Aksinews.id/Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak main-main dalam menindaklanjuti Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK terkait transaksi mencurigakan yang menyangkut tugas dan fungsi Kementerian Keuangan. Bahkan, Kemenkeu sudah menjalin kerjasama dengan aparat penegak hukum.
Kemenkeu juga sempat meminta pihak PPATK mengenai entitas atau transaksi tertentu. Sri Mulyani menjelaskan, tindak lanjut dan kerja sama dengan berbagai pihak tersebut bukan tanpa hasil. Belasan triliun rupiah sudah masuk sebagai penerimaan Negara, sebagai hasil kerja timnya di Kemenkeu.
Sri Mulyani menyampaikan hal tersebut usai rapat bersama Menkopolhukam Mahfud MD dengan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di kantor Kemenko Polhukam RI Jakarta Pusat, Senin (20/3/2023).
“Di Kemenkeu Direktorat Jenderal Pajak sudah dilakukan 17 kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang tadi menghasilkan Rp7,88 triliun penerimaan negara. Dan, Bea Cukai ada 8 kasus TPPU yang menghasilkan Rp1,1 triliun,” kata Sri Mulyani.
Ia menjelaskan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea Cukai yang memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) telah menindaklanjuti surat-surat LHA dari PPATK yang berkaitan dengan pegawai Kemenkeu. Antara lainnya, kasus mantan PNS Ditjen Pajak Gayus Tambunan dan mantan Pejabat Ditjen Pajak Angin Prayitno Aji.
“Surat dari PPATK tersebut yang berkaitan dengan internal Kemenkeu, katakanlah oknum atau pegawai Kemenkeu, dari mulai Gayus dulu disebutkan dia jumlahnya Rp 1,9 triliun, sudah dipenjara,” tandasnya.
“Kemudian ada lagi Saudara Angin Prayitno itu disebutkan transaksinya Rp14,8 triliun oleh PPATK, itu juga sudah dipenjara,” imbuh Sri Mulyani.
Menkeu juga mengungkap isi surat LHA PPATK yang dinilai menonjol terkait dengan transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun. Ia mengungkap isi surat tersebut agar definisi pencucian uang dan transaksi mencurigakan yang sebelumnya disebutkan Menko Polhukam Mahfud MD bisa dipahami dengan baik.
“Satu surat yang sangat menonjol dari PPATK ini adalah surat nomor 205/PR.01/2020, dikirimkan pada bulan 19 Mei 2020, pas tengah-tengah Covid kita,” kata Sri Mulyani.
“Satu surat dari PPATK itu saja menyebutkan transaksi sebesar Rp189,273 trilun. Bayangkan tadi totalnya Rp349 triliun, ini satu surat saja Rp189,273 triliun,” sambung dia.
Karena angka transkasi terbilang besar, sehingga Kemenkeu langsung melakukan penyelidikan. Ia meminta Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk melihat dan meneliti surat tersebut.
“Disebutkan oleh PPATK ada 15 individu dan entitas, perusahaan, dan nama orang yang tersangkut Rp189,273 triliun tersebut. Ini adalah transaksi 2017 hingga 2019 sebelum pandemi,” kata dia.
Ditjen Bea Cukai yang menerima surat langsung dari PPATK, kata dia, kemudian melakukan penelitian terhadap nama-nama 15 entitas tersebut. Mereka, kata Sri Mulyani, adalah pihak yang melakukan ekspor-impor emas batangan, emas perhiasan, money changers, dan kegiatan lainnya.
“Bea cukai kemudian melakukan seluruh penelitian terhadap 15 entitas itu. Umpamanya, import barang emas batangan Rp326 M tahun 2017, naik ke Rp5,6 trilun. 2019 turun drastis ke Rp8 triliun. Eksportnya Rp4,7 triliun 2017. Turun ke Rp3,5 triliun, dan 2019 turun ke Rp3,5 triliun,” kata dia.
Dari transaksi tersebut, lanjut dia, kemudian dilakukan penelitian dan kemudian dilakukan pembahasan bersama PPATK. Kejadian tersebut, kata dia, terjadi pada tahun 2020 dan sudah ditindaklanjuti oleh Ditjen Bea Cukai.
Pada saat yang sama, kata dia, Bea Cukai mengatakan kecurigaan tersebut tidak ditemukan di Bea Cukai. Oleh karena itu, kata dia, Ditjen Pajak kemudian melakukan penelitian.
Direktorat Jenderal Pajak, kata dia, kemudian mendapatkan surat tembusan terkait hal tersebut sekaligus surat nomor 595 dari PPATK. Di dalam surat 595 tersebut, kata dia, transaksinya lebih besar lagi yaitu Rp205 triliun dan jumlah entitas dari 15 menjadi 17 entitas.
“Maka, pajak melakukan juga penelitian dari sisi pajak dari 2017 sampai 2019. Satu, figurnya pakai inisial SB. Ini di dalam data PPATK disebutkan omsetnya mencapai Rp8,247 triliun,” kata dia.
“Data dari SPT pajak adalah Rp9,687 triliun, lebih besar pajak daripada yang diberikan oleh PPATK. Itupun kita tetap gunakan data PPATK. PPATK tadi Rp8,2 triliun, pajak Rp9,6 trilun,” sambung dia.
Karena orang tersebut memiliki saham dan perusahaan di PT BSI, kata dia, pihaknya meneliti PT BSI yang namanya juga tercantum di dalam surat PPATK.
PT BSI ini, kata dia, berdasarkan data PPATK menunjukkan transaksi senilai Rp11,77 triliun. Sedangkan SPT pajaknya dari tahun 2017 sampai 2019 kata dia, menunjukkan pajaknya Rp11,56 triliun. Dengan demikian, kata dia, ada perbedaan sebesar Rp212 M.
“Itupun tetap dikejar, dan kalau memang buktinya nyata maka si perusahaan itu harus membayar plus denda 100 persen,” kata dia.
Kemudian PT yang ketiga dengan inisial PT IKS 2018-2019 berdasarkan data PPATK menunjukkan transaksi senilai Rp4,8 trilun sedangkan SPT-nya menunjukkan Rp3,5 triliun.
Kemudian, kata dia, ada seseorang berinisial DY yang SPT-nya hanya senilai Rp38 miliar, tetapi PPATK menunjukkan transaksinya mencapai Rp8 triliun.
“Perbedaan data ini yang kemudian dipakai oleh Direktorat Jenderal Pajak memanggil yang bersangkutan. Muncul modus bahwa tadi si SB menggunakan nomor account-nya lima orang yang merupakan karyawannya,” kata dia.
“Termasuk kalau kita bicara transaksi, ini adalah transaksi money changer. Jadi, anda bisa bayangkan bahwa money changer cash in, cash out,” sambung dia.
Ia menegaskan pihaknya sangat menghargai data dari PPATK. Pada kenyataan justru PPATK, Ditjen Pajak, dan Ditjen Bea Cukai telah bekerja sama. Kerja sama antara ketiga instansi tersebut, kata dia, untuk saling bertukar informasi dan data. “Dalam rangka untuk memerangi dan memberantas tidak hanya korupsi tetapi juga TPPU,” ucap dia, sebagaimana dilansir tribuntangerang.com. (*/AN-01)