Aksinews.id/Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil Anti Human Trafficking menyambut gembira penegasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menghimbau negara-negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN untuk bekerjasama menanggulangi masalah perdagangan orang (human trafficking).
Presiden Jokowi menyampaikan hal itu di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Senin (8/5/2023) lalu. Bahkan, Presiden Jokowi menegaskan komitmennya untuk memberantas tuntas perdagangan orang dari hulu hingga ke hilir.
Ketua Tim Lobi dan Advokasi untuk Perubahan Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dari Zero Human Trafficking Network, Gabriel Goa dan Ketua Inisiasi Masyarakat Sipil untuk Anti Human Trafficking & Drug Trafficking sekaligus Direktur Women Working Group (WWG), Nukila Evanty telah melakukan pertemuan dengan Badan Keahlian DPR RI yang disambut hangat Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul, Jumat (12/5/2023).
Gabriel Goa menyebutkan bahwa human trafficking sesungguhnya bukan isu baru di negara-negara ASEAN. Ya, “Isu human trafficking ini bukan isu baru di negara ASEAN apalagi buat Indonesia sendiri. Karena maraknya kasus-kasus yang menyasar terutama pekerja migran baik yang melalui jalur unprosedural (tidak sesuai prosedur resmi, tanpa kelengkapan dokumen), juga Indonesia berada pada kategori darurat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO),” tandasnya.
“Coba kita lihat saja laporan US Embassy 2022 on Trafficking in Persons Report, Indonesia masuk kategori Tier 2 Watch List. Artinya, pemerintah tidak memenuhi standar minimal untuk pemberantasan perdagangan orang tetapi juga telah berusaha secara sungguh-sungguh,” papar Gabriel Goa.
Belum lagi, sambung dia, sudah ada Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. “Gugus Tugas ini mandul dan tak berfungsi baik, anggarannya pun tak tepat sasaran serta lembaga-lembaga donor/lembaga pembangunan lainnya sering tak tepat sasaran juga dalam melakukan penguatan kapasitas kepada penegak hukum,” urai Gabriel Goa.
Menurut dia, lembaga-lembaga yang ada lebih banyak project based dan tak pernah sungguh-sungguh melihat dari berbagai perspektif. “Ada ASEAN ACT yang di belakangnya Australia dan IOM dan sebagainya, terlalu banyak modul yang mereka hasilkan hanya sekedar di atas meja, tak berdampak, dan pelatihan-pelatihan yang tak tepat sasaran, membuang banyak uang dan energi yang seharusnya bisa lebih bermanfaat untuk pemberantasan perdagangan orang. Nah hal-hal inilah yang perlu menjadi perhatian kedepan,” tegas Gabriel Goa.
Sementara Nukila Evanty menyebutkan bahwa modus operandi perdagangan orang ini sudah sangat beragamnya. “Sindikat kejahatan ini selalu sulit dibawa ke ranah hukum terutama master mindnya, korban-korban terutama perempuan lemah untuk melakukan self-prevention dan selalu luput untuk diselamatkan. Bahkan ketika mereka sudah dipulangkan ke kampung halaman, korban perempuan dilupakan, padahal mereka perlu konseling untuk kesehatan mental dari trauma yang telah mereka alami,” papar dia.
Menurut Nukila, dalam penegakan hukum perlu update tentang modus eksploitasi seksual yang sudah sedemikian beragamnya seperti melalui prostitusi online dan merajalelanya pedofilia. “Bisnis dan perusahaan yang mencari pekerja murah melalui perusahaan perekrut tenaga kerja yang akhirnya pekerja migran kita tersebut bekerja pada tempat-tempat kasar dengan upah yang sangat rendah, seperti di sektor perkebunan, pekerja rumah tangga dan pekerja di sektor kemaritiman dan perikanan, bahkan menyasar mereka yang masih berusia anak-anak (child labour),” ungkap Nukila Evanty.
Dia memaparkan pula bahwa sindikat kejahatan yang terorganisir ini atau organised crimes malah saat ini menggunakan jaringan keluarga seperti keluarga terdekat dan teman-teman korban untuk melakukan perekrutan dan social media. “Belum lagi faktor-faktor pendorong lainnya seperti maraknya bisnis narkotika yang beririsan dengan human trafficking, banyak pekerja migran kita dimanfaatkan untuk membawa narkotika (sebagai kurir); kemiskinan yang mendera; budaya patriarki misalnya pernikahan dini dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang banyak mendorong perempuan dan anak perempuan untuk terjebak dalam misalnya child brides atau mail order brides,” ujar Nukila.
Oleh karenanya, Nukila mengusulkan perlunya menggelar kegiatan kolaboratif. Ya, “Perlu kiranya dibentuk segera kegiatan-kegiatan yang bersifat kolaborasi dan dilakukan tepat sasaran sehingga paling tidak mengurangi angka dan jumlah korban Tindak Pidana Perdagangan Orang ini dan perlunya pemahaman bahwa isu ini multidimensi,” tandasnya.
DPR mempunyai tiga (3) fungsi utama sebagai pembuat Undang-Undang, pengawas kerja-kerja pemerintah dan penentu anggaran. “Sehingga menjadi sangat significant untuk kerja pemberantasan perdagangan orang ini,” ujarnya, berharap. (AN-01)