Oleh: Y.B. Januarius
Alumnus MA in International Education and Development, Sussex University, Brighton, England, United Kingdom.
Pada Konggres Pemuda II di Batavia tanggal 27-28 Oktober 1928, ada banyak utusan datang dari berbagai penjuru Nusantara. Di antara para utusan ini, terdapat juga seorang Putera Adonara dengan nama asli Boleng Buto, atau nama resmi Yohanes Gomanicus Dias Viera de Godinho dengan bendera muda Jong Flores. Di bawah kepemimpinan Soegonda Djojopoespito, Ia juga mengambil bagian bersama seluruh barisan muda Nusantara untuk menghasilkan keputusan penting berupa Sumpah Pemuda.
Berikut ini, saya menulis secara ringkas tentang kisah perjalanan Ama Boleng Buto, yang mungkin saja terluput dari ingatan dan catatan historis secara umum.
Maksud dari tulisan ini adalah:
Pertama: memberi apresisasi kepada almarhum yang telah turut terlibat dalam perjuangan kaum muda menentukan nasib bangsa Indonesia di masa lalu;
Kedua: memperkenalkan kepada public bahwa ternyata ada orang kita yang juga terlibat dalam pusaran gerakan nasional menuju perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan
Ketiga: agar para pihak yang memimilki data dan informasi lain bisa melengkapi kisah pendek yang saya tulis ini, terutama oleh anak-anak atau para cucu, atau keluarga dekat lain yang masih menyimpan dokumen resmi sekolah atau Surat Keputusan / Penugasan almarhum atau dokumen foto dalam karyanya di beberapa tempat di NTT.
Tulisan ini dibuat berdasarkan wawancara langsung yang dilakukan oleh Y.B. Januarius Lamablawa, bersama Bapak Kris Boro Tokan dan Liberius Langsinus dengan anak kandung dari Bapak Boleng Buto, yakni Bapak Matheos Abraham Goma di rumahnya, Fatufeto, Kota Kupang, Provinsi NTT, Minggu 28 April 2012 dari jam 11.00 sampai jam 14.00 sore.
***
Pada tahun 1917, terjadi kelaparan yang menimpa Pulau Adonara. Kelaparan ini diakibatkan oleh ketiadaan / kekurangan makanan lokal sebagai akibat dari kemunduran pertanian yang disebabkan oleh Perang Dunia Pertama. Masyarakat tidak menaruh perhatian terhadap kerja tani mereka karena kondisi perang yang mencekam hingga ke kampung-kampung. Hanya sedikit orang yang bisa bercocok tanam seadanya untuk menghasilkan makanan. Untuk bertahan hidup, masyarakat berusaha mengonsumsi umbi-umbian hutan. Kendati demikian, ketersediaan umbi-umbian hutan tidak bisa terus diandalkan. Timbullah persoalan sosial ikutan lain, yakni kasus pencurian.
Di Kampung Balaweling, Wilayah Witihama di Pulau Adonara, ada seorang Bapak yang beranama Daeng Laga dari Suku Lewo Keda memiliki tanaman ‘kwoit’ (ubi tatas) di kebunnya. Tanaman ini diharapkan menjadi penyangga kebutuhan harian yang seadanya kalau sudah siap dipanen. Karena kondisi kekurangan makanan yang menimpa masyarakat, pada suatu waktu ada orang di dalam kampung itu datang sembunyi-sembunyi untuk mencuri umbi kwoit Bapak Daeng Laga. Ternyata pencuri itu kedapatan dan dibunuh oleh Bapak Daeng Laga dan beberapa orang dari kalangan keluarganya.
Karena tindakan pembunuhan ini, utusan penguasa pemerintahan kolonial Belanda datang ke kampung Balaweling untuk menyelidiki kasus ini dan menangkap para pelakunya. Bapak Daeng Laga dan beberapa orang lainnya dinyatakan bersalah sehingga harus ditangkap dan dibawa ke Larantuka. Pihak Pemerintah Kolonial memutuskan untuk membawa 2 orang yang terlibat dalam kasus ini bersama Bapak Daeng Laga. Hanya saja karena Bapak Daeng Laga sudah tua, maka ia digantikan oleh seorang anaknya yang bernama BOLENG BUTO yang ketika itu berumur sekitar 13 tahun.
Di Larantuka, pemerintah Kolonial hanya menahan 2 orang dewasa yang terlibat dalam tindakan pembunuhan di desa Balaweling, tetapi Boleng Buto kemudian dipelihara oleh Raja Larantuka, Don Gazper D.V.G. Boleng Buto ini kemudian dipermandikan menjadi Katolik dan diberi nama Yohanes Gomanicus, D.V.G dan disekolahkan di Standard School. Salah seorang teman sekolahnya adalah Mohamad Sjah anak dari seorang Jaksa yang saat itu bertugas di Larantuka – Bapak Alamsjah. (Teman kelasnya ini – Mohamad Sjah- kemudian menjadi rektor di Universitas Nusa Cendana pada tahun 1968-1976-).
Setelah tamat sekolah di Larantuka, Yohanes dikirim untuk sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau Sekolah Menengah Pertama dan dan melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) atau Sekolah Menengah atas di Kupang. Setelah menamatkan sekolahnya di Kupang, ia melanjutkan pendidikan formalnya di OSVIA (Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren) Makassar. Sekolah ini dibuka untuk memenuhi desakan pendidikan anak-anak para bangsawan dan raja serta melatih calon pegawai dan guru.
Setelah tamat di Makassar, ia kembali ke Kupang dan bekerja di Kantor Keresidenan Kupang pada tahun 1926/1927. Ketika di Kupang ini, Yohanes ikut aktif dalam organisasi kepemudaan dan politik. Ia juga berkenalan dengan John Amalo, ketua Timor Verbond.
Pada tahun 1928, Yohanes berkesempatan menjadi Salah seorang utusan Jong Flores, bersama dengan Aboerusman dari Ende, Pulau Flores, untuk menghadiri Konggres Pemuda II pada tanggal 27-28 Oktober 1928 di Batavia bersama utusan pemuda yang lain dari seluruh Nusantara. Dalam barisan muda Indonesia, mereka mengikrarkan Sumpah Pemuda yang telah membangkitkan semangat juang di seantero nusantara untuk mengusir penjajah dan menggapai kemerdekaan.
Isi Sumpah Pemuda seperti berikut:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah yang satoe tanah Indonesia
Kedua: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe bangsa Indonesia
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean bahasa Indonesia
Pada awal tahun 1930-an, Ia mulai mengawali kariernya dalam bidang pemerintahan di Kupang dan Alor. Ketika bertugas di Alor, ia menemui tambatan hatinya dan menikahi Yuliana Boyol Kinanggi. Karena ketika itu tidak/belum ada umat dan gereja Katolik di Alor, maka Yohanes menganut agama Kristen Protestan. Setelah bertugas beberapa tahun di Alor, ia kembali ditugaskan ke Kupang.
Pada pertengahan tahun 1930-an, ia bersama Pendeta Watimena mengembangkan agama Protestan di Larantuka yang kemudian menjadi cikal bakal gereja Ebenhaezer. Karena kegiatannya ini, Pihak Kerajaan Larantuka dalam suatu pertemuan Khusus pada tahun 1938 menarik kembali gelar D.V.G yang diberikan kepadanya, dan ia kembali menggunakan nama aslinya. Hanya saja dalam dokumen resmi, ia tetap menggunakan nama D.V.G karena mengikuti penulisan yang ada dalam Surat Permandian dan Ijazah.
Tahun 1939, ia kembali bertugas di Kupang dan bekerja sampai tahun 1946.
Pada tahun 1946 ia kembali bertugas di Alor dan menjadi Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) tahun 1947. Di Alor, Bapak Yohanes juga berjasa pula mendirikan GMIT yang kemudian berkembang pesat di seluruh Alor.
Dari Perkawinannya, ia dikaruniai 8 orang anak, 4 orang perempuan dan 4 orang laki-laki. Kepada anak-anaknya, Ia selalu memberikan nasehat untuk menjadi rendah hati dan hidup baik. Dengan bersumberkan Alkitab ia meminta anak-anaknya untuk menjadi garam.
“Biar tidak usah jadi lilin (terang), karena mungkin daya terang berbeda-beda, tapi biarlah jadi garam. Tidak usah dilihat, tapi bisa membuat makanan jadi enak. Bisa berguna bagi orang tapi tidak perlu dilihat”.
Setelah ia pension, ia memiliki kesukaan dan kesibukan dengan memelihara kambing. Melalui pekerjaannya ini juga, ia meninggalkan pesan hidup yang penuh arti bagi anak-anaknya.
Suatu waktu di saat akhir hidupnya, ia mengumpulkan anak-anaknya dan memperlihatkan kambingnya yang diikat.
“Lihat, kambing makan rumput hanya sejauh jarak tali. Jadi belajarlah dari kambing. Kalau makan rumput melebihi jarak tali, leher akan luka”.
Ia menasihati agar suatu saat kalau anak-anak sudah bekerja, jangan kena ‘manipulasi’ uang. (Ia menggunakan kata manipulasi, karena waktu itu kata korupsi belum dikenal).
***
Selamat menikmati damai di keabadian Ama Boleng Buto.
Jasamu tetap terkenang dalam barisan leluhur bangsa.
Dan, filosofimu tentang kambing telah dan akan menjadi inspirasi bagi setiap orang yang berniat baik untuk mengabdikan dirinya secara tulus buat ibu pertiwi, agar Indonesia Jaya. Menjadi pemuda dan pemudi itu artinya menjadi super berguna.(*)