pasca ‘kepergiannya yang tak pernah kembali ini’ banyak hal bisa diingat kembali dan diberi testimoni tentang diri dan pergerakan sosialnya. Saya ingin memberikan ‘catatan kenangan’ tentangnya dari perspektif Ajaran Sosial Gereja.
Bagi saya, seluruh gerak hidupnya berpusat pada Sang Kristus yang diimaninya. Moto imamatnya ‘belajar dari sang Guru’ menyiratkan gerak hidupnya tersebut. Saya membingkainya dalam terang ‘Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini” yang diberi judul Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan).
Artikel 1 dari GS berbunyi: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya”.
Kata-kata ini sungguh bergema di dalam hatinya dan menguasai seluruh karyanya sebagai imam Tuhan di Keuskupan Larantuka. Di hadapan persoalan kemanusiaan, Romo Gusti sungguh menempatkan hatinya yang cemas dan berduka. Ia rela ‘keluar dari posisi yang nyaman’, rela menyeroboti kepekatan malam, rela berlumpur dan berdebu, untuk menggali informasi dan mengumpulkan data sebelum ia menyuarakan apa yang benar dan adil menurut ajaran Gereja yang ia yakini kebenarannya.
Dalam kesenyapannya, ia mempelajari butir-butir Kitab Hukum Kanon, Ajaran Sosial Gereja dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menemui basis epistemologisnya agar bisa dengan pasti ‘menyuarakan’ apa yang ia pandang sebagai ‘yang benar, yang adil’ bagi masyarakat.
Beberapa sharing pengalaman yang sempat ia sharekan kepada saya, Beliau mengatakan bahwa Beliau juga tak segan-segan menjumpai para pengambil kebijakan publik untuk mengabarkan apa yang tidak benar (tentu berbasis data) dari kebijakan publik yang telah dikeluarkan namun berdampak merugikan masyarakat.
Bagi saya, seluruh kemampuan akademis dan keyakinan imanennya membingkai seluruh apa yang ia kerjakan. Meskipun terkadang terganjal oleh seribu tantangan namun Romo Gusti tak bakal membatalkan ‘langkahnya’ tatkala komitmen perjuangan telah terpatri dalam diary-nya.
Tak berlebihan bila saya mengatakan bahwa hati dan budinya Romo Gusti adalah hati dan budi yang sungguh ber-kompasio pada kedukaan dan kecemasan siapapun yang dijumpainya dan mendatanginya. Ia telah menempatkan diri sebagai salah seorang murid Kristus yang tak menciptakan segregasi yang amat ketat di hadapan para korban ketidakadilan yang mengalami kemalangan hidupnya.
Hati dan budinya pun merupakan pancaran inklusivitas, terbuka dan berbagi dengan siapapun yang dijumpai dan yang mendatanginya dengan sejuta soal. Ia telah ‘melelehkan dirinya’ bagi ‘dunia yang dijumpainya’ hingga ia kembali berziarah ke rumah Bapa.
Romo Gusti… Selamat jalan! Kuatkan selalu langkah kami untuk meneruskan impian dan citamu menjadikan dunia kemanusiaan sebagai yang berharkat dan bermartabat. Banyak rencana telah kita guratkan. Semoga guratan rencana itu senantiasa direstui Tuhan dalam naunganmu melalui berkatmu dari surga kekal.***