Aksinews.id/Lewoleba – Kebijakan Bupati Lembata untuk melaksanakan kegiatan Eksplorasi Budaya yang semula disebut Sare Dame dengan anggaran Rp 2, 5 Milyar telah memantik polemik di tengah masyarakat Lembata. Kendati mendapat penolakan, kegiatan tersebut tetap dilanjutkan. Sehingga Polda dan Kejati NTT diminta untuk mengawasi penggunaan dana yang bersumber dari APBD II Kabupaten Lembata tahun 2022 tersebut.
Permintaan itu disampaikan Direktur Rumah Perjuangan Hukum (RPH), Rafael Ama Raya (RAR) melalui pesan WhatsApp kepada aksinews.id, Kamis (10/2/2022). Kucuran dana sebesar Rp 2,5 Miliar, menurutnya, bukan angka yang kecil bagi Kabupaten Lembata.
Ama Raya menduga kegiatan Eksplorasi Budaya yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata syarat kepentingan. “Dan, kita duga juga terdapat indikasi penyalahgunaan keuangan negara”, ujarnya.
“Program pemerintah apapun itu harus didukung oleh kita semua. Namun ketika publik melihat kebijakan pemerintah itu tidak sesuai dengan kebutuhan dasar masyarakat, maka sah-sah saja jika masyarakat mengkritik sampai ada yang menolaknya”, tandas Ama Raya,
Menurut dia, pola pembangunan sebaiknya memperhatikan kebutuhan dasar masyarakat. “Memberikan apa yang rakyat mau dengan pola bottom up (dari bawah) jangan seolah memaksakan apa yang pemerintah inginkan top down (dari atas), padahal masyarakat tidak menginginkan.”
“Jika kita lihat lebih jauh apakah kegiatan eksplorasi budaya yang digagas Bupati atas kehendak masyarakat, atau memang keinginan Bupati semata”, ungkap pengacara muda tersebut.
Dia menambahkan, “Saya kira Bupati sebaiknya mendengar juga apa yang diinginkan masyarakat, terutama masyarakat adat kita, agar dalam pelaksanaan tidak menuai halangan seperti yang diberitakan mass media”.
Menurut Ama Raya, apapun kebijakan Pemerintah haruslah mendengarkan suara-suara emas dari masyarakat yang adalah subyek pembangunan, termasuk kegiatan eksplorasi budaya yang digagas pemerintah. “Menjadi penting adalah segala program wajib hukumnya melalui mekanisme yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika tidak, maka program tersebut bisa dianggap ilegal dan berpotensi korupsi”, tandasnya.
Eksplorasi Budaya yang digagas Bupati Lembata, menurut pengacara muda ini, perlu memperhatikan konsep besar yang telah dituangkan dalam RPJMD Tahun 2017-2022. Sebab visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih untuk satu periode lima tahun telah dituangkan dalam RPJMD 2017-2022. Walaupun RPJMD tersebut masih dapat dirubah sebagaimana diatur dalam Pasal 264 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Dia juga mempertanyakan pernyataan Bupati Lembata pada konferensi pers usai launching Eksplorasi Budaya Lembata 2022 di bekas rumah jabatan Bupati Lembata, Senin, 7 Februari 2022 lalu, bahwa Lembata telah memiliki Perda Masyarakat Adat. “Apa benar Lembata telah memiliki Perda Masyarakat Adat seperti yang disampaikn Bupati Lembata? Jika pernyataan Bupati itu tidak sejalan dengan realitas, maka semakin jelas kualitas Bupati Lembata”, pungkas pengacara yang mengawali karirnya dari Kota “Gudeg” Jogjakarta ini.
Menurut Ama Raya, sejauh ini Lembata belum punya Perda Masyarakat Adat. “Tapi, jika betul Lembata telah memiliki Perda Masyarakat Adat maka itu Perda nomor berapa dan diundangkan tahun berapa?”, ungkap pengacara muda ini.
Dia menilai Bupati Lembata tidak menguasai sejumlah regulasi daerah terkait dengan masyarakat adat sehingga menyampaikan ke ruang publik sesuatu yang belum dimiliki kabupaten Lembata.(*/AN-01)