Aksinews.id/Lewoleba – Keluarga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Yosef Kapaso Bala Lata Ledjab alias Balbo (33) yang menjadi korban pengeroyokan dan peniayaan sekelompok orang yang diduga oknum aparat polisi, akhir tahun lalu, merasa dipermainkan oleh penyidik Polres Lembata. Pasalnya, hanya satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, penyidik menjaring tersangka pelaku dengan pasal 170 KUHP.
“Penetapan tersangka tunggal sangat tidak masuk akal sebab pasal sangkaan awalnya adalah 170 (KUHP) yang menjelaskan bahwa kejadian tersebut dilakukan secara bersama-sama. Minimal penetapan tersangka awal adalah dua orang atau lebih, berdasarkan keterangan saksi dan alat bukti,” keluarga dalam press rilis yang diterima aksinews.id, Senin (23/1/2023).
Dalam rilis dengan penanggungjawab, Andreas Baha Ledjap, diungkapkan bahwa berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang dikeluarkan oleh Polres Lembata, pada Minggu, 21 Januari 2023, bahwa Polres Lembata telah menetapkan satu orang tersangka atas nama Stafanus Lia Bayo alias Ivan Doken.
Tapi, “Dalam SP2HP tidak dijelaskan penetapan ID (diinisialkan redaksi) sebagai tersangka tidak menggunakan pasal apa. Sampai sekarang Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) pun tidak pernah diberikan kepada keluarga maupun dijelaskan dalam SP2HP. Padahal, SPDP harus dikeluarkan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Surat Perintah Penyidikan dikeluarkan,” tandasnya.
Ayah kandung korban, Karolus Tue Ledjab mengaku kecewa berat. Ya, “Sebagai orang tua, saya merasa dipermainkan oleh mereka (Polres Lembata). Kami keluarga merasa sangat kecewa. Sebab pengeroyokan itu dilakukan oleh puluhan orang yang diduga sebagai polisi, bukan hanya satu orang. Ini dari awal sudah ada upaya melindungi begini,” ungkapnya.
“Artinya ini kalau dihubungkan dengan pengeroyokan, apakah pengeroyokan bisa dilakukan oleh satu orang? Anak saya bisa babak-belur itu karena dikeroyok, diikat lalu dikeroyok lagi. Sehingga penetapan tersangka satu orang ini sangat menyakit hati kami. Apakah memang hukum itu begitu? Tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujarnya, bertanya-tanya.
Dia sangat menyayangkan buruk kinerja penyidik Reskrim Polres Lembata. Ya, “Kinerja aparat ini sangat diragukan. Andaikan pelakunya orang awam, polisi itu kerja keras sampai menemukan sekian banyak tersangka. Ini pelakunya adalah aparat maka lalu kemudian berada di bawah satuan Polres Lembata, sehingga penyidik enggan mengungkapkan pelaku-pelakunya,” tandasnya.
“Yang jelas kami tidak puas sehingga Polres Lembata itu harus mengungkap pelaku-pelaku yang lain selain satu orang itu,” ujar Karolus Tue Ledjab, menuntut.
Praktisi hukum dari LBH Surya NTT Perwakilan Lembata, Tarsisius Hingan Bahir justeru mengaku tidak kaget dengan cuma ditetapkannya satu rang tersangka. Ya, “Penetapan satu tersangka ini sudah kami prediksi sejak awal. Sebab dari awal, gelagatnya mengarah kesitu. Sebab subsider yang digunakan adalah 351 yang adalah perbuatan yang dilakukan oleh perorangan,” ujarnya.
Pasal-pasal ketentuan pidana yang digunakan penyidik pun ikut dipertanyakan. Tarsisius Hingan Bahir menilai penerapan pasal saling tumpang tindih dan tidak masuk akal.
Ya, “Tidak masuk akal karena pasal primernya 170 yang merupakan pasal dengan ancaman hukuman yang berat. Masa pasal subsidernya pake 351. Harusnya 170 ayat 2 lalu subsidernya (pasal) 353 (KUHP) sehingga berdasarkan keterangan saksi harus menetapkan tersangka minimal dua orang,” tandasnya.
Sayangnya, lanjut dia, dalam SP2HP ini tidak dijelaskan bahwa pasal berapa yang sangkakan pada tersangka ID. “Saya duga memang mereka sengaja menyembunyikan pasal sangkaan ini sebagai upaya untuk melindungi ID, ajudannya Kapolres (Lembata) dan anggota polisi lainnya yang terlibat,” ucap dia.
“SPDP juga tidak diberikan kepada keluarga ini juga sebagai upaya melindungi ID, ajudan Kapolres dan puluhan anggota polisi lainnya. SPDP itu harusnya sudah diserahkan pada kejaksaan agar proses penyidikan dapat dipantau oleh kejaksaan dan kepada keluarga agar transparansi penyidikan bisa berjalan,” ucap Tarsisius Hingan Bahir.
Selama ini, kata dia, proses penyelidikan sampai penyidikan memang tidak transparan. “SP2HP selalu tidak memuat informasi yang penting. Setiap kali keluarga bertanya informasi penting pada penyidik, penyidik bilang tanya ke Humas. Kalau tanya Kasat Reskrim bilang nanti dikasih SP2HP, padahal yang kita tanyakan itu informasi yang tidak ada di dalam SP2HP,” ujar Tarsisius Hingan Bahir. (AN-01)