(Tentang Pergelaran Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa SMAS Frater Don Bosco Lewoleba)
Oleh: Adrian Naur
Pegawai di SMAS Frater Don Bosco Lewoleba
Sekolah Menengah Atas Swasta (SMAS) Frater Don Bosco (SMATER) Lewoleba adalah lembaga swasta yang pada usianya yang baru ke-11 tahun sudah mendulang berbagai prestasi akademik dan non-akademi di kabupaten Lembata.
Salah satu sekolah yang tidak henti-hentinya menunjukkan eksistensinya ini, baru-baru ini, Sabtu, 1 April 2023, menggelar pementasan dengan judul “Bara Suara dan Kreasi Siswa”. Pementasan yang terbilang sukses oleh penonton yang memadati Aula Fraternitas itu, mendapat apreasi positif dari berbagai pihak.
Banyak penonton puas. Ada pula penonton yang merasa terhibur bahkan menitikan air mata. Untuk pertama kali dalam sejarah di persekolahan Lembata, SMATER mementaskan sekaligus mengkombinasikan antara pementasan teater dan pergelaran seni. Selain teater, SMATER mementaskan beberapa bidang seni, yakni seni tari, seni vokal, seni melukis, dan seni penciptaan.
Lantas, muncullah tulisan Defri Ngo yang mencederai hakikat dari seni itu sendiri. Dengan tulisannya itu, ia seolah mengabaikan sisi lain dari kesenian. Tulisan ini, adalah tanggapan atas tulisan Defri Ngo yang diberinya judul “Komodifikasi Seni dan Jalan Terjal Estestika Seni” (KOMODIFIKASI SENI DAN JALAN TERJAL ESTETIKA (Catatan Lepas untuk Pergelaran Bara Suara, Seni dan Kreasi Siswa oleh SMAS Frater Don Bosco Lewoleba) – RakatNTT.com)
Awal Mula “Bara Suara dan Kreasi Siswa”
Pementasan teater dan pergelaran karya yang dipentaskan pada Sabtu, 1 April 2023, adalah satu rangkaian kegiatan yang dikemas dari pelaksanaan ujian akhir kelas XII, panen projek P-5, serta gelar karya SBK dan Kewirausahaan.
Kegiatan ini tentu sudah dikonsepkan secara matang oleh seluruh panitia. Karena satu rangkaian antara pementasan dan pergelaran karya, maka tidak ada konsep yang saling terpisahkan.
Semenjak tiga bulan lalu, panitia mengkonsepkan acara ini. Panitia dibentuk. Diserahi tugas dan kemudian diberikan tanggungjawab kepada masing-masing guru oleh kepala sekolah.
Untuk pemilihan tema “Bara Suara dan Kreasi Siswa”, para guru harus bergumul selama sebulan. Tentunya tidak mudah menentukan tema untuk dua konsep acara, yaitu pementasan teater dan pergelaran karya.
Mengapa tema “Bara Suara dan Kreasi Siswa” yang dipilih? Hemat beberapa guru, waktu itu, “Bara Suara” dipilih karena teks dan konteks pementasan mengangkatkan isu-isu kemanusian yang dekat dengan kondisi riil kehidupan para pelajar saat ini. Fokus pementasan para siswa kelas XII adalah kritik sosial atas kehidupan, kekuaasan, dan kebudayaan yang melingkari manusia.
Pun dengan tema “Kreasi Siswa” yang didiskusikan, merujuk pada kreativitas siswa yang tercermin dalam pelaksanaan P-5 yang sudah dimulai dari awal tahun ajaran baru 2022/2023.
Karena seni diciptakan dari kedalaman pikiran dan hati nurani, maka tidak boleh ada kesalahan pada pemilihan tema. Para guru sampai berdebat panjang. Prinsip kami, seni dan kreativitas tidak boleh dipisahkan, apalagi dihilangkan.
Lantas, apa yang salah dari pementasan yang berlangsung sukses dan khidmat itu? Mengapa Defri Ngo melayangkan kritik terhadap pementasan yang menggabungkan antara unsur pementasan teater dan pergelaran karya itu?
Membaca Defri dan Cacat-Cacatnya
Sebagai pembaca dan penulis yang sama-sama dibentuk oleh kesenian, terutama seni pementasan dan pergelaran, penulis mahfum atas sikap dan penilaian Defri Ngo mengenai pementasan “Bara Suara dan Kreasi Siswa”. Ia datang dengan isi kepala seorang seniman yang bercekimpung di dunia pementasan. Ia selalu merasa resah jika pementasan terlihat jelek. Wajar. Itulah ciri perfeksionis seniman, kalau tidak mau dibilang ironi.
Catat Pertama, sebagai seorang seniman, semestinya Defri sadar dan mau rela untuk bertahan menyaksikan secara keselurahan pementasan dan pergelaran pada malam itu. Namun ia tidak menjadi penonton yang setia seperti kebanyakan mata yang datang menyaksikan pementasan dan pergelaran karya malam itu, yang rela duduk dan bertahan, bahkan sedih dan mentitikan air mata.
Defri juga juga mestinya tahu banyak hal mengenai konteks pementasan. Atau sebagai seniman, mestinya ia menanyakan kepada panitia soal keseluruhan acara, mengenai konsep, mengenai konteks pementasan.
Kesannya, ia hanya berada di muka pintu dan melihat sepintas untuk mengetahui keselurahan pemenatasan dan pergelaran malam itu. Bukankah sebagai seorang yang pernah belajar filsafat, bertanya, mencari tahu, dan meragukan segala sesuatu adalah hal penting atau esensial dari cara berfilsafat?
Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada di muka bumi harus dimulai dengan keragu-raguan atau pertanyaan. Malam itu, Defri salah konteks berfilsafat. Keraguan dan pertanyaannya, dijawabnya sendiri. Hasilnya, terkesan subjektif dan jauh dari nalar objektif. Ia tidak bisa membedakan antara komunitas teater dan siswa yang sedang berlajar berteater. Yang sama juga dengan anak muridnya, di tempat tugas Defri saat ini, yakni SMAK Yakobus Rasul, ingin “membumikan” teater di bumi Lewotana ini.
Mari kita lihat cacat subjektif Defri ini, ,…Dalam konteks kesusatraan, proses kreatif biasanya dimulai dari perjumpaan penulis dengan suatu pengalaman tertentu yang kemudian dikemas dalam bahasa. Ia menggunakan imajinasinya sendiri untuk menciptakan, menghidupkan dan membangun sebuah kerangka berpikir tentang objek kajian. Hal yang berbeda justru dibuat oleh panitia penyelenggara. Alih-alih menghendaki proses kreatif, panitia justru membiarkan para siswa meniru hasil karya orang lain untuk dipentaskan di hadapan publik.
Cacat kedua, Defri mengkritik karena ada salah satu kelas membawakan lakon “Rumah Kosong”, yang secara isi teks dan properti sama dengan yang pernah dibawakan Komunitas Teater Suara. Sampai di sini Defri tidak memperhatikan atau mengabaikan bahwa esensi kesenian adalah lahir dari proses panjang dan pergumulan seorang lakon atas imajinasi yang dihasilkan. Tentunya proses panjang itu tidak terlepas dari kerja-kerja kolaborasi penciptanya serta kemampuan adaptasi atas konteks yang dipakai dalam pementasan. Bisa dibayangkan teks tanpa konteks seperti kertas kosong. Hampa, tanpa makna.
Imajinasi tanpa penciptaan adalah kosong. Begitu juga dengan adaptasi tanpa kolaborasi akan sia-sia. Para siswa sengaja dibiarkan mementaskan hasil karya orang lain, supaya mereka merasakan pergumulan pencipta, mengalami konteks teks, bahkan membangkitkan daya imanjinasi agas bisa menjiwai teks itu sendiri.
Teks yang tidak dijiwai, akan menjadi pementasan tanpa makna. Apalagi yang melatih dan menulis “rumah kosong” adalah orang yang hadir menyemangati mereka dari pinggir panggung, yakni Pak Haris Dores sendiri. Lantas, salahkah jika membawa teks yang sama pada malam itu? Sekali ini, mereka bukan komunitas teater.
Cacat ketiga, Defri menyalahkan promotor acara karena salah mengkonsepkan tema “Bara Suara dan Kreasi Siswa”, sebagai ajang hiburan semata dan sebaliknya meraup keuntungan dari pergelaran Bazzaar. Padahal, kembali lagi, Defri gagal mengetahui konsep keseluruhan acara dan tidak mengambil benang merah atas maksud pementasan teater dan pergelaran karya malam itu.
Sebagai yang paham kesenian, Defri mesti paham bahwa kesenian (pementasan dan pergelaran karya) ujung-ujungnya bertujuan menghibur penonton. Pementasan tunggal sekalipun, selain menyampaikan kritik atas konteks teks, tetapi ada juga unsur komersial atau hiburan. Bahkan, semarah-marah atau sesedih-sedihnya anda sebagai pelakon, jatuhnya menghibur penonton.
Cacat Keempat, Defri seolah-seolah mengerti konteks pementasan teater dan pergelaran karya seni. Hal itu, terwakili oleh kalimatnya, “desain acara yang terlampau “sesak” diperparah dengan minimnya sarana pendukung. Kata-kata yang disampaikan oleh para pelakon teater, misalnya tidak dapat didengarkan dengan jelas oleh hadirin karena ketiadaan alat pengeras (suara)”.
Sebagai seorang yang berada di dalam panggung malam itu, apa yang dipentaskan oleh pelakon adalah luar biasa. Defri barangkali mengamati sepintas dan kemudian lantas pergi tidak hanya meninggalkan lokasi pementasan, tetapi juga mengabaikan keseluruhan alur dan plot pementasan malam itu. Lagi-lagi, kesannya, Defri seperti hansip penjaga malam, yang menarik sebagian dari keselurahan penggalan pementasan. Mengapa penulis katakan demikian?
Misalnya, untuk pementasan “Suara” yang dibawakan kelas XII MIA, dibiarkan tanpa pengeras suara. Hal itu disampaikan langsung oleh mentor sekaligus penulis teks “Suara”, saudara. Apa yang terjadi selama pementasan? Tidak terjadi keributan atau kegaduhan. Sementara, keempat pementasan lain berjalan seperti biasa dengan menggunakan pengeras suara.
Cacat Defri kelima, yakni ia terlalu banyak mengutip pengertian kesenian dan atau apapun yang berkelindan dengan pementasan dari sumber-sumber filsafat. Hal ini, seolah ingin menutup cacat-cacatnya di atas, sehingga tulisan Defri terkesan sangat filosofis. Tidak bisa membedakan konteks pementasan, tidak menonton secara utuh, dan bahkan tidak mengetahui latar pementasan, sudah meruntuhkan argumentasi-argumentasi filosofis Defri. Def lupa, kutipan-kutipannya itu bisa jadi bumerang. Kalau jatuhnya penilaian subjektif, maka sangat sulit membentinginya, sekalipun memakai filosofis.
Cacat Defri yang terakhir, Def mendaku bahwa pementasan yang digelar pada malam itu adalah semata untuk meraup keuntungan. Ia mengutip Adorno, dalam bukunya berjudul Aesthetic Theory, yang menyebutkanbahwa di tengah cengkraman kapitalisme, seni cenderung diperlakukan secara salah. Orang menggunakan seni semata-mata untuk meraup keuntungan. Seni hanya menjadi hiburan yang memiliki nilai jual ekonomis. Keuntungan diperoleh kapitalis, tetapi derajat seni kehilangan maknanya yang benar. Konsep komodifikasi seni yang dibangun Adorno memiliki implikasi rasional-moral. Orang dituntut untuk menghargai kreativitas individu yang telah menciptakan karya seni serempak pula berpartisipasi secara serius untuk menghasilkan sebuah karya. Dengan konsep tentang komidifikasi seni, Adorno sesungguhnya sedang mengutuk keras perilaku masyarakat yang menggunakan seni sebagai media untuk mencari keuntungan.
Sampai di sini kita bisa paham, Defri asal mengutip tanpa melihat sepak terjang yang sudah pernah ia lakukan selama ini mengenai kesenian. Ia tidak hanya asal mengutip kata-kata Adorno di atas, tetapi juga mempraktikannya. Buku kumpulan Perjalanan Menjadi Puisi sudah laku terjual dan terpampang di rak buku perpustakaan SMAS Frater Don Bosco Lewoleba. Jadi, kesenian di mata Adorno berbanding lurus dengan yang sudah dilakukan oleh Defri: “Orang menggunakan seni semata-mata untuk meraup keuntungan”.
Sebagai penutup, penulis hanya ingin mengajak para pembaca budiman untuk melihat segala sesuatu berdasarkan hasil riset secara objektif. Kegiatan ‘Bara Suara, Seni, dan Kreasi Siswa’ memang sudah selesai. Sebagaimana kutipan Defri, “Ia menyimpan sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh panitia penyelenggara dan semua individu yang terlibat dalam kegiatan tersebut.”
Kami akui masih banyak kekurangan. Kami akui harus banyak yang dibenah. Terima kasih masukannya. Namun, bukankah pemikiran yang konstruktif mesti berlandaskan basis pengetahuan yang objektif? Pertanyaan yang sama diajukan kembali, apakah kita bersedia menjadi generasi yang salah mewariskan pemahaman kepada anak-anak kita kelak? Kita harus bisa membaca teks dalam konteks yang lebih luas. Jangan menyesatkan dengan membaca teks secara sempit.(*)
Menjadi seniman memang tidak mudah tapi bagaimana anda mau dan ingin meekspresikannya di atas panggung. Semua kritikan yang dibuat sepertinya mengarah pada ketidaksiapan ataupun kurang bijaknya andil dari panitia pelaksanaan gelar karya ini. tindakan anda ini membawa dampak bagi kami pelajar kami merasa bahwa apa yang kami buat seakan akan hanya sebuah lelucon namun dibalik semua itu kami punya usaha dan niat yang baik. Toh kalau demikian salah mkan bukan dengan cara demikian anda menyampaikan opini anda ini seakan menusuk dalam proses pendidikan di SMAS Frater Don Bosco apakah ada rasa dengki yang ditertanam dalam benak? Lantas dijelaskan.
Diaklektika kritis mesti hidup di Lembata. Salut untuk om defri dan kae yang sudah menulis,,, saya lihat banyak yang cerewet dan persalahkan defri padahal tulisan seperti itu sudah biasa di tempat lain. Mungkin kita di Lembata saja yang belum terbiasa.. Salam 😃
Saya setuju siapa saja boleh memberikan review terhadap jalannya suatu kegiatan. Tapi POV nya adalah saudara defri panjang lebar mengulas sesuatu yang tidak matching dengan esensi dan tujuan panitia dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut. Ibaratnya “saudara defri seperti sedang membeli sepiring nasi goreng, hanya melihat dan tidak mencicipi tapi mengumumkan ke khalayak ramai bahwa nasi goreng itu tidak enak.”