Oleh : Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin, M. Pd. C.PIM
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa βNegara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.”
Insiden yang melibatkan seorang anak berusia dibawah umur yang diarak-arakan tanpa busana keliling desa ditangkap karena diduga melakukan pencurian berfungsi sebagai ilustrasi nyata pembunuhan karakter, yang menimbulkan trauma psikologis dan berdampak buruk pada lintasan perkembangan anak. Tindakan semacam itu oleh masyarakat tidak hanya melanggar undang-undang hukum dan melanggar hak asasi manusia tetapi juga mengungkapkan pemahaman yang dangkal tentang perkembangan psikologis anak dan konsekuensi abadi dari tindakan hukuman yang berat dan tidak manusiawi.
Dalam perspektif hukum menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan diartikulasikan sebagai komponen pelanggaran berat hak asasi manusia. Ketentuan hukum ini berkaitan dengan tindakan yang dilakukan sebagai segmen serangan ekstensif berupa penyiksaan dan penganiayaan terhadap individu secara paksa. Tindakan ini diklasifikasikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat berat karena pelanggarannya terhadap prinsip-prinsip dasar manusia.
Pasal 9 undang-undang ini menggambarkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan mencakup berbagai tindakan tidak manusiawi. Undang-undang No. 26 tahun 2000 juga berfungsi untuk menetapkan kerangka hukum untuk pengadilan khusus yang bertugas untuk penuntutan individu yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, terlepas dari apakah individu tersebut bertindak sendiri atau sebagai bagian dari entitas yang bertanggung jawab secara struktural.
Dari perspektif psikologi perkembangan, anak berusia dibawah umur tetap dalam fase embrio pematangan kognitif dan moral. Perkembangan neurologis mereka sedang berlangsung, terutama yang melibatkan korteks prefrontal, yang merupakan bagian integral dari pengambilan keputusan, regulasi impuls, dan perencanaan strategis. Tindakan pencurian yang dilakukan oleh anak mungkin berasal dari motivasi impulsif, kekurangan dalam memahami dampak dari tindakan mereka, atau bahkan kondisi lingkungan yang menindas seperti perampasan sosial ekonomi atau pengawasan orang tua yang tidak memadai. Alih-alih menawarkan empati dan bimbingan, respons masyarakat memperburuk kesulitan yang ada.
Tindakan hukuman dengan mengarak-arak dalam keadaan menanggalkan pakaian merupakan bentuk penghinaan dan siksaan psikologis yang sangat keras. Hal ini dapat menimbulkan perasaan malu yang mendalam, penurunan harga diri (karakter), trauma emosional, dan keadaan depresi dalam diri anak. Pengalaman yang dihasilkan dapat menimbulkan bekas luka psikologis abadi yang sulit untuk diperbaiki dan dapat mempengaruhi evolusi kepribadian anak di tahun-tahun berikutnya. Anak mungkin menghadapi hambatan dalam interaksi sosial, pemberdayaan kepercayaan diri, dan pembentukan koneksi interpersonal yang sehat. Selain itu, ada risiko tinggi mengembangkan gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Selain itu, tanggapan komunal ini menyoroti kurangnya pemahaman mendasar mengenai prinsip-prinsip keadilan restoratif. Alih-alih menekankan pemulihan dan rehabilitasi anak, masyarakat menggunakan metode yang merusak dan merugikan martabat manusia. Pendekatan semacam itu tidak hanya gagal memberikan pengaruh pencegah tetapi juga dapat memicu siklus kekerasan dan perilaku kriminal. Seorang anak yang telah mengalami trauma dan rasa malu di depan umum mungkin menjadi semakin rentan untuk terlibat dalam tindakan nakal di masa depan sebagai manifestasi pembalasan atau sebagai konsekuensi dari bahaya psikologis yang dialami.
Perilaku anak berusia dibawah umur yang ditangkap karena dugaann melakukan pencurian merupakan tindakan yang tidak dapat dipertahankan secara hukum dan etis tetapi juga sangat merugikan dari sudut pandang psikologis. Perilaku ini melambangkan bentuk pembunuhan karakter, memiliki potensi untuk menimbulkan trauma psikologis yang panjang dan menghambat kemajuan perkembangan anak. Sangat penting bagi masyarakat untuk menyadari pentingnya mengadopsi pendekatan yang lebih penuh kasih sayang dan restoratif dalam menangani kasus-kasus seperti itu, memprioritaskan rehabilitasi dan pemulihan anak daripada kecaman yang menghukum dan tidak manusiawi. Pendidikan dan pencerahan publik mengenai perkembangan psikologis anak dan hak asasi manusia sangat penting dalam mencegah insiden serupa di masa depan.
Catatan akhir:
Insiden penghinaan publik atas tuduhan pencurian menggambarkan bentuk kecaman sosial tanpa proses hukum formal. Tindakan ini erat kaitannya dengan pembunuhan karakter, bertujuan merusak reputasi individu melalui stigma negatif tanpa bukti yang kredibel. Penghinaan publik berfungsi sebagai alat untuk regulasi sosial, mengendalikan perilaku individu sambil menodai reputasi mereka. Fenomena ini mencerminkan strategi yang lebih luas dalam konteks sosiokultural, di mana pembunuhan karakter digunakan untuk dominasi ideologis dan pengendalian sosial terhadap individu maupun kelompok tertentu. (*)
Biodata Penulis:
Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin. Lahir di Ende, 27 April 1970, merupakan ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata, Provinsi NTT, saat ini sebagai Pengawas Sekolah Tingkat Menengah. Menyelesaikan studi S1 Fakultas Tarbiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Kupang Tahun 1995, menyelesaikan studi S2 Magister Pendikan Agama Islam di Univesitas Muhammadiyah Malang Tahun 2025. Selain memperoleh gelar akademik, penulis pun memperoleh gelar non akademik Certified Planning and Inventory Management (CPIM). Penulis saat ini sedang merintis Taman Baca Savana Iqra (TBSIq), selain itu bergabung dalam βKomunitas Penulis Lembataβ juga sebagai βPenakar Literasiβ. Penulis juga menulis opini/headline di beberapa media online, penulis dapat ditemui di akun Facebook @RifaiAprian, IG @Rifai_mukin