Hari ini tanggal 17 Agustus. Tapi hari ini juga adalah hari Rabu. Sebuah pengulangan di mana bulan, matahari, dan hujan bertukar posisi di awan secara bergantian. Hanya untuk sekedar membenturkan emosi manusia dalam tabung pengelana waktu. – Joe Tonda
Tanggal 17 Agustus, kita semua merayakan hari kemerdekaan negara kita tercinta, republik Indonesia. Sebuah ritual perayaan rutin untuk menciptakan penghormatan kepada perjuangan para pahlawan serta titik dimana seluruh rakyat mempertegas kembali identitas kita, sebagai bangsa Indonesia. Dalam satu bendera yang sama, satu bahasa yang sama, juga satu lagu kebangsaan yang sama, kita berkumandang sebagai satu bagian yang sama dari Indonesia.
Tetapi apakah atribut-atribut perayaan itu saja yang mempertegas identitas kita sebagai bangsa Indonesia? Ttentu saja tidak. Apakah kita tidak pernah berpikir, apa yang membuat kita merasa sebagai bagian dari Indonesia? Apa yang mengikat kita sebagai bangsa Indonesia? Apa yang membuat kita menjadi bangsa Indonesia? Tentu saja semua itu bukan hanya soal akta kelahiran atau KTP saja yang menjadikan kita bangsa Indonesia, tetapi ada latar belakang sejarah dengan penuh perjuangan dan darah.
Kita ada adalah apa yang dikatakan oleh Ben Anderson sebagai suatu imagine comunity. Anderson mendefinisikan bangsa sebagai “komunitas politik yang dibayangkan”. Dia menjelaskan bahwa dalam suatu komunitas masyarakat tidak semua individu itu saling mengenal satu sama lain, pernah saling melihat bahkan belum tentu mereka semua pernah saling berkomunikasi.
Namun dalam alam bawah sadar atau benak mereka, sudah tertanam gambaran akan persekutuan mereka. Anderson mengatakan, “Sebuah anggota komunitas mungkin tidak akan pernah mengenal satu sama lain secara langsung; namun mereka mungkin memiliki minat yang sama atau mengidentifikasi diri sebagai bagian dari negara yang sama. Para anggota memegang dalam pikiran mereka gambaran mental tentang afinitas mereka. Misalnya, rasa kebangsaan dengan anggota lain dari bangsa Anda ketika ‘komunitas imajiner’ Anda berpartisipasi dalam acara yang lebih besar seperti Olimpiade”.
Kita terikat bukan semata-mata karena ikatan genealogis saja, tetapi lebih daripada itu, kita terikat karena sejarah serta harapan yang sama akan kesejahteraan dan kesetaraan sosial di masa depan. Tetapi tentu hal ini tidak mudah.
“Sembuh lebih cepat, bangkit lebih kuat” adalah tema kemerdekaan untuk tahun ini. Selama pandemi Covid-19, bahkan setelah kita berada di ujung pandemi, kita tidak berhenti diterpa masalah. Ancaman akan krisis ekonomi dan ekologis, serta berbagai kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang menunjukkan Indonesia juga mengalami krisis kemanusiaan. Tetapi ada satu hal yang terkadang menjadi permasalahan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini berkaitan dengan ingatan. Mungkin beberapa orang akan menertawakan hal ini, tetapi sebenarnya ini adalah hal yang sangat penting. Ingatan, bisa menjadi sebuah komoditas politik, ketika diingat dan dilupakan untuk tujuan tertentu. Ingatan bukan hanya soal kebenaran dan pengetahuan, tetapi juga berkaitan dengan identitas suatu seseorang atau suatu bangsa.
Stanford Encyclopedia Of Philosophy membagi ingatan menjadi dua kelompok, yaitu ingatan non-deklaratif dan ingatan deklaratif. Ingatan non-deklaratif adalah ingatan yang tidak memerlukan pencarian kebenaran dan bersifat repetitif. Misalnya, ingatan menyetir, bermain bola, atau memainkan instrumen musik. Selain itu, ingatan non-deklaratif merupakan ingatan akan hal-hal yang tidak memerlukan pembuktian fakta, seperti ingatan akan tanggal lahir maupun jadwal keseharian kita.
Sementara itu, ingatan deklaratif adalah ingatan yang menuntut pencarian kebenaran akan rekaman sebuah peristiwa. Hal ini karena di dalam ingatan itu, terdapat fakta yang berhubungan dengan informasi yang perlu diketahui untuk memahami peristiwa tersebut. Misalnya, ingatan akan peristiwa G30S atau demonstrasi 1998.
Kelompok ingatan pertama, membantu kita untuk melaksanakan tugas-tugas yang perlu kita lakukan, maka ingatan kelompok kedua atau deklaratif itu mempengaruhi emosi dan akhirnya berhubungan dengan identitas seseorang. Ingatan deklaratif akan mempengaruhi seseorang dalam memahami dirinya sendiri, memposisikan yang lain, dan melihat dinamika hubungan antara dirinya dan dunia luar. Di sini kita harus bisa membedakan antara ingatan akan sebuah peristiwa dan ingatan akan emosi dari peristiwa tersebut. Ingatan akan peristiwa yang terjadi dan emosi yang dirasakan dari peristiwa itu adalah dua hal yang berbeda. Ingatan akan peristiwa bisa memudar, tetapi perasaan atau emosi akan peristiwa tersebut masih tetap membekas.
Dalam proses pembentukan identitas, kedua ingatan ini akan menjadi warisan untuk mempertahankan keberadaan dan ikatan suatu komunitas. Sebuah komunitas memerlukan ingatan akan emosi untuk mengikat mereka dan ingatan akan sejarah memberi alasan dalam persekutuan mereka. Hubungan dari kedua ingatan ini adalah dinamis, dalam pembentukan identitas suatu komunitas. Tetapi ada masalah dalam kegiatan mengingat masyarakat Indonesia baik dalam konteks budaya ataupun politik.
Lambat laun, ingatan akan kearifan lokal suatu suku bangsa mulai memudar. Terputusnya pewarisan cerita dan pengetahuan lokal menjadi masalah yang seharusnya diperhatikan lebih serius. Kehilangan pengetahuan lokal serta pewarisan nilai-nilai budaya yang terhambat karena jurang antar generasi bisa berakibat fatal di kemudian hari. Ini akan menghancurkan kekuatan kolekftif atau gotong royong masyarakat akar rumput, yang akan berdampak pada mudahnya suatu komunitas masyarakat ditaklukkan dan dipecah belah. Ini justru berbahaya bagi kehidupan persatuan masyarakat Indonesia.
Ingatan masyarakat Indonesia juga bermasalah, bukan hanya berkaitan dengan wawasan sejarah, tetapi juga dengan terkait fenomena politik yang ada. Kita lihat, betapa mudahnya kita dibuat lupa akan peristiwa sejarah yang masih menjadi dosa bangsa kita. Peristiwa pembantaian 65, hingga hilangnya para aktivis 98 yang hingga sekarang hanya menyisakan keluarga korban yang setiap Kamis menuntut keadilan di depan istana.
Selain itu, masyarakat Indonesia juga mudah dibuat lupa oleh sihir media. Ketika kebakaran hutan yang mengancam iklim dialihkan dengan berita perceraian artis, kemudian berita tentang Wadas, Besipae, dan beberapa daerah lain yang sedang berjuang melawan tambang tiba-tiba lenyap dan kemudian dilupakan. Hal yang sama mungkin juga akan terjadi pada perayaann 17 Agustus itu sendiri.
Orang datang berfoto, mengikuti upacara, menyaksikan acara, kemudian memberikan postingan dengan kata-kata indah untuk menunggu like dan komentar. Mungkin itu saja yang akan diingat, kemudian apa yang akan terjadi setelah perayaann kemerdekaan?. Mereka yang memegang kuasa terhadap ingatan publik bisa saja memainkan ingatan itu untuk kepentingan tertentu. Karena itu, panggilan untuk mengingat menjadi krusial bagi bangsa Indonesia untuk maju sebagai sebuah bangsa.
Salah satu fungsi ingatan adalah untuk menciptakan ikatan identitas. Tanpa ingatan, sebuah bangsa tidak memiliki dasar pemersatu identitas yang kuat. Untuk itu, sudah menjadi tugas kita semua untuk merawat setiap ingatan yang ada, untuk tetap mempertahankan kesatuan sebagai bangsa, juga menjaga ingatan-ingatan terutama untuk mereka yang menjadi korban, termarginalkan, atau disingkirkan dari kesatuan kelompok. ***
Penulis: Fr. Rintho Jaga, Ritapiret, Sikka.