Oleh Silvester Kian Witin, S.Fil
(Staf Pengajar SMAN 1 Larantuka, Orang Lewotobi tinggal di Weri – Larantuka)
Gerakan Literasi atau Literacy Action yang akhir-akhir ini selalu dipercakapkan di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, dalam hal ini masyarakat atau komunitas tertentu, merupakan sebuah gerakan bersama yang lahir dari komitmen setiap orang yang sangat peduli terhadap pendidikan, khususnya aktivitas membaca, menulis dan menggunakan pelbagai informasi secara cerdas. Gerakan Literasi ini sebenarnya berawal dari dicetuskannya Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Mendikbud mengatakan bahwa Permendikbud tersebut sebenarnya adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti anak. Terminologi yang digunakan adalah “Penumbuh” karena kita hanya menumbuhkan, bukan menanam budi pekerti. Menumbuhkan budi pekerti, berbeda maknanya dengan menanamkan budi pekerti. Langsung terbayang yang dilakukan adalah memberikan ruang bagi tumbuhnya budi pekerti dari dalam diri si anak. Kalau menanamkan berarti kita memasukan dari luar diri si anak. Karena pada dasarnya anak-anak itu sudah memiliki modal dasar budi pekerti.
Saya ingat baik di tahun 1991 ketika pertama kali masuk Seminari San Dominggo Hokeng, hal pertama yang mesti dibuat adalah berupaya untuk beradaptasi dengan aturan serta tata tertib yang berlaku di taman pendidikan ini. Ada adagium klasik yang mesti jadi pegangan kami semua yaitu “Serva Regulam et Regula te Servabit” kami harus hidup dan berusaha menyesuaikan diri dengan mengikuti aturan yang berlaku, sehingga aturan itu bisa memelihara kami. Dari bangun pagi hingga tidur malam, semua aktivitas itu sudah dijadwalkan dengan baik. Termasuk di dalamnya waktu untuk kegiatan rohani dan juga aktivitas yang berkaitan dengan studi atau belajar.
Aktivitas ini selalu didukung dengan fasilitas dan peralatan yang memadai. Saya hanya mau sharing dengan fokus pada aktivitas literasi yang salah satunya adalah budaya membaca. Setiap jam rekreasi atau waktu luang, taman baca dan perpustakaan itu selalu terisi. Orang berebutan mengambil koran serta majalah-majalah penting di taman baca saat itu, berupa Kompas, Pos Kupang dan Flores Pos, hanya untuk membacanya dan mencari referensi penting yang ditugaskan oleh para guru. Ruang perpustakaaan juga selalu penuh dengan aktivitas peminjaman buku. Para siswa sibuk dan betul-betul menggunakan waktu yang tersedia untuk actus membaca ini. Kegiatan serta aktivitas membaca ini mengakar dan membudaya lalu menjadi suatu kebiasaan yang terjadi atau tercipta dengan sendirinya. Bangun pagi para seminarista diperbiasakan dengan bacaan rohani wajib. Sebelum KBM dimulai para seminaris diberi kesempatan untuk membaca dan merenungkan bacaan Kitab Suci. Selalu ada waktu untuk lectio divina (bacaan suci).
Aktivitas membaca, menulis, berdiskusi dan berdebat tentang tema apa saja selalu diberi ruang, kapan dan dalam situasi apa saja. Selama KBM dalam kelas, waktu itu, para guru, termasuk para imam dan frater TOP, selalu memberikan kami ruang untuk aktivitas literasi ini. Kami selalu ditugaskan untuk mencari referensi untuk karya tulis ilmiah, dan mengerjakan tugas-tugas lain. Atmosphere serta suasana inilah yang selalu membentuk kami, sehinggga perlahan-lahan menjadikan kami semakin hari semakin cinta akan gerakan literasi, ala seminarista saat itu, bahkan hingga saat ini. Watak, kharakter dan kerinduan serta gerakan cinta kami pada aktivitas ini pun mulai terbentuk.
Literasi Perkuat Karakter
Gerakan Literasi yang semula hanya dipahami sebagai aktivitas membaca dan menulis saja, tetapi sekarang ini telah merambah jauh ke arah yang lebih luas yaitu literasi membaca, literasi menulis, literasi budaya dan literasi digital yang sebenarnya tercetus dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih (Sophisticated). Literasi dalam proses perkembangan selanjutnya dapat memperkuat karakter itu sendiri. Warga yang berkarakter sebenarnya melahirkan warga yang literat. Sebaliknya warga yang literat mencerminkan warga yang berkarakter.
Dengan diterapkannya Kurikulum 2013 atau K13, aktivitas literasi semakin mendapat tempat. Aktivitas pembelajaran di dalam kelas khususnya bagi sekolah-sekolah yang sedang menerapkan pembelajaran berparadigma Saintifik, literasi menjadi sebuah keniscayaan yang mesti terus dibangun dan tetap tumbuh dalam diri para guru dan peserta didik.
Disini, sekolah semestinya harus diperbiasakan untuk menciptakan suasana yang pada akhirnya membuat semua warganya menjadi benar-benar literat, karena lingkungannya yang selalu ramah terhadap literasi. Awalnya ada sekolah yang sudah menerapkan gerakan literasi dengan melakukan pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum dimulainya kegiatan belajar mengajar. Para peserta didik wajib membaca selama 15 menit sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan itu.
Selama satu tahun lebih, ternyata aksi literasi ini membawa dampak yang begitu berarti buat para warganya. Pada awal memang ada sekian hambatan, namun dalam proses selanjutnya aksi ini merupakan satu aktivitas positif yang justru harus dipertahankan dan menjadi sebuah Kultur Sekolah. Aksi membaca selama 15 menit ini berjalan dengan baik berkat kerjasama (Colaboration) dan kordinasi (Coordination) yang baik dari para guru, para peserta didik dan semua warga sekolah.
Literasi Butuh Kolaborasi Dan Koordinasi
Untuk menciptakan warga sekolah atau warga masyarakat yang literat, maka literasi pada prinsipnya harus merupakan sebuah gerakan bersama yang membutuhkan peran dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang dianggap mampu dan berkompeten dalam memberikan motivasi atau kesadaran kepada setiap insan.
Lingkungan yang ramah literasi tentu membutuhkan kerjasama yang solid dari berbagai komponen, yaitu : Pertama, Orang tua di rumah. Orang tua di rumah dianggap sebagai peletak dasar bagi tumbuh dan berkembangnya proses literasi itu. Orang tua yang bijaksana akan sealu sadar bahwa pendidikan anak itu harus dimulai dari keluarga. Anak harus diperbiasakan untuk membaca dan menulis sejak usia dini. Membaca buku-buku cerita yang mengandung pendidikan karakter.
Orang tua juga harus selalu bertutur tentang cerita atau kisah-kisah penting kepada anak-anaknya. Sebelum tidur atau istirahat malam, kebiasaan orang tua yang selalu mendongeng kepada anak-anaknya adalah satu bentuk itikad baik yang harus terus dipertahankan. Anak juga dilatih untuk menggunakan handphone sebagai sarana yang membantu. Anak-anak juga harus dilatih untuk tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ini masuk dalam literasi budaya.
Selain itu, untuk menunjang literasi baca dan tulis maka di rumah-rumah dewasa ini haruslah disiapkan bahan-bahan bacaan atau juga buku-buku cerita dan majalah-majalah yang bisa dibaca. Literasi itu tidak hanya dibangun dengan membagi-bagi buku kepada anak-anak dan difoto dan dinaikan di atas status seperti yang lazimnya dilakukan oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai pegiat literasi. Namun literasi itu lebih memberikan motivasi dan kesadaran kepada anak-anak dan selanjutnya mereka menginternalisasikannnya dan membiasakan diri dengan aktivitas membaca dan menulis.
Rumah yang ramah literasi akan membentuk anak-anak yang literat. Rumah Rahim Kehidupan, SMA Seminari San Dominggo (SESADO) Hokeng niscaya tetap dikenang oleh para alumninya karena telah membentuk insan-insan muda yang sangat literat dan juga selalu menjadikan literasi sebagai bagian dari hidupnya. Nuansa gerakan literasi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Rumah Rahim Kehidupan ini juga telah dan selalu menciptakan suasana literasi yang kondusif dan efektif. Rutinitas kehidupan mereka dan kondisi gerakan literasi itu sudah mengakar dan membudaya di kalangan seminarista. Kondisi ini tidak direkayasa tetapi tercipta dengan sendirinya karena kesadaran serta rasa cinta mereka akan dunia literasi itu sudah mengakar.
Kedua, para guru di sekolah. Para guru di sekolah pada setiap tingkatan pendidikan adalah sesungguhnya pegiat literasi itu. Mereka sebenarnya melebihi Najwa Shihab yang tampil hanya sewaktu-waktu dan sekarang diakui sebagai duta literasi nasional. Mereka telah tampil selama ini dan telah menjadikan setiap anak didik menjadi warga yang literat. Literasi yang sesungguhnya sebenarnya telah diajarkan mereka sepanjang hayat.
Kurikulum 2013 sesungguhnya telah mengharuskan para guru di sekolah untuk merancang pembelajaran yang berbasis literasi. Guru merupakan profesi yang strategis yang menjadi role model, digugu dan ditiru. Dia merupakan sosok yang memiliki peran besar dalam keberhasilan pendidikan.
Perkembangan zaman menuntut guru untuk selalu melakukan inovasi pembelajaran yakni pembaruan demi meningkatkan kualitas pembelajaran. Dia juga harus mampu memberi serta mengajarkan para peserta didiknya untuk mampu menggunakan pelbagai media untuk mendapatkan informasi secara cermat di era ini.
Guru juga perlu meningkatkan kapasitasnya di bidang teknologi dan komunikasi yang juga dapat dicapai dengan penggunaan gadget dalam pembelajaran. Di sini para guru harus selalu sadar bahwa yang didambakan adalah peserta didik yang trampil dan mampu memahami gerakan literasi itu sebagai bekal yang baik untuk masa depannya. Jangan ujung-ujungnya guru sendiri-lah yang kemudian menjadi tenar (nama besar) ketimbang anak didiknya. Guru harus selalu memberi ruang kepada anank didiknya untuk selalu berkembang.
Ketiga, Pemerintah dan warga masyarakat. Pemerintah dan warga masyarakat yang ramah literasi akan melahirkan manusia-manusia yang literat. Pemerintah daerah dalam hal ini para pengambil kebijakan (decission maker) harus mampu mengeluarkan kebijakan yang mendukung bertumbuhnya iklim literasi itu sendiri. Dalam konteks ini perlu tersedianya fasilitas dan sarana prasarana yang mendukung. Hadirnya perpustakaan daerah dengan berbagai buku bacaan merupakan salah satu dari sekian upaya yang mendukung gerakan literasi itu.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan perlu juga menggelar event-event penting demi tumbuhnya nuansa literasi itu. Kita tidak mengharapkan bahwa kabupaten kita segera dideklarasikan menjadi sebuah kabupaten literasi, tetapi lebih dari itu kabupaten kita dapat menciptakan iklim dimana gerakan literasi itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Bagi saya, kita tidak perlu gegabah dan serta merta mendatangi Bupati untuk segera mendeklarasikan kabupaten kita menjadi kabupaten literasi. Tidak sekedar itu. Lembata telah dinobatkan menjadi kabupaten Literasi. Tetapi apa follow up selanjutnya? Pertanyaannya what is the next? Jadi, tindakan mendeklrasikan sebuah daerah atau kota menjadi kabupaten atau kota literasi sangat tidak penting dan mendesak. Tindakan ini hemat saya adalah semata-mata upaya dari orang atau sekelompok orang yang mau mencari jati dirinya dan ingin dikenal kapan dan dimanapun.
Esensi dari tindakan ini hanyalah sarat kepentingan. Iklim literasi yang dimaksud seperti ini hanyalah sebuah aktus yang sia-sia belaka. Padahal, literasi itu harus lebih mengarah kepada pembentukan kharakter (Character Building).
Hal yang urgen dan dan menjadi prioritas buat kita adalah iklim literasi itu (Atmosphere of Literacy). Literasi itu bisa berjalan dengan baik apabila setiap kita berupaya sesuai dengan peran kita masing-masing dan Gerakan Literasi itu benar-benar menjadi sebuah gerakan kita bersama, demi menciptakan warga sekolah dan warga masyarakat yang literat di jaman ini.(*)