Aksinews.id/Jakarta – Keluarnya larangan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri bagi kepala daerah asal PDIP mengikuti retret dinilai sebagai tandas memanasnya hubungan Presiden Prabowo Subianto dengan Megawati. Hal ini dikuatirkan menimbulkan kerenggangan hubungan antara pusat dan daerah.
Retret yang sedianya mulai digelar hari ini, Jumat (21/2/2025) sampai Jumat (28/2/2025) pekan depan. Sejumlah kepala daerah yang berasal dari PDI Perjuangan masih belum bergerak ke Magelang, karena masih menunggu arahan lebih lanjut dari Megawati.
Maklum saja, dalam instruksi tertulisnya, Megawati menyatakan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk menunda perjalanan yang akan mengikuti retret di Magelang pada tanggal 21-28 Februari 2025. Sekiranya telah dalam perjalanan menuju Kota Magelang untuk berhenti dan menunggu arahan lebih lanjut dari Ketua Umum”.
Pengamat politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menduga Presiden Prabowo Subianto sudah mengetahui sikap Megawati itu sebelum suratnya beredar. Menurut Umam, hal itu terlihat dari pidato Prabowo saat pelantikan 481 pasangan kepala daerah serentak di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin, Kamis (20/2/2025).
Ada satu kalimat yang bagi Umam merupakan kode keras Prabowo. “Di Magelang saya akan jumpa saudara di situ dan mudah-mudahan saudara akan kuat gembleng, yang ragu-ragu boleh mundur,” kata Prabowo saat pidato pelantikan.
Menurut Umam, potongan kalimat, “Yang ragu-ragu boleh mundur,” memiliki dampak politik. Pertama, pernyataan tersebut dapat diartikan sebagai sikap khas Prabowo sebagai mantan prajurit TNI yang dikenal dengan ketegasannya.
“Terkait dengan seruan yang memiliki dampak politik terutama yang terkait dengan statement beliau, ‘Kalau ragu mendingan kembali’, memang itu ada jargon dalam konteks tradisi militer,” kata Umam di program Sapa Indonesia Pagi, Kompas TV, Jumat (21/2/2025).
Di sisi lain, Umam juga membaca pidato Prabowo itu sebagai kode keras kepada para kepala daerah dari PDIP. Sebab, hanya beberapa jam setelahnya, PDIP menerbitkan surat untuk menahan para kadernya yang baru dilantik jadi kepala daerah oleh Presiden Prabowo untuk menahan keberangkatan menuju Retret Kepala Daerah di Magelang.
“Tetapi pada saat yang sama barangkali juga presiden sudah mendapat informasi bahwa ada salah satu partai politik yang kemudian bersiap mengeluarkan kebijakan arahan, instruksi untuk tidak mengikuti agenda retret di Magelang,” ungkapnya.
Umam membaca sikap keras PDIP terhadap pemerintah pusat ini tidak bisa dilepaskan dari ditahannya Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, oleh KPK, yang juga hanya beberapa jam setelah pelantikan kepala daerah serentak. Hasto ditahan karena menjadi tersangka kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan.
“Kalau surat yang dirilis dari PDIP yang menginstruksikan 126 kepala daerahnya menunggu instruksi, bahkan untuk berhenti lebih dulu, bagi mereka yang dalam perjalanan retret menuju Magelang, tentu ini harus dibaca sebagai sebuah manuver politik, dan besar kemungkinan terkait dinamika politik nasional, terutama terkait apa yang dihadapi Sekjen PDIP, Mas Hasto, dalam konteks agenda penegakkan hukum,” paparnya.
Imbas Pembangkangan
Umam menambahkan, jika instruksi Megawati dijalankan dan meningkat menjadi larangan mengikuti retret, maka yang terjadi adalah pembangkangan. Koordinasi 126 kepala daerah dari PDIP, termasuk Gubernur Jakarta Pramono Anung, dengan pemerintah pusat akan mengkhawatirkan.
“Ini menjadi sebuah catatan karena bagaimanapun juga pola koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah itu akan menentukan tata kelola pemerintahan daerah yang baik,” tandasnya.
“Kalau misal kemudian ada skema pembangkangan secara politik untuk kemudian tidak bersinergi, berkolaborasi dengan pemerintah pusat, maka itu tetu akan berdampak serius bagaimana kinerja pemerintah daerah ke depan,” papar Umam.
Sebagai akademisi, Umam berharap PDIP bisa mengerti kebutuhan akan koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Ya, “Saya berharap teman-teman di PDIP bisa memahami situasi dengan baik terkait pola relasi yang seimbang dan produktif terkait pemerintah pusat dan daerah.”
“Kalau kemudian keduanya mengalami disconnected disenganged saya pikir itu tidak begitu produktif bagi hadirnya local good governance,” pungkasnya. (*/AN-01)