Oleh: Anselmus D. Atasoge
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Allah selalu memerintah para kekasihNya, hamba-hambaNya, anak-anakNya untuk selalu mengharmonisasikan ibadah vertikal (hablum minallah) dan ibadah horizontal (hablum minannas). Keduanya berdialektika dan seiring-sejalan tanpa sekat. Inilah sebuah pesan indah yang dapat ditarik dari peristiwa idul adha-idul qurban hari ini.
Kata ‘qurban’ berarti ‘dekat’ yang diambil dari bahasa Arab ‘qarib’. Pandangan umum mengatakan bahwa qurban adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata qurban juga berarti ‘udhhiyah’ atau bisa dikatakan ‘dhahiyyah’ yang mengandung arti ‘hewan sembelihan’. Pemaknaan etimologis ini menjadi titik awali dari tradisi sebagaimana lazim dilakukan umat muslim di dunia untuk menyembelih hewan dengan cara kurban atau mengorbankan hewan yang menjadi sebagian dari hartanya untuk kegiatan sosial.
Namun, qurban dalam tradisi idul adha dimaknai lebih dalam sebagai sebuah bentuk ketakwaan kepada Allah. Sebagaimana arti kata qurban yang bermakna qarib atau dekat kepada Allah, maka hakikat kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi laranganNya. Karena itu, makna qurban dalam pengertian Islam adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah melalui hewan ternak yang dikurbankan atau disembelih.
Kaum muslim yang ‘berkurban’ adalah dia yang merelakan sebagian hartanya yang dalam konteks keimanan dipandang sebagai milik Allah yang kemudian dikurbankan bagi orang lain. Kurban ini dijalankan dan dijadikan sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah. Syarat utama yang mesti ada adalah dalam qurban seseorang harus benar-benar mencari ridha Allah, bukan untuk yang lain.
Allah yang ‘didekati’ adalah Allah yang ‘akbar’ (mahabesar) serentak pula adalah Allah yang ‘akrab’ (mahadekat) dengan semua umatNya. Allah yang ‘akbar’ adalah juga Allah yang mengakrabkan semua manusia. Dekat dengan Allah, dekat pula dengan manusia. Sekiranya, intensionalitas idul adha di tanah air kita sungguh menjadi momen ibadah vertikal (hablum minallah) dan ibadah horizontal (hablum minannas), sebuah perayaan yang merangkum dimensi harmonisasi kehidupan!
Harmoni kehidupan mengandaikan adanya sikap menerima ‘yang lain’ sebagai ‘yang berbeda’, menghormati dan mengakuinya, tanpa meremehkannya. “Adaku” ada dan hadir bersama dalam persatuan dengan “ada yang lain”. Fethullah Güllen, seorang tokoh terpelajar Muslim Turki yang terkenal dengan bukunya “Toward a Global of Love and Tolerance” dan The Essentials of Islamic Faith”, menggaribawahi gagasan persatuan yang diemban oleh Islam. Baginya, Islam tidak mendukung perpecahan. Islam bahkan merangkul semua ras dan warna kulit. Dalam refleksinya atas relasi antaragama, Fethullah menegaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai wakilNya di muka bumi, menghormati kemanusiaan dengan perutusan untuk bertindak dan memakmurkan bumi atas namaNya serta menyatakan perintah dan laranganNya melalui Musa dan Tauratnya, Yesus dan Injilnya serta Muhammad SAW dan Alqurannya.
Untuk menjamin persatuan dan kebaikan bersama dalam alam pluralitas ini Alquran juga menyajikan semacam ‘etika interaksi sosial’. Beberapa surat menegaskan hal tersebut. Misalnya, Al-Hujurat (49): 13 (Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal). Atau, Ali Imran (3): 159 (Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya).
Sejatinya, idealisme menuju persatuan dan kebaikan bersama demi harmoni kehidupan tidak berada di bawah bayang-bayang despotisme atau otoritarinisme yang mengkrangkeng maksud dan kehendak Tuhan seturut maksud dan kehendak penafsirnya sendiri. Di mata Abdul Karim Soroush, seorang yang dikenal sebagai pembaharu peradaban Persia dengan karyanya berjudul “Reason, Freedom and Democracy in Islam”, sikap despotik atau otoritarian semacam ini dilandasi oleh semangat merasa memiliki kebenaran paling tinggi dan pada gilirannya menggoda seseorang untuk menyalahkan agama sekaligus pemahaman keagamaan yang lain.
Dimensi vertikal dan horizontal idul adha-idul qurban sekiranya merangkum dan membingkai peradaban spiritual dan jasmaniah kemanusiaan kita yang sering tercerai oleh despostisme yang tak rasional. Selamat hari raya idul adha-idul qurban bagi sama saudara yang merayakannya! ***