Oleh: Defri Ngo
Tenaga Pengajar di SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba
Prolog
Tulisan saya berjudul “Komodifikasi Seni dan Jalan Terjal Estetika” (Catatan Lepas atas Kegiatan Bara Suara, Seni, dan Kreasi Siswa oleh SMAS Frater Don Bosco) memantik perdebatan publik. Tak terkecuali pegiat seni, beberapa guru dan tenaga pendidik di SMAS Frater Don Bosco juga merasa terganggu, selebihnya terkesan alergi terhadap tulisan tersebut.
Beberapa memilih untuk berceloteh lewat beranda Facebook dan cerita WhatsApp tanpa ada kritik balik yang substansial terhadap isi tulisan saya.
Sebagai orang yang sedang belajar membangun diskursus, saya memahami kenyataan tersebut sebagai bagian dari lemahnya iklim dialektis di tengah masyarakat. Orang-orang kita lebih terbiasa dengan gosipdibanding membaca dan menulis. Akibatnya, tulisan yang bernas sekalipun akan luput dari tilikan pembaca.
Saya tidak tertarik membalas celotehan mereka, tetapi sebaliknya berusaha fokus pada ulasan Adrian Naur, seorang pegawai di SMAS Frater Don Bosco. Namun, sebelum saya memberikan tanggapan balik, saya perlu menjelaskan kembali duduk persoalan yang melatari lahirnya tulisan pertama. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca memiliki pemahaman yang benar terkait substansi perdebatan yang kami bangun.
Duduk Persoalan
Saya memulai ulasan saya pada tulisan yang pertama dengan membahas judul kegiatan yang ditawarkan oleh panitia. Selaku penyelenggara, pihak SMAS Frater Don Bosco memberi judul “Bara Suara, Seni dan Kreativitas Siswa” untuk seluruh jenis mata acara yang ditampilkan oleh para peserta didik. Di dalamnya terangkum tiga bentuk acara, antara lain pentas seni, pameran kewirausahaan dan gelar karya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5).
Adapun maksud utama penyelenggaraan kegiatan ditunjukkan untuk menyukseskan ujian akhir bagi para peserta didik kelas XII. Mereka dilatih untuk menerapkan keterampilan dan kreativitasnya sendiri terhadap objek yang telah dipelajari selama berada di kelas. Teori yang abstrak perlu diperjelas dalam aksi nyata, sebab dengan demikian ilmu dapat hidup di tengah masyarakat. Orientasi demikian dapat juga dipahami sebagai upaya menghidupi iklim akademis yang kerap membosankan bagi para siswa. Ilmu harus dipraktikan, sebab hanya dengan cara demikian ia mampu berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Kesadaran tentang pentingnya implementasi ilmu mendesak panitia untuk mengkonsepsi sebuah bentuk kegiatan yang menggabungkan unsur seni, kewirausahaan dan kreativitas peserta didik sesuai dengan tuntutan P-5. Ketiga jenis acara dibuat pada waktu dan tempat yang sama.
Beginilah sketsa ruang yang diolah panitia: bagian depan aula menjadi tempat pementasan seni. Para peserta didik menyanyi, menari dan memainkan teater. Sedangkan pada bagian kiri dan kanan aula terdapat sekelompok siswa sibuk menjajakan kuliner dan hasil lukisan.
Dan terakhir, bagian belakang aula disesaki sekelompok siswa yang aktif menawarkan jasa sewa foto. Para undangan yang hadir dapat dengan leluasa memilih jenis acara yang mau ditonton. Ia bisa saja menyaksikan pertunjukan teater, tetapi tiba-tiba bangun untuk membeli kuliner. Lain lagi, ia dapat berjalan dengan leluasa menuju stand foto dan teringat bahwa terdapat lukisan menarik dan harus dibeli untuk dibawa pulang ke rumah.
Secara sepintas, suasana kegiatan didalam aula menjadi semacam bazzar. Orang ramai berkerumun, berteriak, bahkan berlari untuk memenuhi lokasi acara yang disukai. Tidak berhenti di situ. Ketiadaan sarana pendukung seperti pengeras suara untuk beberapa lakon teater dan lighting untuk pameran lukisan memperburuk situasi. Hadirin sulit berkonsentrasi pada satu mata acara tertentu karena pikirannya terbagi: antara mau menyaksikan teater atau justru memilih berfoto ria pada stand yang disiapkan oleh panitia.
Dalam tulisan pertama, saya menyebut bahwa ketiadaan sarana pendukung dapat menyebabkan hilangnya fokus pada jenis acara yang ditampilkan oleh peserta didik. Lebih jauh, usaha menggabungkan seni dengan aktivitas kewirausahaan lain justru berdampak pada pemaknaan yang keliru terkait esensi masing-masing acara, berikut mereduksi nilainya yang otentik. Boleh jadi, hadirin akan menilai bahwa teater memiliki “nilai jual” yang setara dengan kuliner, jasa sewa foto dan pameran galeri.
Dengan mencermati konteks-konteks di atas, saya lalu menyebutkan munculnya mekanisme komodifikasi seni. Adorno (1903-1969) mendefinisikan komodifikasi seni sebagai upaya untuk “mengobjekkan” seni seolah-olah ia menjadi seperti benda. Komodifikasi memiliki arti yang setara dengan “reifikasi” (Versachlicung) yaitu aktivitas mengobjekkan sesuatu seolah-olah mereka mempunyai eksistensi dan kemampuan manusiawi padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian (Sungkar, 2022:43).
Konsep tentang komodifikasi seni lahir dari pengamatan Adorno terhadap perubahan cara pandang manusia dalam memperlakukan seni. Orang tidak lagi menjadikan seni per se seni, tetapi menggunakannya sebagai alat untuk memuaskan libido masyarakat akan hiburan. Seni yang semula menutut kepekaan rasa berpindah fungsi sebagai aktivitas yang menuntut pemaknaan. Seni terakumulasi oleh kepentingan sekelompok orang yang bermaksud meraup pujian dan keuntungan ekonomis-sosial.
Konsep komodifikasi seni Adorno memiliki dampak luas. Orang boleh jadi sulit memahami esensi seni karena disejajarkan dengan urusan dagang. Seni layaknya kuliner yang dapat seenaknya dipilih, dibeli dan disantap untuk memenuhi kebutuhan biologis individu. Pemaknaan terhadap esensi seni raib seturut proses reduksi terhadapnya. Demikian dampak pertama yang saya sebutkan dalam tulisan saya.
Lebih lanjut, dampak kedua dari mekanisme komodifikasi seni berimbas pada matinya kreativitas peserta didik. Mereka tidak lagi menciptakan suatu karya dengan kebebasan imajinasi, tetapi tunduk pada pakem yang ditentukan oleh orang lain. Model pementasan, misalnya harus mengikuti mandat koordinator tanpa adanya suatu proses belajar bersama. Naskah sebagai salah satu unsur kunci dalam teater juga mengikuti pilihan koordinator meski itu adalah milik orang lain.
Gejala komodifikasi seni akan menghantar kita pada jalan terjal untuk memahami estetika. Seni kelak hanya menjadi “ruang kosong” yang dapat ditunggangi untuk memuaskan kepentingan-kepentingan sesaat.
Naur: Filsuf atau Sofis?
Naur menanggapi catatan saya dengan sangat bombastis. Ia memberi judul “Membaca Teks dalam Konteks yang Lebih Luas”, meski kemudian terjebak pula pada ide yang muluk-muluk dan cenderung menyerang ke pribadi (ad hominem). Tak puas menyerang saya, Naur juga menyinggung nama baik institusi tempat saya mengajar. Saya mengerti disposisi batinnya yang merasa terusik dengan catatan saya. Namun, saya memilih abai.
Bagi saya, hal terpenting yang perlu dipahami bahwa catatan saya tidak bermaksud sama sekali untuk menyinggung institusi. Saya menyoal bangunan konseptual yang dirancang panitia dalam kegiatan “Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa”.
Sebagai orang yang pernah belajar filsafat, Naur seharusnya menggiring saya untuk terlibat dalam perdebatan teoritis-epistemologis dan bukan sebaliknya menjerumuskan saya pada penilaian sentimentil yang terkesan kekanak-kanakan. Filsafat mengajarkan kita untuk terbuka membangun dialektika guna merumuskan sebuah konsesus. Naur tentu tahu tentang itu meski ia memilih menjadi Sofis.
Istilah Sofis dalam tradisi filsafat menunjuk pada sekelompok orang yang menggunakan argumen yang muluk-muluk dan cenderung menyesatkan para pendengar. Sofis menjadi lawan dari philosophia yang bermakna “cinta kebenaran”. Jika filsafat berupaya menggiring pembicara pada upaya mencari kebenaran, Sofis justru berjalan terbalik. Ia mengurung orang pada ide-ide yang sempit.
Ikthiar kaum Sofis hanya satu, yaitu ingin meraup pujian dari banyak orang. Pujian akan mengangkat statusnya dalam masyarakat. Ia akan dihormati, tetapi sebaliknya masyarakat tetap hidup dalam kesadaran palsu tentang kebenaran. Socrates (470-399 SM) menjadi filsuf yang menentang ajaran kaum Sofis (Adlin, 2016:23). Baginya, orientasi filsafat hanya satu yakni pencarian terhadap kebenaran yang memerdekakan manusia. Individu harus membebaskan dirinya dari segala bentuk kepentingan sesaat.
Dengan penggambaran tentang riwayat Sofis, kita diajak untuk melihat secara bertahap bentuk penilaian Naur terhadap tulisan saya. Naur membagi tulisannya dalam empat bagian besar. Bagian pertama adalah pengantar yang berisi pujian singkat dan penggambaran seadanya terkait posisi SMAS Frater Don Bosco Lewoleba. Ia dengan gagah menulis, “Sekolah Menengah Atas Swasta (SMAS) Frater Don Bosco (SMATER) Lewoleba adalah lembaga swasta yang pada usianya yang baru ke-11 tahun sudah mendulang berbagai prestasi akademik dan non-akademik di Kabupaten Lembata (https://aksinews.id/2023/04/04/membaca-teks-dalam-konteks-yang-lebih-luas/).”
Sebagai pembaca yang dilatih serius menyusun kalimat, pernyataan Naur pada kalimat pembuka, bagi saya tidak efektif dan efisien. Ia seharusnya bisa menyusun dengan lebih sederhana, sebagai misal “Sekolah Menengah Atas Swasta (SMAS) Frater Don Bosco adalah sebuah lembaga persekolahan swasta. Pada usianya yang ke-11 tahun, lembaga tersebut sudah mendulang berbagai prestasi akademik dan non-akademik di Kabupaten Lembata.” Saya tidak mengerti alasan mendasar Naur memulai tanggapannya dengan kalimat tersebut. Apakah hendak memperkenalkan kehebatan SMAS Don Bosco? Atau justru menunjukkan ketidakmampuannya dalam memulai tanggaapan?
Pada bagian yang sama, ia juga menjelaskan tentang kesan para penonton setelah kegiatan. Ia dengan sangat yakin menyebutkan bahwa para penonton puas dengan kegiatan tersebut. Puas dalam maksud Naur berarti “terhibur dan menangis”.
Bagi saya, penilaian Naur terhadap kesan penonton terlalu tergesa-gesa dan bukan pada tempatnya. Sebagai penyelenggara, urusan “puas tak puas”, “suka tak suka”, “hebat tak hebat” bukanlah urusan Naur. Lebih lagi, ia tidak memiliki data kuantitatif yang jelas objektif terkait kesan para penonton. Boleh jadi, kesan puas hanya bersumber dari dirinya sendiri atau satu kelompok kecil penonton. Poin saya adalah bahwa persoalan kesan yang ditangkap penonton bukanlah wilayah yang terlampau urgen bagi Naur. Ia cukup berdiam diri sembari tetap melakukan evalusi internal dengan para peserta didik yang tampil dalam kegiatan. Kesan Naur dalam catatan pembuka ditutup dengan menghadirkan tulisan saya yang baginya “mengabaikan sisi lain dari kesenian”.
Dengan menampilkan judul tulisan saya, Naur lantas menjelaskan terlebih dahulu inisiatif di balik kegiatan “Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa”. Bagian kedua ini dibuatnya dengan judul yang sedikit berbeda “Bara Suara dan Kreasi Siswa”. Ia lupa bahwa ada istilah seni yang menjadi judul lengkap kegiatan tersebut. Di sini, Naur mulai menjelaskan maksud utama pemilihan judul kegiatan. Ia menulis, “bara suara dipilih karena teks dan konteks pementasan yang mengangkat isu-isu kemanusiaan yang dekat dengan kondisi riil kehidupan para pelajar saat ini”. Istilah “bara suara”, dengan demikian dimaknai sebagai upaya untuk menyuarakan kritik terhadap konteks hidup sosial masyarakat.
Lebih lanjut, “tema kreasi siswa yang didiskusikan merujuk pada kreativitas siswa yang tercermin dalam pelaksanaan P-5 yang sudah dimulai dari awal tahun ajaran baru 2022/2023”. Naur menutup bagian kedua dengan mengajukan kemarahan dan ketidakpuasannya terhadap tulisan saya: “apa yang salah dari pementasan yang berlangsung sukses dan khidmat itu? Mengapa Defri Ngo melayangkan kritik terhadap pementasan yang menggabungkan antara unsur pementasan teater dan pergelaran karya itu?”
Naur begitu naif. Ia mempertanyakan sesuatu yang sesungguhnya diperlukan dalam dialektika pengatahuan. Alih-alih merasa geram dengan saya, ia justru abai terhadap pentingnya kritik. Ia menjadi seperti bebek yang terbang jauh di ketinggian, tapi kemudian takut kalau suatu saat angin datang dan membuatnya terjatuh. Saya kemudian berpikir, bagaimana mungkin dalam kepala seorang tenaga pendidik masih terdapat penolakan terhadap kritik? Lalu, mengapa Naur menginterogasi kebebasan saya dalam memberikan tanggapan terhadap sebuah kegiatan? Interogasi yang dilayangkan Naur dalam pertanyaan kedua sama sekali tidak menggambarkan jati dirinya sebagai tenaga pendidik. Ia seharusnya mengerti bahwa kritik tak selalu tentang sesuatu yang buruk. Kritik memiliki nilai positif untuk perubahan cara pandang dan orientasi individu dalam melakukan sebuah kegiatan. Dengan mengajukkan dua pertanyaan sentimental itu, Naur kemudian membuka pembahasan baru.
Seluruh narasi dalam bagian ketiga berisi enam catatan Naur terhadap tulisan saya yang dinilainya “cacat”. Pertama, cacat filosofis. Menurut Naur, cacat filosofis berhubungan erat dengan keengganan saya untuk bertanya kepada panitia perihal konsep kegiatan. Ia menyayangkan sikap saya yang terburu-buru dalam memberikan penilaian tanpa ada proses kajian ilmiah yang jelas.
Bagi Naur, malam itu saya “salah konteks”. Ia lupa kalau sebagai penonton, saya juga memiliki kebebasan untuk memberikan tanggapan terhadap sebuah lakon. Aktivitas berkesenian secara umum membenarkan pentingnya kedudukan penonton (pembaca karya) di samping karya dan orang yang menciptakan karya. Penonton memiliki kebebasan bukan untuk mencari hal lain di luar karya dan maksud pencipta, tetapi “sesuatu yang tersembunyi” dari keduanya. Sesuatu itu harus digali, dihadirkan dan dibicarakan secara terbuka. Saya sungguh memahami bahwa berhadapan dengan dinamika berteater, misalnya sikap utama saya adalah mendekati karya tersebut dan melakukan pembacaan terhadapnya.
Malam itu, saya bertanya, membaca rangkaian acara, menyaksikan pertunjukan dan menelusuri maksudnya dalam beberapa sumber ilmiah. Rangkaian kerja akademis itu saya lakukan secara bertahap untuk menghindari penilaian yang bersifat subjektif.
Kedua, cacat paham. Tuduhan ini bersumber dari tanggapan saya terkait raibnya kreativitas dari para peserta didik. Saya mengambil contoh teater “Rumah Kosong” yang merupakan penampilan kembali dari naskah “Rumah Kosong” yang pernah dipentaskan oleh Teater Suara pada 03 Februari 2023. Lantas saya bertanya, apa bentuk kreativitas yang dibuat oleh para peserta didik? Apakah memainkan lakon yang sama dengan model pementasan yang juga sama masih bisa disebut kreatif? Naur menampik pertanyaan saya. Ia menyebutkan bahwa tanggapan saya tentang ketiadaan kreativitas peserta didik sungguh tidak dapat dibenarkan. Mengutip pandangan Naur, kreativitas yang sesungguhnya “lahir dari proses panjang yang tidak terlepas dari kerja-kerja kolaborasi penciptanya serta kemampuan adaptasi atas konteks yang dipakai dalam pementasan.” Tetapi, apa bentuk kreativitas dan adaptasi yang dibuat oleh para peserta didik tidak singgungnya dengan jelas. Naur sepertinya lupa bahwa titik tolak kreativitas selalu bersumber dari kebebasan diri sang pencipta. Itulah sebabnya, orang Indonesia dilatih untuk memahami bahwa istilah kreasi sesungguhnya memiliki arti sebagai daya cipta. Ia berbeda dengan inovasi dan sedimentasi.
Ketiga, cacat konsepsi. Naur menuduh saya salah dalam “mengkonsepkan tema Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa sebagai ajang hiburan semata dan sebaliknya meraup keuntungan dari pergelaran bazzar”. Padahal, saya dalam tulisan pertama sama sekali tidak berminat “mengkonsepkan” model kegiatan yang dibuat panitia, tetapi semata-mata hanya memberikan “penilaian” terhadap kegiatan tersebut. Jika “mengkonsepsi” berarti membuat konsep, maka memberikan “penilaian” justru fokus pada tanggapan terkait model kegiatan yang sudah terjadi. Naur rupanya salah kaprah. Ia kehilangan orientasi untuk memberikan tanggapan balik atas tulisan saya. Alih-alih hendak mengajukan kritik tandingan, ia justru membawah saya (juga publik pembaca) kepada penilaian di luar tulisan. Out of the box. Saya sendiri menegaskan bahwa tanggapan saya dalam tulisan pertama sesungguhnya bermaksud membuka pemahaman pembaca tentang dua wilayah yang berbeda dari aktivitas berkesenian dan berkewirausahaan. Seni berbeda dengan wirausaha. Otonomi dan otentisitasnya perlu dipahami secara benar oleh publik luas.
Keempat, cacat konteks. Belum cukup menuduh saya cacat secara konsepsi, Naur lagi-lagi menyalahi saya karena “seolah-olah mengerti konteks”. Dalam tulisan terdahulu, saya menyinggung ketiadaan sarana pelengkap pementasan seperti alat pengeras suara. Sebagai penoton, saya tidak menangkap sama sekali maksud dan tujuan dari pementasan tersebut. Para pelakon lalu lalang. Penonton juga tak mau kalah. Mereka ngobrol di setiap stand yang disiapkan panitia. Bertolak dari situasi ini, saya lalu menulis bahwa “desain acara yang terlalu ‘sesak’ diperarah dengan minimnya sarana pendukung. Kata-kata yang disampaikan oleh pelakon teater, misalnya tidak dapat didengarkan dengan jelas oleh hadirin karena ketiadaan alat pengeras suara.” Lakon “Rumah Kosong” yang diperankan oleh para siswa kelas XII IPS 1 pada akhirnya hanya berisi tumpukan massa tanpa arah dan tujuan. Apa yang keliru dengan tanggapan tersebut? Bukankah Naur patut bersyukur bahwa ada penonton yang memberikan penilaian terhadap sesuatu yang kurang dalam pementasan?
Kelima, cacat tautalogis. Naur barangkali menjadi satu dari sekian pembaca yang merasa terganggu dengan uraian hermeneutik-filosofis pada tulisan pertama. Saya menggunakan ide dari beberapa filsuf modern untuk memperkuat basis argumentasi saya. Nama-nama seperti Kant, Hegel dan Adorno disebutkan untuk melihat relevansi ide mereka dengan konteks tanggapan saya. Ide tentang seni dan estetika dipinjam untuk mendukung sekaligus memperjelas arah dasar tulisan tersebut. Secara khusus, saya mentautkan gagasan Adorno (1997:1) terkait komodifikasi seni dengan alasan bahwa hanya Adorno yang mampu membuat ulasan komprehensif-tematik terkait kesenian modern. Ia melihat kenyataan bahwa seni telah menjadi hiburan yang murah di mata masyarakat. Intervensi kapitalis dalam dunia seni telah menciderai entitas seni, berikut pemaknaannya yang benar. Sebagai proposal, Adorno menegaskan bahwa pemaknaan terhadap seni harus kembali kepada seni itu sendiri (seni per se seni). Seni harus dinikmati dan bukan dipaksakan untuk menyenangkan hati publik.
Keenam, cacat subjektif. Naur menyalahi saya karena dugaan yang barbar terhadap maksud pementasan malam itu. Ia menyitir arah tulisan saya terkait “bisnis” dalam kegiatan tersebut. Seharusnya, kalau itu bukan intensi saya, Naur pun tidak perlu memperkeruh dialektika. Ia cukup fokus dengan inti tanggapan saya dan memberi kritik setimpal terhadapnya. Namun sayang, Naur lagi-lagi gagal memahami tulisan saya. Ia terlampau emosional sampai lupa pada logika berpikirnya sendiri. Dalam tulisan tersebut, saya justru menyindir kecenderungan panitia yang mencampuradukan urusan seni dengan kewirasahaan. Saya melihat munculnya gejala negatif di mana orang akan salah memahami entitas seni. Seni akan direduksi pada tingkatan terendah. Ia menjadi alat untuk bersenang-senang. Tidak berhenti sampai di sini. Naur mengoceh pembaca dengan mencampuradukan kehadiran buku puisi saya dengan urusan bisnis. Ia menuduh saya terlibat urusan bisnis ketika menerbit dan mendagangkan buku tersebut. Pertanyaannya, apa kaitan antara tanggapan saya dan ocehan Naur? Mengapa ia begitu naif memahami tulisan saya?
Uraian panjang lebar di atas hendak menegaskan kembali persoalan yang menjadi arah dasar tulisan saya. Tanggapan yang disampaikan oleh Naur tentu di luar konteks tulisan saya. Ia hanya ingin membalas, tetapi tidak sampai pada inti persoalan. Hasilnya, tanggapan Naur hanya menjadi luapan emosional yang menggebu-gebu dan tidak mengena sasaran. Uraian yang dibuatnya menjadi semacam “gosip murahan” yang memperkeruh dinamika diskursif yang saya bangun. Persis seperti kebanyakan kaum Sofis. Mereka menggiring perdebatan ke luar dari konteks pembicaraan. Kebenaran dipelintir untuk membangun tameng diri, selebihnya menegaskan status mereka di tengah masyarakat.
Bagaimana Membaca Komodifikasi dan Jalan Terjal Estetika?
Sebelum mengakhiri debat kusir bersama Naur, saya akan menunjukkan cara yang tepat dalam membaca tulisan pertama saya. Tulisan itu menitikberatkan pada satu konsep utama, yakni tentang komodifikasi seni. Mekanisme komodifikasi yang naif terhadap seni berimbas pada kematian estetika. Orang akan sulit membedakan mana hal yang merupakan seni dan mana hal yang dapat dijadikan hiburan semata. Dalam konteks “Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa”, kita bisa menambahkan bahwa komodifikasi seni menyebabkan kita sulit membedakan sesutu yang menjadi wilayah seni dan sesuatu yang merupakan produk bisnis. Kita mewanti, jangan sampai seni memiliki derajat yang sama tingginya dengan kewirausahaan. Seni yang disamakan nilainya dengan kewirausahaan lebih tepatnya disebut sebagai “seni-seni banyak”, demikian tukas Albert G. Unfinit alias Black Finit.
Upaya meluruskan pemahaman Naur dapat dilakukan dengan memperkenalkan tiga cara membaca “Komodifikasi Seni dan Jalan Terjal Estetika”. Pertama, mulailah dari konteks persoalan. Dalam tulisan pertama, saya mengangkat persoalan mengenai pencampuradukan berbagai model acara dalam satu rangkaian kegiatan yang sama. Konsep acara yang demikian, saya sebut bersifat nir fokus. Kelak, ia berdampak pada kehilangan makna dalam memahami sebuah acara. Derajat acara akan dinilai sama di mata setiap orang yang datang, tertawa, makan, dan pulang. Kedua, bacalah estetika Adorno. Diskursus tentang komodifikasi seni hanya bisa dipahami andaikata Naur pernah membaca estetika Adorno dan kritik-kritik yang mengintarinya. Pemahaman yang benar terhadap konsep komodifikasi seni memampukan Naur dalam membangun argumen dan kritik yang baru. Ketiga, sadarilah posisi. Andai Naur sadar akan posisinya sebagai panitia sekaligus tenaga pendidik, maka ia tidak perlu terlalu sentimen dalam menanggapi kritik. Ia hanya perlu menyadari posisi, terbuka untuk belajar dan selanjutnya membangun dialektika yang seimbang.
Tiga cara sederhana memahami “Komodifikasi Seni dan Jalan Terjal Estetika” dapat terlaksana bagi mereka yang selalu terbuka terhadap kritik. Mereka ingin belajar dari orang lain dengan sejumpat ide yang barangkali “cacat” sebagaimana dimaksudkan Naur. Dalam dialektika timbal balik tersebut, kita akan sama-sama memahami bahwa kebenaran seni dan pengetahuan adalah proses yang berkelanjutan. Gagasan yang satu akan menyangkali gagasan yang lain dan seterusnya. Boleh jadi, hari ini saya keliru memahami seni, tetapi berkat belajar dari perdebatan bersama Naur, saya akhirnya mampu menghasilkan karya yang lebih baik ke depan. Sebaliknya, orang yang sulit belajar dari pribadi lain akan terkurung dalam pemahaman sempit dirinya sendiri. Kebenaran hanya menjadi miliknya semata-mata. Ia menganggap orang lain sebagai gangguan dan musuh yang harus ditundukkan. Di antara dua tipikal tersebut, Naur pilih yang mana?
Epilog
Bertolak dari uraian terdahulu, ada dua hal penting yang dapat saya simpulkan. Pertama, Naur gagal memahami secara utuh bangunan ide saya dalam tulisan pertama. Ia hanya mencomot bagian-bagian tertentu darinya untuk memberikan sebuah pernyataan umum. Konsep tentang komodifikasi seni diabaikannya begitu saja. Padahal, jika didiskusikan secara serius akan sangat berguna bagi perbaikan orientasi berkesenian di SMAS Frater Don Bosco Lewoleba. Saya tentu mengerti bahwa Naur terlampau alergi dengan kritik. Filsafat yang ia pelajari tidak memberikan nilai lebih. Ia ingin aman-aman saja dan abai terhadap debat yang dialektis dan konstruktif. Saya membayangkan, andai Naur lebih dialektis lagi, kami akan saling belajar untuk menghasilkan karya-karya yang lebih besar di masa depan.
Kedua, ketidakmampuan Naur dalam menanggapi maksud tulisan saya sama artinya dengan persetujuan Naur bahwa terdapat mekanisme komodifikasi seni yang terjadi selama kegiatan “Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa”. Pertunjukkan seni, secara khusus teater yang ditampilkan malam itu adalah bagian lain dari upaya panitia untuk menyedot perhatian publik terhadap dua aktivitas lain, yakni kuliner dan jasa sewa foto. Mereka mereduksi seni sebagai “barang dagangan” yang entah “suka tak suka”, bagus tak bagus”, “benar tak benar” harus disaksikan oleh para penonton. Sampai di sini, apakah Naur memahami maksud dari semua tetek bengek ini? Manakah yang lebih mudah: menutup diri terhadap kritik atau berbesar hati untuk belajar dari kesalahan? Dialektika tetap berlanjut. Kiranya Naur disentuh untuk mengajukan balasan yang lebih proporsional kelak. Salam!
Daftar Pustaka
- Adlin, Alfathri. (2016). “Michael Foucault: Kuasa/Pengetahuan, (Rezim) Kebenaran, Parrhesia”, dalam Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.
- Adorno, Theodor. (1997). Aesthetic Theory. Terj. Robert Hullot-Kentor. USA: Continuum, University of Minnesota.
- Naur, Adrian. (2023). “Membaca Teks dalam Konteks yang Lebih Luas”, dalam https://aksinews.id/2023/04/04/membaca-teks-dalam-konteks-yang-lebih-luas/, diakses pada Selasa, 04 April 2023.
- Ngo, Defri. (2023). “Komodifikasi Seni dan Jalan Terjal Estetika (Catatan Lepas atas Pergelaran Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa oleh SMAS Frater Don Bosco), dalam https://www.rakatntt.com/2023/04/komodifikasi-seni-dan-jalan-terjal.html?m=1, diakses pada Selasa, 04 April 2023.
- Sungkar, Syakieb. (2022). Seni Sebagai Pembebasan: Sebuah Telaah tentang Estetika Adorno. Yogyakarta: Penerbit Circa.
Mohon maaf sebelumnya. Apa yg salah dengn seni sehingga hrus diperpanjang urusan* ini. Apa yg salah sampai membuat anda bisa seheboh ini. Jika anda ingin menampilkan kesenian dari kemauan anda, maka silahkan. Tdk perlu mengkritik seni orng lain. Seni itu lahir dari mana saja, siapa saja dan apa saja!!! Thanks
Yang membuat kau terlalu kepo dgn Lembaga kami itu kenapa…mau pamer ilmu filsafatmu ..begitu….datang berdiri didpn pintu masuk aula lalu seolah” langsung tau segalanya…….
Kau ulas bilang Kegiatan inti terkesan cacatlah apalah itu maksudnya apa…..secepatnya kita akan bertemu…kami butuh pertanggung jawaban atas semua tulisan mu….di hadapan kmi…..
Mati ee pertanggungjawaban semua ni😃
Oeee ama Je, engko macam bayi saja. Tidak perlu pakai INTEROGASI dan ANCAMAN segala. Kalau kau tdk puas, maka coba buat tanggapan dan kirim ke media. Sdh guru tapi pikiran masih kerdil. Hati-hati, kalau engko su mulai interogasi dan ancam bgni, bisa kena pasal 28 E nanti. 👍
toloooooooong… Ini orang lagi butuh perhatian 🤣🤣🤣🤣
toloooooooong… ini orang lagi butuh perhatian🤣🤣🤣🤣
Boleh saja anda memberikan kritikan, itu memang hak anda, dan kami juga akan berbesar hati menerimanya karena tidak ada yang sempurna.. Tapi sebagai orang yang beretika hendaknya kritikan itu disampaikan dengan tutur bahasa yang sopan.. Sia sia saja anda hidup dalam dunia religius, tapi tidak mampu menjaga etika diri anda dalam hubungan dengan sesama. Itu sama seperti iman tanpa perbuatan.. Boleh saja anda menulis karena itu kebebasan anda dalam berpikir tapi hendaknya tulisan anda itu memberikan kesadaran kepada orang dengan menyapa hatinya bukan melukainya.. Bukankah Tuhan selalu menyadarkan orang dengan penuh kasih.. Siapa yang tidak berdosa silahkan lempar batu pertama kali.. Jadi hendaknya tulisan anda itu boleh saja memberikan kritikan tapi jangan melukai hati orang.. Atau anda sudah lupa hukum cinta kasih yang Tuhan ajarkan ya.. Apakah hati anda sudah merasa “sesak” seperti saat anda menonton pentas seni kami.. Anda memang pengamat seni dan pikiran anda dibebani dengan kriteria yang sempurna tentang seni.. Anda mudah saja menilai seni yang dilakukan oleh orang lain tapi anda lupa bahwa seni yang pernah anda selenggarakan waktu itu juga tidak sempurna.. Hanya orang dengan ikhlas hati memaafkan ketidaksempurnaan anda.. Kenapa sekarang anda mempermasalahkan ketidaksempurnaan orang lain.. Sepertinya Anda harus banyak merefleksi diri.. Ingat ketika kita menunjuk orang lain maka hanya satu jari kearah orang itu tapi keempat jari yang lain mengarah ke diri kita sendiri.. Jangan hanya berdoa tapi wujudkan doa dengan perbuatan.. Karena Tuhan ada dalam diri sesama kita.. Semoga anda renungkan..
Terimakasih frater. Tapi ini debat ilmiah ya, bukan katekese bulanan. Frater macam te puas betul e. Padahal tulisan itu biasa saja. Hanya perlu buka hati, balas kritik dan bangun evaluasi internal jooo👍