Oleh: Kornelis Kuswono Iri, S.Pd
Guru SMAS Seminari San Dominggo – Hokeng
Dalam demokrasi, pemilu adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana demokrasi menghendaki suara rakyat menentukan masa depan negaranya, demikian pula pemilu menghendaki suara rakyat itu untuk menentukan pemimpinnya. Proses pergantian kekuasaan bersumber dari kehendak rakyat sendiri.
Pemilu biasa disebut sebagai pesta demokrasi. Rakyat berpartisipasi aktif dan meriah dalam proses diskursus hingga proses pemilihan di bilik suara. Pemilihan tersebut, meskipun dalam praktiknya di beberapa negara lain relatif berbeda, secara substansial dijalankan secara sama atas dasar kehendak dan kebebasan pribadi, sebagaimana kebebasan yang dialami para tamu undangan dalam sebuah pesta.
Secara teoretis, demokrasi hendak menjawab dua pertanyaan penting yaitu untuk kepentingan siapa kekuasaan dijalankan (demokrasi substansial); dan bagaimana kekuasaan itu dikelola (demokrasi prosedural). Dua pertanyaan kunci ini juga dapat dikemukakan dalam konteks pemilu; untuk kepentingan siapa pemilu dilaksanakan; dan bagaimana menjamin pemilu agar kepentingan rakyat betul-betul diakomodasi.
Kepentingan paling ultim dari sebuah proses pemilu tak lain adalah rakyat sendiri. Bonum commune menjadi gerakan dasar yang melandasi penyelenggaraannya. Pemimpin dan para pejabat publik harus dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, secara teoretis, terjawab;ah sudah pertanyaan pertama tentang demokrasi substansial.
Terkait dengan pertanyaan kedua yaitu soal pengelolaan kekuasaan, pemilu menjawabinya dengan melaksanakan pergantian kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam peta perpolitikan negara. Kekuasaan dua lembaga vital kenegaraan ini dibatasi oleh sistim pemilu dalam rupa masa tugas. Pembatasan ini disinyalir mampu mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan dan memangkas usia rezim yang berkuasa. Dengan demikian, kekuasaan dibatasi secara legal dan bertanggungjawab.
Pemilu memungkinkan semangat demokrasi diwujudkan secara nyata. Namun, perlu diakui bahwa tidak semua proses pemilu bersifat demokratis. Pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa demokrasi bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada saat menyelenggarakan pemilu. Negara masih perlu mengusahakannya secara lebih optimal melalui sistim pemilu yang lebih terpercaya, akuntabel dan tranparan. Pemilu yang berjalan dengan baik, aman, dan damai merupakan katalisator kesuksesan demokrasi.
Selain sistim pemilu, peningkatan partisipasi publik juga menjadi barometer kesuksesan demokrasi. Suara warga dalam pemilihan kepala daerah ataupun kepala pemerintahan adalah wujud paling pertama dukungan publik terhadap masa depan negara. Memberikan hak suara sama halnya dengan turut menyuarakan sikap kepedulian terhadap nasib negara melalui pemimpin yang dipilih. Semakin pesat intensitas partisipasi publik, semakin kuat atmosfer demokratis dihidupi dan semakin berdaulatlah rakyat berkuasa.
Kusnardi dan Hermaily Ibrahim (https://ditjenpp.kemenkumham.go.id) mengungkapkan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyat yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu sendiri.
Ada fase dalam sejarah bangsa kita di mana kedaulatan rakyat dijunjung dalam pemilu. Itu terlihat pada pemilu tahun 1955, sebagai ajang pemilu perdana di tanah air, pemilu ini dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis dan sukses. Kesuksesan tersebut terlihat melalui terpilihnya anggota DPR dan Konstituante, dua lembaga yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia yang masih begitu muda usianya.
Saat itu, Indonesia masih tenggelam dalam situasi krisis internal melalui polarisasi kuat antar partai yang saling menyikut untuk menjadi pemegang kendali negara. Selain itu, agresi dan intervensi militer dengan negara luar tak kunjung senyap dan masih mengancam kestabilan nasional. Di tengah situasi seperti ini, pesta demokrasi (dibaca pemilu) justru menemukan titik tercerahnya dalam pemilu 1955, meskipun tak bertahan lama. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi gugatan yang menghalangi pemilu lima tahun selanjutnya, lengkap dengan pembubaran partai-partai yang menjadi cikal bakal demokrasi.
Terlepas dari fluktuatifnya penyelenggaraan pemilu yang demokratis, sistim tersebut masih memegang peranan penting masa depan negara. Pemilu menjadi begitu penting karena melaluinya konsep kedaulatan rakyat yang abstrak diterjemahkan secara lebih jelas dalam laku konkret di bilik suara. Rakyat berdaulat dan berhak memilih pemimpin yang paling tepat menurut kriteria kepantasan publik. Secara otomatis, rakyatpun bertanggungjawab atas arah kebijakan publik yang dicanangkan oleh pemimpin terpilih demi perbaikan nasib rakyat.
Karena dalam pemilu, nasib negara selama lima tahun ke depan dipertaruhkan, maka hendaknya pemilihan dilakukan dengan penuh kesadaran. Rakyat diharapkan tidak sekedar memilih dari tawaran opsi yang tersedia, melainkan mempertimbangkan observasi kritis atas opsi-opsi bersangkutan. Nasib negara ditentukan pula oleh pemilih yang cerdas, bukan pemilih yang lekas.
Pemilu: Tanggung Jawab Sosial
Sebagai pesta demokrasi, pemilu dilaksanakan oleh seluruh rakyat. Di sini letak tanggungjawab sosialnya. Kesadaran untuk memberikan hak suara bagi pemimpin yang tepat adalah tanggungjawab semua warga negara tanpa terkecuali. Dengan tidak mengkhianati kebebasan individu dalam memilih, pemilu sebenarnya merupakan sebuah gerakan bersama.
Sebagai sebuah gerakan bersama untuk menentukan masa depan demokrasi selama lima tahun ke depan, ada alasan kesamaan multidimensional yang perlu mendasari inisiatif sosial ini. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia, kita disatukan oleh kesamaan-kesamaan dalam beberapa dimensi sebagaimana ditekankan oleh Notonegoro (Kaelan, 2009:187).
Pertama, dimensi kesatuan sejarah. Kedua, dimensi kesamaan nasib historis melalui kolonialisme, proklamasi, reformasi hingga mencapai wajahnya yang kontemporer. Ketiga, kesatuan budaya nasional bangsa yang terdiri atas keanekaragaman ungkapan budaya. Keempat, kesatuan wilayah geografis. Kelima, kesatuan cita-cita dan tujuan sebagaimana tertuang dalam Pancasila.
Kesamaan-kesamaan multidimensional tersebut menguatkan identitas kita sebagai satu bangsa. Dalam kesamaan identitas itu, perlu tanggungjawab sosial dari setiap elemen agar persatuan dan kemajuan bersama tetap terjaga. Secara teknis dan strategis, tanggungjawab itu diwujudkan dan salah satunya adalah melalui partisipasi dalam proses pemilu.
UUD 1945 tahun ke-II, No. 7 mencetuskan aspek “Negara Kesatuan” sebagai grand model negara Indonesia. Butir undang-undang ini secara implisit menegaskan kesetaraan dan kesederajatan lapisan-lapisan masyarakat. Untuk itu, penyelenggaraan pemilu perlu memperhatikan pemerataan hak pemilih. Berbagai golongan dan kelas sosial memiliki hak yang sama untuk memilih. Jangan sampai, kelas sosial tertentu jauh lebih diuntungkan dalam perhelatan pemilu daripada kelas sosial lain. Fenomena seperti ini sering terjadi di kalangan kelompok-kelompok marginal yang minim akses.
Pemilu sebagai tanggungjawab sosial tidak diizinkan memprioritaskan kelas-kelas tertentu. Sebagaimana yang telah digariskan dalam UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan dan bukan negara berdasarkan kelas tertentu (klass staat). Pemberian privilese kepada salah satu kelas adalah bukti nyata dari pengkhianatan UUD 1945 itu sendiri.
Proyeksi Demokrasi pada Pemilu 2024
Tak lama lagi, negara kita akan menyelenggarakan pemilu tahun 2024. Di tengah memanasnya eskalasi perseteruan politik dan isu-isu populisme, proses pemilu yang demokratis masih diharapkan untuk tetap diperjuangkan dua tahun mendatang. Di samping para pejabat publik mulai mempersiapkan paket-paket gagasan dan kebijakan kampanyenya, pemerintah juga perlu terus mencegah terciptanya atmosfer represif. Media propagandis yang cenderung menghalangi para pemilih untuk memilih dengan bebas dan bijak juga perlu diminimalisir.
Di tahun 2024, sebagian proporsi pemilih adalah kaum muda. Berhadapan dengan generasi milenial, penyelenggaraan pemilu sebaiknya menekankan aspek edukasi dan bukan propaganda semata. Mereka perlu dididik dan disiapkan untuk tidak termakan hoax yang kian hari kian bebas disajikan di media massa. Mereka juga perlu dibekali critical thinking untuk mempertimbangkan kualitas, track record dan keunggulan visi yang dimiliki oleh bakal calon pemimpin.
Mempersiapkan generasi muda dengan kualitas-kualitas yang demikian berarti mendukung penyelenggaraan demokrasi yang berkualitas di masa-masa mendatang. Kelak generasi inilah yang juga akan memegang tampuk pemerintahan negara.
Agar penyelenggaraan pemilu tahun 2024 kelak berjalan dengan efektif dan sukses, kita perlu belajar catatan sejarah pemilu tahun-tahun yang usai. Pernah terjadi beberapa tahun silam, proses pemilu diisi dengan isu-isu sensasional yang tidak substansial. Media banyak memberitakan tuduhan dan tudingan antar kandidat pemimpin. Serangan identitas pribadi mulai dari tuduhan antek PKI, tudingan karena berasal dari latar belakang agama tertentu, hingga narasi tentang penduduk bukan asli Indonesia membanjiri konsumsi pembaca media. Para pemilih terbawa dengan gosip dan melupakan diskursus yang lebih substansial, yakni terkait keunggulan dan kelemahan dari gagasan serta visi-misi yang dibawa oleh setiap pasangan calon. Bukannya menampilkan debat yang edukatif, yang ditampilkan malah perang mulut antar elit untuk menumbangkan pribadi satu sama lain.
Peran media dalam pemilu tahun 2024 kelak menjadi sebuah episentrum vital. Kini, masyarakat sudah sedemikian terintegrasi dengan teknologi informasi dan komunikasi. Semua informasi bisa didapatkan melalui layar smartphone. Di satu sisi, kita melihat kemungkinan adanya peningkatan jumlah pemilih yang kritis dengan asumsi bahwa mereka mendapatkan lebih banyak pengetahuan segar tentang performa politik para calon melalui internet.
Di sisi lain, dan yang tak kalah pentingnya, justru ada kemungkinan bahwa semakin banyak orang yang akan mudah digiring oleh media massa. Demi kepentingan komersial, media tentu bisa saja, dan ini bukan hal baru, membangun kompromi dengan pejabat publik. Kepentingan politik si pejabat difasilitasi oleh pemilik media sedangkan kualitas dan kebenaran pemberitaan diingkari.
Perkawinan kepentingan antara pihak media dan tokoh politik bukan lagi sebuah gagasan baru. Hubungan ini sudah lama terjalin sejak media-media massa berbasis internet mulai merambah semesta digital. Metode kampanye konvensional kini sudah berakulturasi erat dengan sarana-sarana teknologi informasi dan komunikasi. Tidak hanya kualitas kampanye digitalnya semakin mutakhir, melainkan pula intensitasnya semakin tinggi, beriringan dengan banjir informasi lain.
Masyarakat Indonesia lama dulu dikenal memiliki keutamaan local genius. Mereka bisa dengan amat bijak memilah dan memilih unsur-unsur eksternal yang selain tidak melenyapkan identitas kultural setempat tapi juga mendukung kemajuan masyarakat. Keutamaan ini diharapkan tetap dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia modern. Kemampuan untuk kritis memilah dan memilih dari banjir semesta informasi adalah modal yang paling utama untuk mewujudkan pemilu 2024 yang demokratis dan kritis.
Menjelang pesta demokrasi 2024, mari kita mengawal seluruh proses pemilu dengan menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggungjawab atas pilihan pribadi. Semoga demokrasi bertumbuh dengan sehat.***