Oleh : John S. Batafor
Aktivis Taman Daun, Bluwa, Lewoleba, Lembata
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105 tahun 2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional Untuk Pemerintah Daerah, menjadi daya tarik bagi pemerintah daerah untuk mengambil kesempatan emas ini.
Demikian juga pemerintah daerah Kabupaten Lembata tidak mau ketinggalan untuk turut mengajukan pinjaman. Jumlah pinjaman yang diajukan tidak tanggung-tanggung, sebesar Rp. 225 miliar. Kabarnya, dana PEN ini akan digunakan untuk membangun infrastruktur jalan. Bahkan, rencana pinjaman PEN inipun sudah mendapatkan persetujuan DPRD Kabupaten Lembata.
Sedikit menggelitik masalah hutang, muncul pertanyaan, apakah pinjaman PEN ini sungguh vital bagi kabupaten kita, Lembata ? Apakah kita perlu berhutang? Hutang berarti harus dibayar. Hutang sebesar Rp 225 miliar dengan bunga pinjaman 6,19%, harus diangsur Rp 32 miliar per tahun. Lamanya angsuran 8 tahun. Tentu saja tidak ringan.
Benar, bahwa pinjaman daerah bisa dipakai sebagai salah satu instrumen sumber pembiayaan alternatif, terutama bagi daerah-daerah yang kemampuan keuangannya terbatas. Apalagi akibat pandemi Covid-19 ini, diharapkan pinjaman PEN bisa dipakai untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
Pemberian pinjaman PEN daerah oleh pemerintah pusat adalah untuk dapat memberi manfaat yang besar terutama adanya pembangunan infrastruktur, seperti infrastuktur sosial (rumah sakit, puskemas, fasilitas kesehatan) dan infrastruktur logistik (jalan/jembatan provinsi dan kabupaten atau kota), pembangunan perumahan masyarakat penghasilan rendah, penataan kawasan khusus (alun-alun, destinasi wisata, creative center), serta infrastruktur lingkungan (irigasi dan drainase).
Maksud pengadaan pinjaman PEN daerah ini memang bagus. Namun bagi kabupaten kita, apakah pinjaman ini sungguh diperlukan dan sangat vital? Apakah manfaat pinjaman PEN akan sungguh terasa manfaatnya secara nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari? Apakah dana Rp 225 miliar ini hanya untuk membangun infrastruktur jalan saja, sementara sektor-sektor lainnya terutama infrastruktur lingkungan (sarana air minum, irigasi pertanian dan perkebunan) dan terutama masalah perumahan yang jauh lebih buruk daripada infrastruktur jalan hampir tidak tersentuh.
Lembata sebagai daerah otonom, otonom berarti daerah harus mandiri dan berdaya dalam mengurus urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah. Prinsip otonomi yang bertanggung-jawab adalah otonomi yang penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan untuk memberdayakan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ini berarti kita harus mampu hidup sendiri tanpa bergantung pada pihak lain atau mental enak. Dengan prinsip otonomi ini maka seharusnya Lembata bisa mengelola pemerintahannya sendiri tanpa banyak tergantung pada hutang. Sumber daya manusia dan alam kita berlimpah. Maka adalah semua kegagalan jika kita memulai sesuatu dengan hutang.
Hal yang perlu kita sadari juga bahwa ketika kita tidak mampu meminimalisir alokasi anggaran dari pusat termasuk berutang maka kita turut menambah utang negara atau membebani negara. Oleh karenanya lebih bagus dan bijak jika kita mengelola sumber daya alam kita, dan menjadi daerah atau kabupaten yang produktif sehingga kita mampu menjadi kabupaten yang turut berkontribusi mengurangi beban negara.
Menilik lebih dalam lagi, dengan dana APBD yang tahun ini diperkirakan sekitar Rp 900 miliar seharusnya sudah sejak dulu APBD secara bertahap dipakai untuk membangun sarana jalan, transportasi, ekonomi, fasilitas-fasilitas layanan masyarakat seperti rumah sakit, puskemas, sekolah dan perumahan untuk masyarakat kurang mampu. Dengan mata telanjang kita bisa lihat dana APBD saja masih sulit terwujud nyata untuk membangun daerah kita. Jangankan untuk sarana-sarana mahal, bahkan dana APBD untuk pembagian jatah beras dan sarana air minum pun belum bisa dinikmati masyarakat kurang mampu secara merata. Bila pembayaran pinjaman PEN sebanyak Rp 32 miliar per tahun adalah dengan memakai dana APBD tahunan, maka menjadi sangat tidak logis.
APBD 2021 Kabupaten Lembata, rencana Pendapatan Daerah tahun 2021 adalah sebesar Rp 876 milliar sedangkan Belanja daerah sebesar Rp 905 milliar. Ini berarti APBD defisit sebesar Rp 29 milliar. Dengan pembayaran pinjaman PEN sebesar 32 milliar, maka defisit APBD kita pun menjadi semakin besar. Lalu bagaimana pembiayaan sektor-sektor lainnya dalam jangka waktu 8 tahun mendatang? APBD yang seharusnya bisa dipakai untuk pembangunan Lembata, malah akan menjadi semakin berkurang karena dipakai untuk membayar hutang. Bukankah kita malah akan semakin terpuruk?
Ada masalah yang lebih penting lagi saat ini, yaitu masalah menanggulangi perubahan iklim dimana dalam ukuran skala global, saat ini semua sedang berjuang keras untuk mengurangi emisi karbon yang menjadi salah satu faktor utama dalam perubahan iklim dunia yang semakin buruk.
Para tokoh dunia pun sedang sibuk berupaya untuk mengurangi emisi karbon untuk menjadi “net zero emission” pada tahun 2050. Harus disadari bahwa masalah ini adalah masalah yang sangat serius yang menjadi masalah paling menghancurkan yang pernah dihadapi umat manusia dan waktu terus berjalan.
Nah, apakah di tengah global issue lingkungan ini, kabupaten kita ikut mendukung pembangunan daerah dengan sistem ramah lingkungan atau malah kita di daerah sendiri melawan dan merusak bumi dengan memakai 100% anggaran itu untuk infrastruktur. Bila standar kemajuan sebuah daerah yang ditentukan oleh pemerintah dan kebanyakan orang hanya memakai standar yang tidak ramah lingkungan atau merusak bumi, contoh rumah harus tembok, gedung-gedung harus tembok, sanitasi air, jalan, transportasi, dan sebagainya, ini malah merusak bumi. Padahal sumber alam kita sudah sangat baik. Orientasi pola pikir seperti ini perlu diluruskan.
Pembangunan daerah yang baik haruslah diawali dengan tata kelola yang baik dimana segala implementasi kebijakan dan implementasi kegiatan-kegiatan pembangunan daerah bukan hanya harus jujur, transpransi dan bertanggungjawab, namun juga harus memakai sumber daya yang ramah lingkungan dan mengurangsi emissi karbon.
Perlu dipikirkan lebih jauh lagi bahwa pinjaman PEN daerah harus lebih transparansi dan memperhitungan faktor-faktor resikonya. Bila dalam kurun waktu 8 tahun pemerintah daerah mangkir dalam pembayaran, lalu siapa yang akan mewarisi beban hutang ini. Bila proyek-proyek yang dibangun dengan pinjaman PEN ini pun hanya menjadi proyek setengah jalan yang tiada kunjung selesai, atau kwalitas yang tidak bertahan lama (tidak sampai 8 tahun, jalan yang dibangun dari PEN sudah rusak) maka akhirnya tidak hanya akan merusak alam tapi juga mengorbankan generasi berikutnya.
Seperti yang sering kita dengar pada akhirnya anak cucu kitalah yang akan menanggung hutang-hutang negara. Begitu juga dengan Lembata, jangan sampai hutang-hutang Lembata dan alam yang rusak menjadi warisan bagi anak cucu kita kelak. Saya pribadi merasa bahagia sebagai daerah tertinggal saat ini dengan segala kesederhanaan dan ketertinggalan kita. Dengan berpatok pada standar fisik kemajuan suatu daerah yang sering dipakai, maka sudah saatnya kita sebagai daerah tertinggal harus berbangga karena sudah kontribusi besar untuk keselamatan bumi akibat belum banyak bangunan modern, minim transportasi, makanan lokal masih banyak, pola hidup lokal, mayoritas pekerjaan dan lain sebagainya.(*)